Tuesday 9 June 2015

KUR 2013.XII.1.4 HAK DAN KEDUDUKAN WANITA DALAM KELUARGA, bag 4



XII.1.4
HAK DAN KEDUDUKAN WANITA DALAM KELUARGA

ARTIKEL 4
PERANAN WANITA DALAM ISLA
http://baitulmuslim-3mudilah.blogspot.com/2010/08/peran-dan-tanggung-jawab-wanita.html
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB WANITA MUSLIMAH

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB WANITA MUSLIMAH (BAGIAN KE-1)

Sekilas tentang peran dan tanggungjawab wanita pada masa Rasulullah
dakwatuna.com – Rata-rata kaum wanita pada masa Rasulullah SAW tidak ketinggalan memberikan kontribusi, peran dan tanggungjawab mereka, mereka ikut berlomba meraih kebaikan, meskipun mereka juga sibuk sebagai ibu rumah tangga. Mereka ikut belajar dan bertanya kepada Rasulullah SAW.
Wanita yang paling setia kepada Rasulullah adalah Khadijah yang telah berkorban dengan jiwa dan hartanya. Kemudian Aisyah, yang banyak belajar dari Rasulullah kemudian mengajarkannya kepada kaum wanita dan pria. Bahkan, ada pendapat ulama yang mengatakan, seandainya ilmu seluruh wanita dikumpulkan dibanding ilmu Aisyah, maka ilmu Aisyah akan lebih banyak. Begitulah Rasulullah SAW memuji Aisyah.
Ada seorang wanita bernama Asma binti Sakan. Dia suka hadir dalam pengajian Rasulullah saw. Pada suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah SAW, engkau diutus Allah kepada kaum pria dan wanita, tapi mengapa banyak ajaran syariat lebih banyak untuk kaum pria? Kami pun ingin seperti mereka. Kaum pria diwajibkan shalat Jum’at, sedangkan kami tidak; mereka mengantar jenazah, sementara kami tidak; mereka diwajibkan berjihad, sedangkan kami tidak. Bahkan, kami mengurusi rumah, harta, dan anak mereka. Kami ingin seperti mereka. Maka, Rasulullah SAW menoleh kepada sahabatnya sambil berkata, “Tidak pernah aku mendapat pertanyaan sebaik pertanyaan wanita ini. Wahai Asma, sampaikan kepada seluruh wanita di belakangmu, jika kalian berbakti kepada suami kalian dan bertanggung jawab dalam keluarga kalian, maka kalian akan mendapatkan pahala yang diperoleh kaum pria tadi.” (HR Ibnu Abdil Bar).
Dalam riwayat Imam Ahmad, Asma meriwayatkan bahwa suatu kali dia berada dekat Rasulullah SAW. Di sekitar Rasulullah berkumpullah kaum pria dan juga kaum wanita. Maka beliau bersabda, “Bisa jadi ada orang laki-laki bertanya tentang hubungan seseorang dengan istrinya atau seorang wanita menceritakan hubungannya dengan suaminya.” Maka tak seorang pun yang berani bicara, maka saya angkat suara. “Benar ya Rasulullah, ada pria atau wanita yang suka menceritakan hal pribadi itu.” Rasulullah menimpali, “Jangan kalian lakukan itu, karena itu jebakan syaitan seakan syaitan pria bertemu dengan syaitan wanita, kemudian berselingkuh dan manusia pada melihatnya.”
Ada juga wanita yang tabah dalam kehidupan rumah tangga yang serba pas-pasan tapi tidak pernah mengeluh seperti Asma’ binti Abi Bakar dan Fatimah. Kutub Tarajim membenarkan cerita tentang Fatimah. “Suatu saat dia tidak makan berhari-hari karena nggak ada makanan, sehingga suaminya, Ali bin Abi Thalib, melihat mukanya pucat dan bertanya, “Mengapa engkau ini, wahai Fatimah, kok kelihatan pucat?”
Dia menjawab, “Saya sudah tiga hari belum makan, karena tidak ada makanan di rumah.”
Ali menimpali, “Mengapa engkau tidak bilang kepadaku?”
Dia menjawab, “Ayahku, Rasulullah SAW, menasehatiku di malam pengantin, jika Ali membawa makanan, maka makanlah. Bila tidak, maka kamu jangan meminta.”
Luar biasa bukan?
Ada juga wanita yang diuji dengan penyakit, sehingga dia datang kepada Rasulullah SAW meminta untuk didoakan. Atha’ bin Abi Rabah bercerita bahwa Ibnu Abbas RA berkata kepadaku, “Maukah aku tunjukkan kepadamu wanita surga?” Aku menjawab, “Ya.”
