Friday 18 April 2014

KH ACHMAD SIDDIQ IDOLA SAYA. bagian 2

MENGAPA SAYA MENGIDOLAKAN KH ACHMAD SIDDIQ, bagian 2

AL ARIF BILLAH KH. ACHMAD SIDDIQ (2)
SANG MUROBBY PPI AS SHIDDIQI PUTERA JEMBER
Bagian Kedua
Awal Nyantri

Ketika mengikuti tes masuk Fakultas Tarbiyah IAIN “SUNAN AMPEL” Cabang Jember, saya bersama seorang teman “Wasian” ngampung bermalam di PPI ASHTRA beberapa malam. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk diam-diam ikut mendengarkan pengajian rutin yang diberikan oleh Kyai, dan sesekali menengok kehidupan Kyai dan keluarganya.
Lagu barat itu semakin sering saya dengar lagi ketika lewat didepan dalem (rumah) beliau. Dan saya melihat putera puteri beliau tidak seperti kebanyakan putera para kyai pada umumnya (yang biasanya mulai kecil sudah menggunakan atribut ala pesantren dengan gaya gusnya (loranya) masyaAllah luar biasa seakan tidak ada orang selai ia), akan tetapi putera beliau beda, yang putri (belum nikah) biasa pakai rok pendek tanpa kerudung, sedang yang laki-laki berpakaian seperti layaknya pemuda pada umumnya masa itu, pakai celana jin, kaos oblong, jaket dan rambut yang nyaris gondrong.
YANG LEBIH MENGEJUTKAN, Kyai rupanya sangat konsekwen dengan suatu hadis yang artinya “Bukan golongan kami siapa saja yang tidak menghormat orang yang lebih tua dan tidak kasih saying kepada yang lebih muda (lemah)” sehingga dalam praktek sehari yang saya saksikan adalah :
1.    Putera puteri beliau kepada para santri memanggil CAK
2.    Putera puteri beliau (cucu) yang masih kecil, cium tangan bila salaman dengan orang yang lebih tua (apalagi kepada wali santi)   
Alhamdulilllah, begitu diterima menjadi mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Cabang Jember, saya langsung minta tolong paman yang berdomisili di Jember untuk mengantar dan menyerahkan saya mondok di PPI ASHTRA, dan beberapa minggu kemudian barulah ayah saya menyerahkan langsung pada Kyai.
Di PPI ASHTRA para santri memangggil KH. Achmad Siddiq dengan sebutan “MUROBBY”, konon, cerita santri senior karena beliau bertanggung jawab pada satri seperti layaknya orang tua kandungnya dan mengangggap santri sebagai anak kandungnya sendiri, bahkan (cerita dari salah seorang putera beliau) “saya sempat iri pada santri karena bapak sangat perhatian pada santri-santrinya, kalau ada acara di rumah (seperti selametan) bapak mesti tanya “ iku arek-arek pondok opo wes dike’i mangan kabeh? (santri-santri pondok itu apa sudah pada makan semua).
Satu dua bulan di pondok ASHTRA tidak banyak yang saya dapat, khususnya terkait Murobby. Sementara yang saya tahu Murobby rutin ngimami shalat 5 waktu dengan dzikiran setelahnya yang begitu panjang bagai pondok thariqah dan memberi pengajian setiap habis maghrib serta sehabis shalat shubuh, malam minggu dan minggu pagi pengajian libur, malam senin sehabis isya’ kegiatan rutin pengamalan Aurad Dzikrul Ghafilin untuk umum dan malam selasa juga untuk umum pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin.
Malam minggu, Murobby seakan memberi kesempatan pada santri untuk melihat dunia di luar pondok, para santri banyak yang keluar pondok walaupun hanya sekedar lingkot (keliling kota). Pagi harinya seusai shalat shubuh dan dzikiran yang begitu panjang, semua santri diharuskan RO’AN, bersih-bersih lingkungan pondok dan olah raga ala kadarnya.
Dari sisi santri, umumnya santri ASHTRA hanya menggunakan pakaian santri (sarungan dan berkopyah) pada waktu shalat dan ngaji atau bila ada acara seperti Maulid, haul dll. Akan tetapi bila keluar pondok mereka tidak ada bedanya dengan remaja pada umumnya.
Saat itu saya menyaksikan para santri (80% mahasiswa IAIN dan UNEJ) begitu mengagumi Murobby, terutama dalam setiap pengajiannya yang begitu luas dan rasional ketika menjelaskan kandungan kitab kepada santri yang kebanyakan minim dalam berbahasa arab.
Satu hal pokok yang saya fahami dari murobby saat itu, beliau ingin para santrinya memiliki jiwa agama yang kuat, memiliki loyalitas beragama yang mantap, walau dari sisi keilmuan mereka kurang.
Murobby tidak bertujuan mencetak Ulama’ karena beliau menyadari para santrinya rata-rata anak kuliahan, murobby hanya ingin agar para santrinya menjadi hamba Allah yang taat beribadah (memiliki loyalitas yang tinggi dalam beragama) dan warga masyarakat yang bermanfaat pada orang lain dan negaranya, sebagaimana yang selalu diwasiatkan oleh murobby kepada para santri :
“ Jadi apapun kelak, kamu harus selalu konsis dengan 3 hal:
1.    Jangan tinggalkan shalat 5 waktu
2.    Setiap hari membaca Al Qur’an dan Shalawat
3.    Jangan berbuat dhalim.
Nasehat atau wasiat yang sama juga disampaikan kepada putera-puterinya dengan kalimat yang berbeda “jangan tinggalkan shalat berjamaah” dan seterusnya.
Bersambung........

No comments:

Post a Comment