Monday 22 April 2019

ADAB ANAK PADA ORANG TUA DAN GURUNYA 04


HORMAT KEPADA ORANG TUA DAN GURU
4.1 Menjelaskan isi Q.S Al-Isra / 17:23-24
Al-Qur’an Surat Al-Isra’ (17) ayat 23-24.
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“ Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
(Qs. Al Israa’ [17]:23)
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا.
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku,kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’.”
(Qs. Al Israa’ [17]:24)
Surat Al-Isra ayat 23-24 memiliki kandungan mengenai pendidikan berkarakter. Definisi dari karakter adalah satu kesatuan yang membedakan satu dengan yang lain atau dengan kata lain karakter adalah kekuatan moral yang memiliki sinonim berupa moral, budipekerti, adab, sopan santun dan akhlak. Akhlak dan adab sumbernya adalah wahyu yakni berupa Al-Qur’an dan Sunah. Sedangkan budi pekerti, moral, dan sopan santun sumbernya adalah filsafat. Kembali kepada pengertian dari Surah Al-Isra ayat 23 disebutkan bahwa yang pertama Allah memerintahkan kepada hamba-hambanya untuk menyembah Dia semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.yangkedua, kita harus berbakti kepada orang tua. Lalu pada ayat 24 disebutkan bahwa anak hendaknya mendoakan kedua orang tuanya. Ulama menegaskan bahwa doa kepada kedua orang tua yang dianjurkan adalah bagi yang muslim, baik yang masih hidup atau telah meninggal. Sedangkan bila ayah atau ibu yang tidak beragama islam telah meninggal, maka terlarang bagi anak untuk mendoakannya. Dari penjelasan di atas sangat jelas bahwa ketika kita menghargai dan menyayangi orang tua kita dengan baik maka akan menumbuhkan akhlak serta moral yang baik pula bagi anak sedangkan jikalau kita acuh maka akan timbuh akhlak dan moral yang tidak baik. Dengan kata lain, hal ini sangat berpengaruh dalam pendidikan karakter. Antara orangtua sebagai pendidik dan anak. Segala sesuatu yang diajarkan dengan baik pada mulanya akan menanamkan karakter yang baik pula pada anak. Untuk itu berbakti kepada orang tua merupakan suatu cara yang harus dilakukan.
4.2 Menjelaskan isi hadis-hadis yang terkait dengan hormat dan patuh kepad orang tua dan guru
  1. Hadis Abdullah ibnu Umar tentang ridho Allah terletak pada ridho orang tua.
عَنْ عَبْدُ الله بن عَمْرٍو رضي الله عنهما قال قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: رِضَى اللهُ فى رِضَى الوَالِدَيْنِ و سَخَطُ الله فى سَخَطُ الوَالِدَيْنِ ( اخرجه الترمذي وصححه ابن حبان والحاكم)
Artinya: dari Abdullah bin ‘Amrin bin Ash r.a. ia berkata, Nabi SAW telah bersabda: “ Keridhoaan Allah itu terletak pada keridhoan orang tua, dan murka Allah itu terletak pada murka orang tua”. ( H.R.A t-Tirmidzi. Hadis ini dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim)[1][1]




  1. Hadis Abu Hurairah tentang siapakah yang berhak dipergauli dengan baik.
عَنْ اَبِي هُرَيرَةَ رضي الله عنه قال جَاءَ رَجُلٌ الى رسولِ الله صلى الله عليه وسلم فقال يَا رسولَ الله مَنْ اَحَقًّ النّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قال: اُمُّك قال: ثُمَّ مَنْ؟ قال: ثُمَّ اُمُّك قال: ثم من؟ قال :ثم امُّك قال: ثم من؟ قال : ثم اَبُوْكَ (اخرجه البخاري)
Artinya: dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: “ Suatu saat ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, lalu bertanya: “ Wahai Rasulullah, siapakah yang berhak aku pergauli dengan baik?” Rasulullah menjawab : “ Ibumu!”, lalu siapa? Rasulullah menjawab: “ Ibumu!”, lalu siapa? Rasulullah menjawab: “Ibumu!”. Sekali lagi orang itu bertanya: kemudian siapa? Rasulullah menjawab: “ Bapakmu!”(H.R.Bukhari).[1][2]