Dia melanjutkan, “Ini wanita hitam yang datang ke Rasulullah SAW mengadu, ‘Saya terserang epilepsi dan auratku terbuka, maka doakanlah saya.’ Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu sabar, itu lebih baik, kamu dapat surga. Atau, kalau kamu mau, saya berdoa kepada Allah agar kamu sembuh.”
Wanita itu berkata, “Kalau begitu saya sabar, hanya saja auratku suka tersingkap. Doakan supaya tidak tersingkap auratku.”
Maka, Rasulullah SAW mendoakannya.
Ada juga wanita yang ikut berperang seperti Nasibah binti Kaab yang dikenal dengan Ummu Imarah. Dia bercerita, “Pada Perang Uhud, sambil membawa air aku keluar agak siang dan melihat para mujahidin, sampai aku menemukan Rasulullah saw. Sementara, aku melihat pasukan Islam kocar-kacir. Maka, aku mendekati Rasulullah sambil ikut berperang membentengi beliau dengan pedang dan terkadang aku memanah. Aku pun terluka, tapi manakala Rasulullah SAW terpojok dan Ibnu Qamiah ingin membunuhnya, aku membentengi beliau bersama Mush’ab bin Umair. Aku berusaha memukul dia dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung besi dan dia dapat memukul pundakku sampai terluka. Rasulullah saw. bercerita, “Setiap kali aku melihat kanan kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang Uhud.” Begitu tangguhnya Ummu Imarah.
Ada juga Khansa yang merelakan empat anaknya mati syahid. Ia berkata, “Alhamdulillah yang telah menjadikan anak-anakku mati syahid.
Begitulah peranan wanita pada masa Rasulullah saw. Mereka berpikir untuk akhiratnya, sedang wanita sekarang yang lebih banyak memikirkan dunia, rumah tinggal, makanan, minuman, kendaraan, dan lain-lain.

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB WANITA MUSLIMAH (BAGIAN KE-2)

Kaum Wanita pada Masa Berikutnya
dakwatuna.com – Ketika Utsman bin Affan mengerahkan pasukan melawan manuver-manuver Romawi, komandan diserahkan kepada Hubaib bin Maslamah al-Fikir. Istri Hubaib termasuk pasukan yang akan berangkat perang. Sebelum perang dimulai, Hubaib memeriksa kesiapan pasukan.
Tiba-tiba istrinya bertanya, “Di mana saya menjumpai Anda ketika perang sedang berkecamuk?”
Dia menjawab, “Di kemah komandan Romawi atau di surga.”
Ketika perang sedang berkecamuk, Hubaib berperang dengan penuh keberanian sampai mendapatkan kemenangan. Segera dia menuju ke kemah komandan Romawi menunggui istrinya. Yang menakjubkan, saat Hubaib sampai ke tenda itu, dia mendapatkan istrinya sudah mendahuluinya. Allahu Akbar.
Pada masa Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Harun al-Rasyid, ada seorang Muslimah disandera oleh tentara Romawi. Maka, seorang ulama bernama Al-Manshur bin Ammar mendorong umat Islam untuk berjihad di dekat istana Harun al-Rasyid dan dia pun menyaksikan ceramahnya. Tiba–tiba ada kiriman bungkusan disertai dengan surat. Surat itu lalu dibuka dan dibaca oleh ulama tadi dan ternyata berasal dari seorang perempuan dan berbunyi, “Aku mendengar tentara Romawi melecehkan wanita Muslimah dan engkau mendorong umat Islam untuk berjihad, maka aku persembahkan yang paling berharga dalam diriku. Yaitu, seuntai rambutku yang aku kirimkan dalam bungkusan itu. Dan, aku memohon agar rambut itu dijadikan tali penarik kuda di jalan Allah agar aku dapat nantinya dilihat Allah dan mendapatkan rahmat-Nya.” Maka, ulama itu menangis dan seluruh hadirin ikut menangis. Harun al-Rasyid kemudian memutuskan mengirim pasukan untuk membebaskan wanita Muslimah yang disandera itu.
Seorang istri Shaleh bin Yahya ditinggal suaminya dan hidup bersama dua anaknya. Ia mendidik anak-anaknya dengan ibadah dan qiyamul lail (shalat malam). Ketika anak-anaknya semakin besar, dia berkata, “Anak-anakku, mulai malam ini tidak boleh satu malam pun yang terlewat di rumah ini tanpa ada yang shalat qiyamulail.”
