Tuesday 9 June 2015

KUR 2013.X.1.1 AL QUR'AN 1, bagian 4



AL QUR'AN TENTANG

KONTROL DIRI, HUSNUDDHAN, UKHUWWAH
KOMPETENSI DASAR                      

2.1     Menunjukkan perilaku kontrol diri (mujahadah an-nafs), prasangka baik (hudnuddlan), dan persaudaraan (ukhuwah) sebagai implementasi dari pemahaman Q.S. al- Hujurat/49: 10 dan 12 serta hadits yang terkait
3.1   Memahami manfaat dan hikmah kontrol diri (mujahadah an-nafs), prasangka baik (husnuddlan) dan persaudaraan (ukhuwah), dan menerapkannya dalam kehidupan
Indikator Pencapaian Kompetensi
3.2.1      Siswa memahami isi kandungan surat al- Hujurat/49: 10 dan 12
3.2.1      Siswa dapat menyimpulkan kandungan Q.S. al- Hujurat/49: 10 dan 12;
TUJUAN PEMBELAJARAN
1.  Menunjukkan perilaku kontrol diri (mujahadah an-nafs), prasangka baik (husnuddlan), dan persaudaraan (ukhuwah) sebagai implementasi dari pemahaman Q.S. al- Hujurat/49: 10 dan 12 serta hadits terkait
4.  Memahami manfaat dan hikmah kontrol diri (mujahadah an-nafs), prasangka baik (hudnuddlan) dan persaudaraan (ukhuwah), dan menerapkannya dalam kehidupan

Berdasar surat Al Hujurat ayat 10 dan 12 dapat diambil pelajaran tentang Kontrol Diri, Husnuddhan dan Ukhuwwah


KONTROL DIRI




Rasulullah SAW. bersabda, berkenaan dengan peran mahapenting nafs itu di dalam diri manusia, yaitu Hadits yang bersumber dari Abi Abdillah, bahwa Nabi SAW. mengirim sariyyah (perang yang dipimpin bukan oleh Nabi SAW.), dan ketika kembali, beliau menyabdakan:
مَرْحَباً بِقَوْمٍ قَضَوُا الجِهَادَ الأَصْغَرَ وَبَقِيَ عَلَيْهِمُ الجِهَادُ الأَكْبَرُ. فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ، مَا الجِهَادُ الأَكْبَرُ؟ قَالَ: جِهَادُ النَّفْسِ.
Abi Abdillah menceritakan, bahwa Nabi SAW. mengutus sariyyah (perang yang tidak dipimpin oleh Nabi SAW.), dan ketika mereka kembali, Rasulullah SAW. bersabda: “Selamat datang orang-orang yang telah melakukan perag yang sangat kecil, dan masih terdapat bagi mereka perang yang sangat dan lebih besar”. Sebagian sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, perang apakan yang dimaksud sangat dan lebih besar itu?”. Beliau menjawab: “Perang (mengendalikan) diri”.”
Ketika kembali dari salah satu ghazwah (perang dipimpin oleh Nabi SAW.), beliau juga menyabdakan:
 رجعنا من جهاد الأصغر الى جهاد الأكبر وهو جهاد النفس
Kita telah kembali dari perang yang sangat dan terkecil menuju perang yang sangat besar dan lebih besar, yaitu perang (mengendalikan) diri.”
Pengertian Mudah tentang al-Nafs
Allah berfirman di dalam al-Qur’an:
وما أبرئ نفسي إن النفس لأمارة بالسوء إلا ما رحم ربي إن ربي غفور رحيم
“Dan aku tidak membebaskan nafs-ku, karena sesungguhnya nafs itu selalu sangat menyuruh kepada keburukan, kecuali nafs yang dirahmati Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf/12: 53).

Secara umum, kata al-nafs di dalam al-Qur’an, dimaksud untuk pengertian “diri, pribadi, seseorang, atau individu”; tetapi ulama psikologi Islam, cenderung mengartikan sebagai “jiwa”, karena itu ‘ilm al-nafs disebut juga psikologi: ilmu tentang jiwa.

Banyak istilah menuju pengertian al-nafs itu, tetapi bila merujuk pada ayat di atas, al-nafs diartikan secara berbeda. Kata al-ammarah di dalam kajian ilmu Balaghah, merupakan shighah mubalaghah dengan wazan al-fa’aalah, yang dapat diartikan katsir al-amr bi al-suu’ (selalu memerintah pada keburukan). Di sini, nafs itu: selalu menyuruh pada keburukan. Tegasnya, nafs itu memiliki tugas “menyuruh”, ini yang perlu kita garisbawahi. Hanya saja, di dalam ayat di atas: “nafs memerintah pada keburukan”, berarti memiliki kecenderungan pula “memerintah pada kebaikan”. Dalam konteks ini, penulis hendak menekankan: “nafs itu suka memeritah”.