  1. Hadis Abdullah bin Mas’ud tentang amal yang paling disukai Allah SWT.
عَبْدُ الله بن مَسْعُودٍ قال سَاَ لْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم ايُّ الْعَمَلِ اَحَبُّ الى الله قال: الصَّلَاةُ على وَقْتِهَا قال: ثم اي قال:ثُمَّ بِرُّ الْوَالْدَيْنِ قال: ثم اي قال: الجِهَادُ فى سَبِيْلِ الله ( اخرجه البخاري و مسلم)
Artinya: “ dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia berkata: “ Saya bertanya kepada Nabi saw: amal apakah yang paling disukai oleh Allah Ta’ala?” beliau menjawab: “ shalat pada waktunya. “ saya bertanya lagi: “ kemudian apa?” beliau menjawab: “ berbuat baik kepada kedua orang tua. “ saya bertanya lagi: “ kemudian apa?” beliau menjawab: “ berjihad(berjuang) di jalan Allah.” (H.R. Bukhari dan Muslim).[1][3]
  1. Hadis Al-Mughirah bin Su’bah tentang Allah mengharamkan durhaka kepada ibu, menolak kewajiban, meminta yang bukan haknya.
عن المغيرة بن شعبة قال النبي صلى الله عليه وسلم : ان الله حرم عليكم عقوق الامهات ووأد البنات ومنع وهات وكره لكم قيل وقال وكثرة السؤال واضاعة المال (اخرجه البخاري)
Artinya: dari Al-Mughirah bin Syu’ban r.a. ia berkata, Nabi Saw telah bersabda: “ Sungguh Allah ta’ala mengharamkan kalian durhaka kepada ibu, menolak kewajiban, meminta yang bukan haknya dan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Allah juga membenci orang yang banyak bicara, banyak pertanyaan dan menyia-nyiakan harta.” (H.R.Bukhari).[1][4]
  1. Hadis Abdullah ibnu Umar tentang dosa-dosa besar.
عن عبد الله بن عمر ورضى الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان من اكبر الكبا ئر ان يلعن الر جل والديه . قيل رسول الله.و كيف يلعن لر جل والديه ؟ قا ل: يسب الرجل ابا لرجل فيسب أبا لرجل فيسب أبا ه و يسب ( أخر جه امام بخاري)
Artinya: “ dari Abdullah bin ‘amr bin al-ash ia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda: “ diantara dosa-dosa besar yaitu seseorang memaki kedua orang tuanya. “ para sahabat bertanya: “ Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang yang memaki kedua orang tuanya?” Beliau menjawab: “ Ya, apabila seseorang memaki ayah orang lain, kemudian orang itu membalas memaki ayahnya kemudian ia memaki ibu orang lain, dan orang itu memaki ibunya. (H.R. Bukhari).[1][5]
4.3 Menunjukkan contoh perilaku yang mencerminkan hormat dan patuh kepada orang tua dan guru
PEMBAHASAN
A.    Birrul Walidain
  1. Pengertian Birrul Walidain
Istilah Birrul Walidain terdiri dari kata Birru dan al-WalidainBirru atau al-birruartinya kebajikan dan al-walidain artinya kedua orang tua atau ibu bapak. Jadi, Birrul Walidain adalah berbuat kebajikan terhadap kedua orang tua.
  1. Kedudukan Birrul Walidain
Birrul Walidain mempunyai kedudukan yang istimewa dalam ajaran Islam. Allah dan Rasul-Nya menempatkan orang tua pada posisi yang sangat istimewa, sehingga berbuat baik pada keduanya juga menempati posisi yang sangat mulia, dan sebaliknya durhaka kepada keduanya menempati posisi yang sangat hina. Karena mengingat jasa ibu bapak yang sangat besar sekali dalam proses reproduksi dan regenerasi umat manusia.
Secara khusus Allah juga mengingatkan betapa besar jasa dan perjuangan seorang ibu dalam mengandung, menyusui, merawat dan mendidik anaknya. Kemudian bapak, sekalipun tidak ikut mengandung tapi dia berperan besar dalam mencari nafkah, membimbing, melindungi, membesarkan dan mendidik anaknya, sehingga mempu berdiri bahkan sampai waktu yang sangat tidak terbatas.