“Apa maksud ibu?” tanya mereka.
Ibu menjawab, “Begini, kita bagi malam menjadi tiga dan kita masing-masing mendapat bagian sepertiga. Kalian berdua, dua pertiga, dan saya sepertiga yang terakhir. Ketika waktu sudah mendekati subuh, saya akan bangunkan kalian.”
Ternyata kebiasaan ini berlanjut sampai ibu mereka meninggal. Dan amalan itu tetap dilanjutkan oleh dua anak itu karena mereka sudah merasakan nikmatnya qiyamulail.
Dari kisah di atas dapat kita pahami bahwa begitu besarnya peran dan tanggungjawab wanita pada masa salafussalih, mereka tidak pernah berhenti memberikan kontribusi dari apa yang mereka memiliki.
Secara umum wanita memiliki peran dan tanggung jawab amat besar dan penting dalam berbagai aspek kehidupannya; baik dalam kehidupan individu, keluarga (suami dan anak), masyarakat sosial sebagai warga ditempat dirinya tinggal dan berdiam bersama diri keluarganya, dan negara sebagai bagian dari anak bangsa, dan tempat dirinya dan keluarganya bernaung.
Sebagaimana pula wanita memiliki peran tanggung jawab khusus, yaitu sebagai pendidik dan pemberi kontribusi kebaikan sosial, yang tanpanya, kehidupan tidak akan berjalan semestinya. Sebab ia adalah pencetak generasi baru. Sekiranya di muka bumi ini hanya dihuni oleh laki-laki, kehidupan mungkin sudah terhenti beribu-ribu abad yang lalu. Oleh sebab itu, wanita tidak bisa diremehkan dan diabaikan, karena dibalik semua keberhasilan dan kontinuitas kehidupan, di situ ada wanita.
1.   Menghambakan diri kepada Allah SWT
Menghambakan diri kepada Allah adalah merupakan ciri dari Wanita yang saleh. Sementara itu keshalehan sang istri merupakan asas yang terpenting sekali daripada asas-asas yang lain. Kegagalan asas ini dapat mengakibatkan asas-asas lain tidak akan berfungsi untuk memberi kebahagiaan sebenarnya di dalam kehidupan. Tanpa Wanita yang saleh maka keluarga-keluarga Islam tidak akan dapat diwujudkan, padahal pembinaan dan terbentuknya pergerakan Islam itu bergantung kepada kelahiran keluarga-keluarga Islam ini. Kalau sekiranya pergerakan Islam itu penting untuk membawa dan mempraktekkan Islam maka Wanita yang Saleh juga sama pentingnya.
Adapun Sifat-sifat dari istri yang menghambakan diri kepada Allah adalah sebagai berikut:
a.   Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah yang taat kepada Allah dan Rasul dan patuh kepada perintah-Nya. Sanggup menjaga kesucian dirinya walaupun di tempat-tempat yang sunyi dari pandangan orang lain, juga yang sering berdzikir kepada Allah serta takut kepada-Nya.
Firman Allah SWT maksudnya:
“Wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (An-Nisa’: 34)
b.   Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah istri yang selalu bersyukur terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah kepada suaminya, karena ia meyakini bahwa Allah telah menakdirkannya, sementara takdir Allah tidak pernah mencelakakan dirinya.
c.    Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah juga Wanita yang taat kepada suaminya dan memahami hak dan kewajiban terhadap suaminya. Seperti yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw.
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجَهَا
“Kalau boleh aku menyuruh seseorang supaya sujud kepada orang yang lain niscaya aku menyuruh Wanita supaya sujud kepada suaminya”. (HR. Thabrani, Hakim dan ulama hadits)
Wanita menjaga hak dan kehormatan suaminya, baik suaminya ada di rumah atau tidak. Memiliki tingkah laku yang disukai oleh suaminya. Pandai menyembunyikan harta benda suaminya. Mendahului hak suaminya daripada hak dirinya sendiri atau kaum kerabatnya.
d.   Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah wanita yang senantiasa menunjukkan himmah (rasa senang) yang tinggi, lemah lembut tidak suka memaki, mengucapkan sumpah serapah, mengumpat-keji, berbantah bantahan dan lain-lain dari sikap dan perilaku yang negative dan tidak terpuji. Menunjukkan sikap yang jernih dan lapang dada serta segala hal yang menyebabkan suaminya senang saat ada di rumah.  Seperti sabda Nabi saw:
خَيْرُ النِّسَاءِ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ، وَتُطِيعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، وَتَحْفَظُ غَيْبَكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكِ
 “Sebaik-baik wanita ialah perempuan yang apabila engkau memandangnya ia menyukakan hati dan mentaati apabila engkau memerintah, dan apabila engkau tidak ada ia menjaga harta engkau dan memelihara dirinya.”
e.   Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah Wanita yang  berpengetahuan, berakhlaq mulia, tahu melayani suami serta mengasihi dan mendidik anak-anak ke jalan hidup yang dikehendaki oleh Allah dan meneladani sunnah Rasulullah saw.