Berdasarkan pengertian sederhana di atas, maka nafs diartikan sebagai energi atau kekuatan yang terdapat di dalam diri manusia, di mana keberadaannya menjadi pengendali diri manusia; nafs adalah mesin penggerak tubuh manusia.
                                            
Pembagian al-Nafs dalam al-Qur’an
Secara umum, al-Qur’an menyebut secarang langsung, tiga bentuk dari nafs (jiwa yang menggerakkan), dan ini menurut kebanyakan para ulama, yaitu: al-ammarah bi al-suu’ (selalu memerintah pada keburukan), al-lawwamah (selalu merendahkan diri, karena berada antara kebaikan dan keburukan), dan al-muthma’innah (ketenangan, kebaikan lebih dominan).
Nafs Ammarah. Di dalam berbagai kita tafsir – seperti Tafsir al-Qurthubi, al-Thabari, dan Fath al-Qadir li al-Syawkani– nafs ammarah difahami sebagai jiwa yang terendah yang cenderung pada tabiat jasad-badaniyah, yang bila berterusan, dapat menjatuhkannya pada tingkat serendah-rendahnya (asfala safilin). Nafs jenis ini, dalam bahasa filosofisnya, bersifat pragmatis, hedonistik, pragmatis, sekularistis, dan bahkan materialistis.
Bagaimana cara membersihkannya, atau tepatnya, cara mengedalikannya?
Di dalam Fath al-Qadir li al-Syaukani, misalnya, dijelaskan”Membersihkan hati (al-qalb) dari akhlak tercela, seperti tamak, dongkol, dengki, kesombongan, dan sebagainya”. Imam al-Nawawi, dalam Syarh Shahih Muslim, menjelaskan “berusaha keras (al-sa’yu) dalam rangka memperbaiki hati (shalah al-qalb), dan memeliharanya dari kerusakan (al-himayah min al-fasad).
Di dalam Hadits, yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ ، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ ، صُقِلَ مِنْهَا قَلْبُهُ فَإِنْ زَادَ زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَا قَلْبَهُ ، فَذَلِكَ الرَّانُ،  قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sesungguhnya seorang mukmin, bila dia melakukan dosa, terdapat noda hitam di dalam hatinya; bila dia bertaubat, benar-benar menyesali, dan minta ampun (atas dosa-dosanya tadi), dibersihkan hatinya dari dosa-dosa tersebut; tetapi, bila dia menambah dosanya, maka titik hitam itu semakin bertambah, sehingga memenuhi hatiya. Itulah yang disebut al-raan”, sebagaimana firman-Nya: “Sekali-kali tidak, bahkan hati mereka telah tertutupi (oleh tabiat buruk), terhadap apa yang mereka usahakan” (QS. Al-Muthaffifin/83: 14).” (HR. Muslim). Kata al-raan di dalam Hadits di atas berarti al-thab’ wa al-dans; artinya dikuasai oleh tabiat yang buruk.

Hati, bila ingin bersih: taubat, meyesali, dan minta ampun (istighfar); bila ingin sebaliknya: tidak perlu bertaubat, tidak perlu menyesali, dan tidak perlu minta ampun (istighfar).
Nafs Lawwamah. Kata lawwamah dalam bentuk mubalaghoh, yang berarti seringkali mencela dan menyesali, yaitu terhadap perbuatan buruk yang dilakukannya. Ini sangat bagus, karena mendorongnya menuju tingkatan yang lebih tinggi. Termasuk bagus, bila didominasi oleh moden nafs satu ini. karena itulah, di antara para mufassir, seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Katsir, menyebut nafs ini memiliki karakter menyesali diri, baik dalam keburukan: mengapa melakukanya, ataupun dalam kebaikan: kenapa tidak melakukanya. Karena itu, nafs ini sibuk dengan perbuatan: introspeksi diri (QS. Al-Hasyr/59: 18), mendebat diri sendiri (QS. Al-Nahl/16: 111), dan menyesali (QS. Al-Maidah/5: 52).
Nafs Muthma’innah. Jiwa yang tenang, biasanya dimaksudkan untuk nafs muthma’innah, yang menurut Abdul Razak, dalam Mu’jam al-Ishthilahat al-Shufiyyah, sebagai jiwa dengan kesempurnaan cahaya hati (al-qalb), jiwa yang bersih dan suci; atau, berdasarkan al-Qur’an: jiwa yang sudah kembali kepada Tuhannya (Lih. QS. Al-Fajr/89: 27-30). Sebagai jiwa yang bersih, maka nafs ini memiliki karakter: iman yang kuat, ridha dan rela terhadap qada qadar Allah SWT., dan percaya pada janji-janji-Nya, serta selalu ingin berdekatan dengannya (al-unsiyyah).