Berdasarkan semuanya itu, tentu sangat wajar dan logis saja, kalau si anak dituntut untuk berbuat kebaikan kepada orang tuanya dan dilarang untuk mendurhakainya.[1][6]
  1. Bentuk-Bentuk Birrul Walidain
Adapun bentuk-bentuk Birrul Walidain di antaranya:
  1. Taat dan patuh terhadap perintah kedua orang tua, taat dan patuh orang tua dalam nasihat, dan perintahnya selama tidak menyuruh berbuat maksiat atau berbuat musyrik, bila kita disuruhnya berbuat maksiat atau kemusyrikan, tolak dengan cara yang halus dan kita tetap menjalin hubungan dengan baik.
  2. Senantiasa berbuat baik terhadap kedua orang tua, bersikap hormat, sopan santun, baik dalam tingkah laku maupun bertutur kata, memuliakan keduanya, terlebih di usia senja.[1][7]
  3. Mengikuti keinginan dan saran orang tua dalam berbagai aspek kehidupan, baik masalah pendidikan, pekerjaan, jodoh, maupun masalah lainnya. Selama keinginan dan saran-saran itu sesuai dengan ajaran Islam.
  4. Membantu Ibu Bapak secara fisik dan materil. Misalnya, sebelum berkeluarga dan mampu berdiri sendiri anak-anak membantu orang tua terutama ibu. Dan mengerjakan pekerjaan rumah.
  5. Mendoakan Ibu Bapak semoga diberi oleh Allah kemampuan, rahmat dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirta.
  6. Menjaga kehormatan dan nama baik mereka.
  7. Menjaga, merawat ketika mereka sakit, tua dan pikun.
  8. Setelah orang tua meninggal dunia, Birrul Walidain masih bisa diteruskan dengan cara antara lain:
–          Mengurus jenazahnya dengan sebaik-baiknya
–          Melunasi semua hutang-hutangnya
–          Melaksanakan wasiatnya
–          Meneruskan sillaturrahmi yang dibinanya sewaktu hidup
–          Memuliakan sahabat-sahabatnya
–          Mendoakannya.
  1. Doa Anak untuk Orang Tua
Seorang anak yang ingin mendoakan kedua orang tuanya dapat mengambil contoh dari ayat suci Alquran yaitu, doa Nabi Ibrahim as ketika mengajukan permohonan kepada Allah Swt agar dapat lah kiranya Allah memberi ampunan pada kedua orang tuanya dari dosa-dosa yang telah mereka perbuat.
Doa Nabi Ibrahim as dalam Q.S.Ibrahim:41
  1. Ya Tuhan Kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”.
Permohonan Nabi Ibrahim dalam Q.S. Al-Israa’: 24
  1. dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
  1. ‘Uququl Walidain
‘Uququl Walidain artinya mendurhakai kedua orang tua. Durhaka kepada kedua orang tua adalah dosa besar yang dibenci oleh Allah Swt, sehingga adzabnya disegerakan oleh Allah di dunia ini. Hal ini mengingat betapa istimewanya kedudukan kedua orang tua dalam ajaran Islam dan juga mengingat betapa besarnya jasa kedua orang tua terhadap anaknya, jasa itu tidak bisa diganti dengan apapun.
Adapun bentuk pendurhakaan terhadap orang tua bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, mulai dari mendurhaka di dalam hati, mengomel, mengatakan “ah” ( uffin, berkata kasar, menghardik, tidak menghiraukan panggilannya, tidak pamit, tidak patuh dan bermacam-macam tindakan lain yang mengecewakan atau bahkan menyakitkan hati orang tua.) di dalam Q.S. A-Israa:23 di ungkapkan oleh Allah dua contoh pendurhakaan kepada orang tua yaitu, mengucapkan kata “uffin” dan menghardik ( lebih-lebih lagi bila kedua orang tua sudah berusia lanjut)
Akhlak Kepada Guru
  • Guru adalah orang tua kedua, yaitu orang yang mendidik murid-muridnya untuk menjadi lebih baik sebagaimana yang diridhoi Alloh ‘azza wa jalla. Sebagaimana wajib hukumnya mematuhi kedua orang tua, maka wajib pula mematuhi perintah para guru selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syari’at agama.