2.   Mendidik anak-anaknya
Allah SWT berfirman
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa 4:9)
Di antara peran dan tanggungjawab seorang wanita muslimah adalah memberikan pendidikan yang terbaik kepada anak-anaknya. Hendaknya juga seorang wanita muslimah takut dan khawatir jika meninggalkan keturunan yang lemah; baik lemah finansialnya ataupun lemah akal dan pendidikannya. Dan lemah pendidikan harus lebih diperhatikan daripada lemah harta dan finansialnya.
Dan pendidikan anak sangat disarankan dimulai sejak dini, bahkan sejak dalam kandungan. Ketika sang ibu rajin beribadah, insya Allah, kelak janin yang dikandungnya akan menjadi ahli ibadah. Ketika sang ibu rajin membaca Al Qur’an, insya Allah, kelak anak yang dilahirkannya pun akan mencintai Al Qur’an. Dan ketika sang ibu sangat berhati-hati menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan, insya Allah, kelak anaknya pun akan menjadi hamba-Nya yang ihsan. Karena itu tidak keliru kalau ada yang mengatakan: “Seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya”.
Betapa besarnya peranan seorang wanita dalam mencetak generasi rabbani. Sebagaimana visi pernikahannya untuk menjadikan rumah tangga sebagai lahan tumbuhnya generasi yang akan menegakkan panji Islam. Generasi yang tumbuh dalam rumah tangga yang menjadi pusat kaderisasi terbaik.
Ketika sang anak hadir ke dunia, sebuah tugas sangat berat telah diemban di pundak seorang ibu. Tugas mendidiknya, membekalinya dengan life-skill, agar kelak anaknya siap terjun ke dunia yang berubah dengan cepatnya setiap hari. Sepuluh atau 15 tahun lagi, akan sangat berbeda kondisinya dengan masa kini.
Ketika sang anak mulai banyak bertanya, “Ini apa?”, “Itu apa?”, ”Kenapa begini?”, Kenapa begitu?”, seorang ibu dituntut untuk dapat memberikan jawaban yang terbaik. Jawaban yang tidak mematikan rasa ingin tahu anak, bahkan sebaliknya, jawaban yang membuat anak semakin terpacu untuk belajar.
Masa yang penting ini, yang disebut golden-age, masa di mana anak sangat mudah menyerap segala informasi, belajar tentang segala sesuatu. Dan ibu adalah orang yang terdekat dengan anak, yang lebih sering berinteraksi dengan anak. Menjadilah ibu sebagai sumber ilmu, pendidik pertama bagi anak-anak, yang menanamkan pondasi awal dan utama bagi generasi yang akan menjadi pemimpin masa depan ini.
Ketika anak mulai memasuki dunia sekolah, tugas ibu tak lantas menjadi tergantikan oleh sekolah. Bahkan sang ibu dituntut untuk dapat mengimbangi apa yang diajarkan di sekolah.
Peran yang demikian strategis ini, menuntut wanita untuk membekali dirinya dengan ilmu yang memadai. Maka, wanita harus terus bergerak meningkatkan kualitas dirinya. Karena, untuk mencetak generasi yang berkualitas, dibutuhkan pendidik yang berkualitas pula. Hal itu berarti, seorang wanita tidak boleh berhenti belajar.
Wanita adalah lembaga pendidikan bila dipersiapkan, darinya akan lahir pemuda-pemuda berjiwa mulia. Duhai ukhti muslimah, teruslah mencari ilmu, bekali dirimu dengan ilmu. Ilmu yang dapat meluruskan aqidah, menshahihkan ibadah, membaguskan akhlaq, meluaskan tsaqafah, membuat mandiri, tidak bergantung pada orang lain sekaligus bermanfaat bagi orang lain.