Sikap Tasawuf terhadap al-Nafs
Di dalam ayat 53 QS. Yusuf/12 di atas, disebutkan: “Dan aku tidak membebaskan nafs-ku, karena sesungguhnya nafs itu selalu sangat menyuruh kepada keburukan, kecuali nafs yang dirahmati Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf/12: 53).
Penulis sengaja menggarisbawahi: “kecuali nafs yang dirahmati oleh Tuhanku”.
Penulis merasakan kesusahan untuk menjelaskan ayat ini, tetapi ada baiknya kita mulai dengan ungkapan Ibnu Atha’illah al-Sakandari dalam kitab al-Hikam-nya, di antaranya:
لو لا جميل ستره لم يكن عمل أهلا للقبول
Kalaulah bukan karena bagusnya tutup Allah, maka tidak satu amalan atau pekerjaan pun yang dapat diterima (oleh-Nya).
Sesungguhnya apa yang telah kita lakukan,belum ada apa-apanya dibandigkan kebesaran rahmat Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kita. Dalam waktu 24 jam, berapa banyak waktu yang kita habiskan, antara: “mengingat-Nya” dan “mengingat dunia”. Masya Allah…, malu rasanya kita. Andai pun amalan kita diterima, itu semata-mata karena kemuliaan-Nya: Dia yang telah menutupi aib-aib kita. Tidaklah terbayangkan, andai saja aib-aib kita dibeberkan.

Berkaitan dengan ayat di atas, tidaklah sanggup kita mengendalikan diri kita ini, melainkan hanya rahmat dan kasih sayang-Nya an sich. Beruntunglah bagi orang-orang yang telah mengetahui cara untuk mengendalikan diri itu, karena ini juga merupakan rahmat-Nya. Berapa banyak kitab-kitab yang menjelaskan tentang pengendalian diri, tetapi hampir tidak membicarakan “cara” pengendalian itu sendiri. Kalaupun ada, maka pengendalian itu umumnya dengan “diri vs diri”. Contohnya, “sifat buruk diri” dilawankan dengan “sifat baik diri”, yang sepertinya, masih saja seperti wacana.

Para sufi adalah orang-orang yang telah disucikan jiwanya, yang mereka mendapatkan rahmat yang tak terhingga dari Allah, sehingga mereka memiliki pengetahuan “cara” membersihkan dan mengendalikan diri sebagaimana yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW.. Cara yang dimaksud adalah cara yang termudah, terdekat, dan tercepat, yaitu dengan mendawamkan dzikir kepada Allah (mengingat Allah).
Di antara Hadits disebutkan:
ذِكْرُ اللهِ عِلْمُ الإيمَانِ وَبَرَائِهِ مِنَ النِّفَاقِ وَحُصِنَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَحُرِزَ مِنَ النِّيْرَانِ
Ddzikirullah itu (dapat membuka) pengetahuan tentang keimanan, pembebasan dari kemuafikan, benteng dari syetan, dan penyelamat dari neraka.” (Miftah al-Shudur).
Bagai kita berada di kekuasaan Yang Maha Kaya dan Maha Bijaksana, perbuatan-perbuatan yang kita lakukan, terlalu kecil dibanding keluasan rahmat-Nya. Ibnu Atha’illah menyatakan:
لا صغيرة إذا قابلك عدله ولا كبيرة إذا واجهك فضله
Tidak ada dosa kecil, bila dihadapkan dengan keadilan-Nya; dan tidak ada dosa besar bila dihadapkan dengan kemurahan-Nya.”
لا يعظم الذنب عندك عظمة تصدك عن حسن الظن بالله، فإن من عرف ربه استصغر في جنب كرمه ذنبه
Janganlah dosa besar yang ada padamu mencegahmu untuk berbaik sangka kepada Allah, karena sesungguhnya barang siapa yang telah mengenal Tuhannya, dosa tadi menjadi kecil di tengah kemahaluasan kemurahan-Nya.”
Dengan demikian, apabila kita telah diajarkan bagaimana cara tercepat dan termudah mengendalikan diri, yaitu dengan cara berdzikir kepada Allah, maka tinggal kita mendawamkannya. Setiap saat dan setiap waktu, tanpa melihat situasi kondisi apapun. Inilah yang dipesakan oleh Ibnu Atha’illah al-Sakandari dalam al-Hikam-nya:
لا تترك الذكر لعدم حضورك مع الله فيه، لأن غفلتك عن وجود ذكره أشد من غفلتك في وجود ذكره
Janganlah engkau meninggalkan dzikir karena engkau tidak hadir bersama Allah (tidak khusyuk), karena kelalaianmu sambil tidak berdzikir itu lebih dahsyat daripada kelalaianmu sambil dzikir kepada-Nya.”

Walhasil, Allah adalah Tuhan Yang Maha Penyayang, Pemurah, Bijaksana. Jangan menjadikan Allah sebagai saingan, dengan cara menjadikan diri kita sebagai yang bisa mengedalikan diri, tetapi serahkan kepada Dia Yang Maha Mampu Melakukan segalaya. Karena itu, mari kita sambut perjumpaan dengan-Nya dengan mendawamkan dzikir kepada-Nya

Sumber :
http://tasawufsuryalaya.wordpress.com/2012/08/06/tasawuf-mujahadah-al-nafs/

No comments:

Post a Comment