  • Di antara akhlaq kepada guru adalah memuliakan, tidak menghina atau mencaci-maki guru, sebagaimana sabda Rosululloh saw :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua dan tidak menyayangi orang yang lebih muda.” ( HSR. Ahmad dan At-Tirmidzi )
  • Di antara akhlaq kepada guru adalah mendatangi tempat belajar dengan ikhlas dan penuh semangat, sebagaimana sabda Rosululloh saw :
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu padanya, Alloh mudahkan baginya dengannya jalan menuju syurga.” ( HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah )
  • Di antara akhlaq kepada guru adalah datang ke tempat belajar dengan penampilan yang rapi, sebagaimana sabda Rosululloh saw :
إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sesungguhnya Alloh itu indah dan suka kepada keindahan.”( HR. Ahmad, Muslim dan Al-Hakim )
  • Di antara akhlaq kepada guru yaitu diam memperhatikan ketika guru sedang menjelaskan, sebagaimana hadits Abu Sa’id Al-Khudri ra :
وَ سَكَتَ النَّاسُ كَأَنَّ عَلَى رُءُوسِهِمْ الطَّيْرَ
“Orang-orang pun diam seakan-akan ada burung di atas kepala mereka.” ( HR. Al-Bukhori )
  • Imam Sufyan Ats-Tsauri rohimahullohberkata : “Bila kamu melihat ada anak muda yang bercakap-cakap padahal sang guru sedang menyampaikan ilmu, maka berputus-asalah dari kebaikannya, karena dia sedikit rasa malunya.”( AR. Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ilas-Sunan )
  • Di antara akhlaq kepada guru adalah bertanya kepada guru bila ada sesuatu yang belum dia mengerti dengan cara baik. Alloh berfirman :
فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Bertanyalah kepada ahli dzikr ( yakni para ulama ) bila kamu tidak tahu.”( Qs. An-Nahl : 43 dan Al-Anbiya’ : 7 )
  • Rosululloh saw bersabda :
أَلاَ سَأَلُوْا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ
“Mengapa mereka tidak bertanya ketika tidak tahu ? Bukankah obat dari ketidaktahuan adalah bertanya ?” ( HSR. Abu Dawud )
  • Dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada faedahnya, sekedar mengolok-olok atau yang dilatarbelakangi oleh niat yang buruk, oleh karena itu Alloh berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَسْأَلُوْا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan sesuatu yang bila dijawab niscaya akan menyusahkan kalian.” ( Qs. Al-Maidah : 101 )
  • Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْنَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
“Sesungguhnya orang muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, lantas menjadi diharamkan lantaran pertanyaannya itu.” ( HR. Ahmad, Al-Bukhori dan Muslim )
  • Ketika bertanya mestinya dilakukan dengan cara dan bahasa yang bagus.
Berkata Imam Maimun bin Mihron : “Pertanyaan yang bagus menunjukkan separuh dari kefahaman.” ( AR. Al-Khothib Al-Baghdadi dalam Al-Jami’ )
  • Di antara akhlaq kepada guru adalah menegur guru bila melakukan kesalahan dengan cara yang penuh hormat, sebagaimana sabda Rosululloh :
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ , قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ لِلَّهِ وَ لِكِتَابِهِ وَ لِرَسُولِهِ وَ لأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَ عَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat.” Kami ( Shahabat ) bertanya : “Untuk siapa ?” Beliau menjawab : “Untuk menta’ati Alloh, melaksanakan Kitab-Nya, mengikuti Rosul-Nya untuk para pemimpin kaum muslimin dan untuk orang-orang umum.” ( HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dll )
  1. Akhlak terhadap orang tua menurut etika :
            Orang tua adalah oran yang telah merawat kita, menjaga, memelihara, dan mendidik kita sejak kecil hingga kita menjadi dewasa. Mereka melakukannya secara sunguh-sungguh dan penuh kasih sayang demi mengharapkan kehidupan kita yang lebih baik. Bahkan orang tua dengan susah payah bekerja mencari nafkah untuk membahagiakan kita.