Teladanilah wanita Anshar yang tidak malu bertanya tentang masalah agama. Teladanilah para sahabiyah yang bahkan meminta kepada Rasulullah untuk diberikan kesempatan di hari tertentu khusus untuk mengajari mereka. Sehingga, akan bermunculan kembali Aisyah-Aisyah yang mempunyai pemahaman yang luas dan mendalam tentang agamanya.
Duhai ukhti muslimah, didik putra-putrimu agar mengenal Allah dan taat pada-Nya, agar gemar membaca dan menghafal kalam-Nya. Ajarkan mereka mencintai Rasulullah dan meneladani beliau. Bekali dengan akhlaq imani, mencintai sesama, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Sehingga akan bermunculan kembali Khonsa-Khonsa yang mencetak para syuhada.
3.   Pendamping setia suaminya
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ

dakwatuna.com – “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”.(Al-Baqoroh:187)
Seorang laki-laki lebih cenderung menggunakan akalnya di dalam mengatur urusan keluarga. Adapun seorang Wanita lebih cenderung menggunakan perasaannya di dalam mengatur semua permasalahannya, termasuk mengatur masalah urusan rumah tangga. Wanita yang mencintai suaminya dan yang subur keturunannya, maka itulah Wanita yang didambakan, karena rasa cinta, kasih sayang yang ada pada diri seorang Wanita dalam mengelola rumah tangga adalah salah satu bentuk rahmat yang nantinya akan dapat mengarahkan anak ke jenjang yang lebih baik. Dan adanya anak di suatu rumah itu tidak lain adalah benar-benar sebagai pengobatan hubungan yang mulia yang mengikat antara suami dan Wanita.
Sesungguhnya keberadaan seorang anak pada setiap tahapan dari beberapa tahapan yang dijalani suami Wanita adalah sebagai penguat unsur-unsur yang mengikat di antara keduanya (suami Wanita) dan sebagai pembaharu ikatan yang merajut antara mereka berdua.
Dan setiap kali bertambahnya rasa cinta dan penghormatan di antara mereka berdua, maka hubungan tersebut akan semakin bertambah (kuat) sehingga menjadi pasangan yang sejati.
Sehingga akhirnya sang Wanita menjadi pendamping setia bagi sang suami di dalam mengarungi bahtera kehidupannya yang panjang, dan dia menjadi tempat mencurahkan rahasia sang suami. Karena manusia secara tabiatnya mencari teman yang baik dan dekat untuk membuka semua rahasianya dengan berterus-terang.
Kelanggengan hubungan suami Wanita yang selalu diiringi rasa cinta, menuntut seorang Wanita untuk melakukan pekerjaan yang begitu banyak, baik yang berkaitan dengan materi maupun ma’nawi. Di antaranya yaitu:
a.   Menertibkan dan mengatur rumahnya dengan suatu cara yang memuaskannya, tetapi wajib pula baginya untuk meminta pendapat/perhatian dari suaminya, dan jika suaminya menyetujui, maka itulah yang diharapkan.
b.   Wajib bagi Wanita untuk berusaha sekuat tenaga untuk lebih proporsional di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dan tidak mempersoalkan kekurangan-kekurangan yang ada pada suaminya. Wajib baginya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan ini dengan cara tidak memberitahukan kepada suaminya. Maka seandainya seorang suami tidak memperhatikan dalam meletakkan pakaian pada tempat yang semestinya dan dia meletakkan pakaian-pakaian tersebut di atas kursi dan sofa, maka mau tidak mau sang Wanita dituntut untuk mengambil dan meletakkan pada tempatnya yang sekiranya tempat tersebut dapat menjaga keindahan/keserasiannya. Bila kebiasaan itu telah terjadi dan Wanita sedang dalam keadaan sakit, maka sang suami merasakan kesusahan, dia akan berusaha untuk menggantikan posisi sang Wanita dalam mengurus rumahnya, dia akan meletakkan pakaian pada tempat yang semestinya dan mulai dari sanalah dia akan melaksanankan kebiasaan yang baik tersebut.
c.    Sang Wanita wajib merasa bahwa dia adalah suaminya dengan tujuan untuk saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain, maka sang Wanita dituntut lebih mempersembahkan rasa cinta dan kasih sayang dan begitu pula sang suami harus berkorban dengan jiwa dengan penuh tanggung jawab, keperkasaan dan keberaniannya.
d.   Jika keduanya sudah sampai pada perasaan yang sedemikian rupa, menyadari mereka sebagai dua jenis yang saling memahami dan saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya, maka mereka berdua akan hidup bahagia sepanjang hayatnya.
e.   Seorang Wanita wajib setia, tidak egois seperti halnya dia seharusnya tidak menuntut macam-macam kepada suami, seperti membebani suami dari berbagai segi, baik itu berupa materi maupun ma’nawi. Sebagai contoh jika suaminya seorang pegawai dan dia tahu gajinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, maka hendaklah ia tidak meminta beberapa permintaan berat yang dapat menyusahkannya, sehingga terkadang seorang suami mengadu kepada salah seorang temannya untuk meminjam uang agar dia tidak diketahui kekurangannya oleh sang Wanita.
f.    Seorang Wanita wajib menghilangkan tabir penghalang yang ada pada mereka berdua, sekiranya keduanya menjadi sebuah lembaran kertas yang putih di hadapan yang lain, mengungkapkan perasaan kepadanya dalam menghadapi semua masalah yang ada, dan sesungguhnya jiwa keterbukaan yang ada pada mereka berdua itu dapat menenangkannya dan dapat membersihkan setiap keduanya di hadapan yang lain dengan penuh kebebasan dan penuh kemerdekaan.
http://www.dakwatuna.com/wp-content/uploads/pengajian-anak-anak.jpg

4.   Saudara bagi masyarakatnya
dakwatuna.com – Maksudnya adalah seorang wanita muslimah juga memiliki peran dan tanggungjawab dalam kehidupan masyarakatnya, sehingga dengan itu dirinya memiliki kontribusi dalam melakukan perbaikan dan pembangunan di tengah masyarakatnya, terutama dalam rangka mencetak individu yang baik yang kelak menjadi anggota masyarakat yang baik. Dan baik buruknya wanita dapat mempengaruhi kondisi suatu masyarakat.
Perbaikan masyarakat ada dua macam, yaitu:
a.   Perbaikan yang Zhahir (Tampak)
Yaitu perbaikan yang biasa dilakukan di tempat-tempat terbuka, seperti: Masjid, pasar, tempat kerja dan sejenisnya. Perbaikan ini tertuju kepada kelompok laki-laki karena merekalah yang banyak melakukan aktivitas di luar dan sering menampakkan diri.
b.   Perbaikan di Balik Tabir (di belakang layar, red)
Yaitu adalah perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Urusan ini biasanya diperankan oleh kaum wanita, karena merekalah pengatur urusan-urusan intern rumah tangga, sebagaimana difirmankan oleh Allah kepada Wanita-Wanita Nabi saw , yang artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Pentingnya peran wanita dalam memperbaiki masyarakat
dakwatuna.com – “Sesungguhnya perbaikan separuh dari jumlah masyarakat yang ada, bahkan sebagian besarnya tidak akan pernah bisa dipisahkan dari peran wanita,” hal ini karena dua alasan:
Pertama, jumlah wanita sama banyak dengan jumlah laki-laki, bahkan bisa lebih banyak dari laki-laki sebagaimana pernah disebutkan dalam hadits Rasulullah saw. Akan tetapi, perbandingan ini terkadang berubah-ubah setiap waktunya atau berbeda-beda antara tempat yang satu dengan yang lain.
Kadangkala di suatu negara wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki, namun di negara lain sebaliknya, laki-lakinya yang lebih banyak
Demikian pula pada suatu waktu terkadang wanita lebih banyak dari laki-laki dan di waktu lain terjadi sebaliknya laki-laki yang lebih banyak. Yang jelas bagaimanapun keadaannya, wanita tetap memiliki peran yang penting dalam perbaikan masyarakat.
Kedua, pertumbuhan generasi muda pada awalnya pasti beranjak dari pangkuan seorang ibu (wanita). Dengan demikian, maka tampak jelas bagaimana pentingnya peran yang harus diemban oleh para wanita dalam memperbaiki masyarakat.
Bagaimanakah cara yang seharusnya dilakukan oleh wanita dalam melakukan kontribusi perbaikan masyarakat? Ada beberapa langkah yang harus diperhatikan, di antaranya:
1.   Keshalihan Wanita
Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya bahwa menghambakan diri kepada Allah adalah merupakan ciri dari wanita yang shalih. Sementara itu keshalihan seorang wanita merupakan asas yang terpenting sekali daripada asas-asas yang lain. Kegagalan asas ini dapat mengakibatkan asas-asas lain tidak akan berfungsi untuk memberi kebahagiaan yang sebenarnya di dalam kehidupan. Tanpa wanita yang shalih maka keluarga-keluarga Islam tidak akan dapat diwujudkan, padahal pembinaan dan terbentuknya pergerakan Islam itu bergantung kepada kelahiran keluarga-keluarga Islam ini. Kalau sekiranya pergerakan Islam itu penting untuk membawa dan mempraktekkan Islam maka Wanita yang shalih juga sama pentingnya.