Sedemikian besar peran orang tua dalam hidup kita, sehingga sudah sepantasnya kita sebagai orang yang berpengetahuan haruslah menjaga etika kita terhadap orang tua. Diantara bentuk-bentuk perbuatan kita yang sesuai dengan etika adalah :
  1. Selalu taat kepada keduanya dan menjalankan segala perintahnya, asalkan perintah itu tidak bertentangan dengan ajaran agama dan tidak melanggar hukum yang berlaku di suatu tempat. Meskipun orang tua kita berbuat aniaya kepada kita, tetaplah kita tidak boleh menyinggung perasaan mereka ataupun membalas perbuatan yang mereka terhadap kita. Baik bagaimanapun mereka tetaplah orang tua kita yang telah merawat kita semenjak kita kecil.
Menurut ukuran umum, orang tua tidak akan berbuat aniaya kepada anaknya sendiri. Jikalau terjadi aniaya, biasanya disebabkan oleh perbuatan si anak yang berbuat keterlaluan kepada orang tua.
  1. Jika hendak pergi hendaklah meminta izin kepada keduanya. Apabila tidak diizinkan kita harus menerimanya dengan lapang dada.
  2. Berbicaralah dengan lemah lembut, bermuka manis, dan berseri-seri. Janganlah meninggikan suara ketika berbicara kepada orang tua dan jangan pula menggunakan kata-kata yang kasar kepada keduanya.
  3. Perhatikan nasihat-nasihat orang tua dan janganlah memotong pembicaraannya.
  4. Membantu pekerjaan orang tua dengan sekuat tenaga, terutama jika orang tua sudah berusaha lanjut.
  5. Selalu bersikap baik dan sopan santun baik dalam perbuatan maupun perkataan.
  6. Selalu menyambung silaturahim kepada keduanya meskipun kita dalam perantauan ataupun kita sudah memiliki keluarga sendiri, selalu menepati janji kita, dan menghormati sahabat-sahabat orang tua dengan baik.
  7. Selalu mendoakan orang tua agar diampuni dosa-dosanya oleh Allah swt.
Sementara itu menurut imam al-Ghazali, etika anak terhadap orang tuanya adalah sebagai berikut:
  1. Mendengarkan pembicaraannya.
  2. Melaksanakan perintahnya.
  3. Tidak berjalan di depannya.
  4. Tidak mengeraskan suara ketika berbicara kepadanya.
  5. Menjawab panggilannya.
  6. Berkemauan keras menyenangkan hatinya.
  7. Menundukkan badannya.
  8. Tidak mengungkit kebaikan kita terhadap mereka.
  9. Tidak memandang dengan mata melotot dan tidak menatap matanya.
Itulah sebagian kecil bentuk akhlak anak terhadap orang tua menurut etika
  1. Akhlak Kepada Guru Menurut Etika
Murid adalah orang yang sedang belajar dan menuntut ilmu kepada seorang guru. Demi untuk keberkahan dan kemudahan dalam meraih dan mengamalkan ilmu atau pengetahuan yang telah diperoleh dari seorang guru, maka seorang murid haruslah memiliki akhlak atau etika yang benar terhadap gurunya.
Beberapa contoh etika murid terhadap guru (Mu’allim), diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Seorang murid hendaklah hormat kepada guru, mengikuti pendapat dan petunjuknya.
  2. Seorang murid hendaklah memberi salam terlebih dahulu kepada guru apabila menghadap atau berjumpa dengan beliau.
  3. Seorang murid hendaklah memandang gurunya dengan keagungan dan meyakini bahwa gurunya itu memiliki derajat kesempurnaan, sebab hal itu lebih memudahkan untuk mengambil manfaat dari beliau.
  4. Seorang murid hendaklah mengetahui dan memahami hak-hak yang harus diberikan gurunya dan tidak melupakan jasanya.
  5. Seorang murid hendaklah bersikap sabar jika menghadapi seorang guru yang memiliki perangai kasar dan keras.
  6. Seorang murid hendaklah duduk dengan sopan di hadapan gurunya, tenang, merendahkan diri, hormat sambil mendengarkan, memperhatikan, dan menerima apa yang disampaikan oleh gurunya.