Karena itu, hendaknya wanita yang berperan dalam memperbaiki masyarakat adalah wanita yang shalihah agar ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi wanita lain. Agar seorang wanita mencapai derajat shalihah, maka ia harus memiliki ilmu, yaitu ilmu syar’i yang dapat ia pelajari melalui kitab-kitab (buku) atau melalui apa yang ia dengar dari lisan para ulama. Ia dapat mendengarkan rekaman ceramah-ceramah mereka, dan media kaset ini cukup berperan dalam mengarahkan masyarakat menuju perbaikan dan keshalihan.
2.   Fasih di Dalam Berbicara
dakwatuna.com – Hendaknya wanita tersebut adalah wanita yang dianugerahi oleh Allah kefasihan dalam berbicara. Dengan kata lain ia mampu berbicara dengan lancar dan mampu mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya dengan baik dan benar. Sehingga dapat menyingkap semua makna yang ada dalam hati dan jiwanya. Apalagi makna tersebut kadang juga ditemukan dalam diri orang lain, namun ia tidak mampu untuk mengungkapkannya dengan kata-kata atau mungkin ia mampu mengungkapkannya, akan tetapi kurang jelas dan kurang tepat sehingga perbaikan yang diharap-kan tidak mencapai hasil yang optimal.
Agar seorang wanita dapat berbicara dengan lancar dan fasih serta mampu mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya secara benar dan jelas, maka hendaknya ia mempunyai pengetahuan bahasa Arab baik nahwu, sharaf dan balaghah. Demikian pula ia harus menguasai bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang di dakwahinya.
3.   Hikmah
Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil
Hikmah dan sikap bijaksana merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya, sebagaimana firman Allah
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (Al Baqarah: 269)
Dan sebagaimana juga Allah berfirman memerintahkan para duat (laki-laki dan wanita) untuk memiliki al-hikmah dalam melakukan dakwahnya:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِين
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (An-Nahl:125)
Betapa sering tujuan tak tercapai, bahkan kesalahpahamanlah yang timbul karena tidak adanya hikmah dan sikap bijaksana dalam berdakwah. Termasuk dalam kategori hikmah dalam berdakwah adalah memposisikan orang yang didakwahi pada posisi yang semestinya. Jika ia seorang jahil, maka ia diperlakukan sesuai keadaannya. Jika ia seorang yang memiliki ilmu, namun pada dirinya ada sikap tafrith (menyia-nyiakan), ihmal (meremehkan) dan ghaflah (melalaikan) maka hendaknya diperlakukan sesuai kondisinya. Begitu pula, jika seorang yang berilmu namun suka bersikap sombong dan menolak kebenaran, maka ada cara tersendiri dalam memperlakukannya.
Di antara contoh penerapan hikmah di dalam dakwah Rasulullah saw, yakni:
a.   Kasus Orang Badui Kencing di Pojok Masjid.
Para sahabat ketika itu meneriakinya dan berkeinginan untuk mencegahnya, namun Rasulullah dengan penuh bijaksana bersabda, ”Jangan kalian putuskan kencingnya!” Maka tatkala orang tersebut selesai dari kencingnya, Nabi menyuruh agar tempat yang terkena air kencing tersebut disiram dengan seember air, lalu memanggil orang Badui tadi dan bersabda kepadanya, “Sesungguhnya masjid ini tidak layak untuk membuang kotoran di dalamnya, namun ia dipersiapkan untuk shalat, membaca al Qur’an dan dzikrullah.” (riwayat al Bukhari-Muslim).
Nabi membiarkan orang Badui tersebut meneruskan kencingnya, sebab jika ia berdiri untuk menghentikan kencingnya maka akan terjadi dua kemungkinan:
Pertama, ia akan berdiri dalam keadaan aurat terbuka untuk menghindari terkenanya air kencing pada pakaiannya dan saat ia berdiri maka air kencing akan meluas. Di samping itu ia akan dilihat oleh orang banyak dalam keadaan auratnya terbuka. Maka pada saat itu akan terjadi dua mafsadah (keburukan) baru yaitu melebarnya air kencing dan terbukanya aurat di hadapan orang.
Kedua, ia akan berdiri dengan menutup auratnya, sehingga pakaiannya akan kotor terkena air kencing. Maka untuk menghindari efek tambahan ini, Nabi membiarkannya meneruskan kencing untuk meminimalisir mafsadah.
Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa suatu kemungkaran hendaknya dibiarkan saja, jika mencegahnya ternyata akan menimbulkan kemungkaran baru yang lebih besar. Inilah salah satu ibrah atau pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini.
b.   Seorang Sahabat Nabi Bersin pada Waktu Shalat.
Muawiyah ibnul Hakam ketika ia sedang shalat bersama Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, tiba-tiba ada seseorang yang bersin lalu mengucapkan, “Alhamdulillah”, maka Muawiyah mengucapkan, “Yarhamukallah”. Seketika itu juga para sahabat yang lain memandanginya pertanda marah dengan kejadian itu, maka Muawiyah berkata, “Celaka kalian!” lalu orang-orang pada menepuk pahanya masing-masing sebagai isyarat agar ia diam, ia pun lalu diam.
Setelah selesai shalat, Rasulullah memanggil Muawiyah dan bersabda, “Shalat itu tidak boleh ada perkataan manusia di dalamnya sedikit pun, namun shalat hanyalah takbir dan membaca al Qur’an.” Maka berkatalah Muawiyah, “Aku tidak pernah melihat seorang guru yang lebih bagus cara mengajarnya dari pada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam. Demi Allah, beliau tidak membentakku dan tidak pula menghardikku.”
c.    Seorang Laki-Laki yang Memakai Cincin Emas.
Ia memakai cincin tersebut, padahal Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam sudah menjelaskan haramnya emas bagi kaum laki-laki dari umat ini. Maka beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian sengaja mengambil bara api kemudian ia taruh di tangannya”, lalu Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam mencopot cincin itu (dari tangan orang tersebut), kemudian melemparkannya. Setelah Nabi pergi orang-orang berkata kepadanya, “Ambillah cincinmu itu dan manfaatkanlah.” Maka ia menjawab, “Aku tidak akan mengambil cincin yang telah dibuang oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam.”

Di dalam kasus ini Rasulullah bersikap agak keras, hal ini dikarenakan orang tersebut sudah mengetahui tentang haramnya memakai emas bagi kaum laki-laki. Sikap ini berbeda dengan (sikap) beliau ketika menghadapi orang yang belum mengerti, sebagaimana di dalam contoh sebelumnya.

4.   Bisa Mendidik dengan Baik
dakwatuna.com – Seorang wanita hendaknya bisa mendidik anak-anaknya dengan baik, karena anak-anak adalah harapan di masa depan. Pada awal pertumbuhan-nya, anak-anak lebih banyak bergaul dengan ibu mereka. Jika sang ibu memiliki akhlaq dan perilaku yang baik, maka kelak anak-anak tersebut akan mempunyai andil yang sangat besar di dalam memperbaiki masyarakat.
Oleh karenanya, seorang wanita yang memiliki anak-anak harus memperhatikan pendidikan mereka. Seandainya ia sendiri tidak mampu untuk memperbaiki dan mendidik mereka maka hendaknya ia meminta bantuan dari ayah anak-anak tersebut. Jika anak-anak sudah tidak punya ayah, maka bisa meminta bantuan kepada wali mereka, seperti: Saudara, paman, anak saudara (keponakan) dan selainnya.
Seorang wanita juga tidak boleh menyerah dengan keadaan dan berdiam diri sebab jika demikian maka perubahan dan perbaikan tak akan bisa terlaksana dengan baik.
5.   Giat di dalam Berdakwah
Hendaknya seorang wanita giat di dalam meningkatkan taraf keilmuan kaumnya. Hal itu dapat dilakukan di tengah-tengah masyarakat, baik sekolah, universitas ataupun jenjang yang lebih tinggi lagi. Hal itu juga dapat dilakukan disela-sela ziarah atau kunjungan antara sesama wanita dengan menyampaikan beberapa kalimat yang mungkin bermanfaat bagi mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa peran aktif kaum wanita di dalam berdakwah, mengadakan kajian-kajian ilmu syar’i, pengajaran Bahasa Arab khusus bagi mereka merupakan amalan yang bagus dan layak mendapat acungan jempol. Pahala dari ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir, sekalipun mereka telah meninggal dunia, sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam.
Kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , semoga Dia berkenan menjadikan kita semua sebagai dai yang mendapatkan petunjuk. Dai yang baik dan senantiasa berusaha memperbaiki orang lain. Dan semoga Dia juga memberikan rahmat-Nya, sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Memberi.
 Tamat
(hdn)

No comments:

Post a Comment