Jangan duduk sambil menengok kanan kiri kecuali untuk suatu kepentingan.
  1. Seorang murid hendaklah ketika mengadap gurunya dalam keadaan sempurna dengan badan dan pakaian yang bersih.
  2. Seorang murid hendaklah jangan banyak bicara di depan guru ataupun membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
  3. Seorang murid hendaklah jangan bertanya dengan tujuan untuk mengujinya dan menampakkan kepandaian kepada guru.
  4. Seorang murid hendaklah jangan bersenda gurau di hadapan guru
  5. Seorang murid hendaklah jangan menanyakan masalah kepada orang lain ditengah majlis guru.
  6. Seorang murid hendaknya tidak banyak bertanya, apalagi jika pertanyaan itu tidak berguna
  7. Jika guru berdiri, Seorang murid hendaklah ikut berdiri sebagai penghormatan kepada beliau.
  8. Seorang murid hendaklah tidak bertanya suatu persoalan kepada guru ketika sedang di tengah jalan.
  9. Seorang murid hendaklah tidak menghentikan langkah guru di tengah jalan untuk hal-hal yang tidak berguna.
  10. Seorang murid hendaklah tidak berburuk sangka terhadap apa yang dilakukan oleh guru  ( guru lebih mengetahui tentang apa yang dikerjakannya).
  11. Seorang murid hendaklah tidak  mendahului jalannya ketika sedang berjalan bersama.
  12. Ketika guru sedang memberi penjelasan/ berbicara hendaklah murid tidak memotong pembicaraannya. Kalaupun ingin menyanggah pendapat beliau maka sebaiknya menunggu hingga beliau selesai berbicara dan hendaknya setiap memberikan sanggahan atau tanggapan disampaikan dengan sopan dan dalam bahasa yang baik.
  13. Apabila ingin menghadap atau bertemu untuk sesuatu hal maka sebaiknya murid memberi konfirmasi terlebih dahulu kepada guru dengan menelphon atau mengirim pesan, untuk memastikan kesanggupannya dan agar guru tidak merasa terganggu.
  14. Murid haruslah berkata jujur apabila guru menanyakan suatu hal kepadanya.
  15. Seorang murid hendaklah menyempatkan diri untuk bersilaturahim ke rumah guru di waktu-waktu tertentu, sebagai bentuk rasa saying kita terhadap beliau.
  16. Meskipun sudah tidak dibimbing lagi oleh beliau ( karena sudah lulus) murid hendaklah tetap selalu mengingat jasanya dan tetap terus mendoakan kebaikan –kebaikan atas mereka.
Bagaimanapun juga guru merupakan orang tua kedua kita setelah orang tua kita yang di rumah. Mereka adalah orang tua kita saat kita berada di luar rumah. Jadi sebagaiman kita menghormati orang tua kandung kita, maka kitapun juga harus menghormati guru kita.
Sebagaimana disyiratkan dalam sabda Rasulullah SAW :
“Tidak termasuk umatku orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua dari kami, tidak mengasihi orang yang lebih kecil dari kami dan tidak mengetahui hak orang alim dari kami.” (HR.Ahmad, Thabrani, dan Hakim dari Ubadah bin Shamit Ra.)
“Pelajarilah oleh kalian ilmu, pelajarilah oleh kalian ilmu(yang dapat menumbuhkan) ketenangan, kehormatan, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang yang kalian menuntut ilmu darinya.” (HR. Thabrani dari Abu Hurairah. Ra)
  1. Kedudukan Guru
“ Bapak Guru lebih mulia dari bapak kandung “. Sebab, Ibu Bapak itu mendewasakan dari segi jasmani yang bersifat material, sedangkan Bapak/Ibu Guru mendewasakan dari segi rohani yang bersifat spiritual dan universal.
Para Guru, Ustadz, Ustadzah, atau Mua’lim, Mursyid, selain mengantarkan kita menjadi orang yang beramal sholih, mereka termasuk pewaris Nabi-Nabi, justru merekalah penyalur pusaka dalam menjalankansyari’at, akhlak, aqidah, dan mereka pula contoh yang terdekat dengan kita. Berkaitan dengan hal tersebut, Nabi bersabda :
Ulama adalah penerima pusaka Nabi-Nabi. (HR. al-Tirmizi dan Abu Daud).
Sehubungan dengan hadist tersebut, maka kita diperintahkan untuk menghormati para Ulama, meski bukan Guru kita. Begitupula dengan para Da’I dan Muballigh selaku penyalur risalah kenabian, yang kini disebut Da’wah atau Kulyah Agama. Adapun Ulama yang sebenarnya adalah yang berilmu, dan beramal dengan ilmunya itu, serta ilmudan amalanya tersebut sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist

ADAB ANAK PADA ORANG TUA DAN GURUNYA 03


Patuh dan Taat Kepada Orang tua dan Guru01
 1. Taat dan Patuh Kepada Orang tua
Taat kepada orang tua atau disebut juga dengan birrul walidain merupakan bagian dalam etika islam yang menunjukkan kepada tindakan berbakti (berbuat baik ) kepada kedua orang tua. Berbakti kepada orang tua ini hukumnya fardu ain bagi setiap muslim, meskipun kedua orang tuanya non muslim. Setiap muslim wajib menaati semua perintahdari keduanya selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah. Birrul walidain merupakan bentuk silaturahmi yang paling utama.
2. Hukum Taat dan patuh Kepada Orang Tua
Para ulama sepakat bahwa hukum berbakti kepada orang tua hukumnya wajib. Allah swt berfirman :
a4
Artinya : Sesembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua ibu bapak (QS. An- nisa’ : 36)
Dalam ayat tersebut berbuat baik kepada ibu bapak merupakan [erintah, dan perintah disini menunjukkan kewajiban, khususnya karena terletak setelah perintah beribadah dan mengesakan Allah , serta tidak didapati perubahan (kalimat dalam ayat tersebut) dari perintah ini
a5
Artinya : Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (QS. Al – israa’)
3. Patuh terhadap orang tua
a. Hak –Hak Yang Wajib Dilaksanakan Ketika Orang Tua Masih Hidup
Diantara hak orang tua ketika masih hidup sebagai berikut :
1. Menaati mereka selama tidak mendurhakai mereka
2. Berbakti dan merendahkan diri di hadapan kedua orang tua
3. Berbicara dengan lembut dihadapan mereka
4. Memenuhi sumpah kedua orang tua
5. Membuat mereka rida dengan berbuat baik kepada orang- orang yang dicintai mereka
6. Tidak mencelah orang tua atau tidak menyebabkan mereka dicela orang lain
7. Mendahulukan berbakti kepada ibu kemudian ayah
b. Hak –Hak Yang Wajib Dilaksanakan Ketika Orang Tua Sudah Meninggal
Diantara hak orang tua setelah mereka meninggal sebagai berikut :
1. Mensholati keduanya
2. Beristigfar untuk memohon ampun atas dosa kedua oang tua
3. Menunaikan janji kedua orang tua
4. Memuliakan teman kedua orang tua
5. Menyambung tali silaturahmi dengan kerabat ibu dan ayah
4. Hormat Dan Patuh Kepada Guru
Cara menghormati guru sebagai berikut :
a. Tetap rendah hati terhadap gurunya, meskipun ilmu kita lebih banyak dari pada gurunya
b. Menaati setiap arahan dan bimbingan guru
c. Senantiasa berkhidmat untuk guru dengan mengharapkan balasan pahala serta kemuliaan di sisi Nya
d. Memandang guru dengan perasaan penuh hormat dan takzim serta mempercayai kesempurnaan ilmunya
Dengan menghormati guru kita akan mendapatkan keuntungan sebagai berikut :
a. Ilmu yang kita peroleh akan Menjadi berkah dalam kehidupan kita
b. Akan lebih mudah menerima pelajaran yang disampaikan
c. Ilmu yang diperoleh dari guru akan menjadi manfaat bagi orang lain
d. Akan selalu di doakan oleh guru

ADAB ANAK PADA ORANG TUAMYA 02

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ûd RA: 

سَأَلْتُ النَّبِيَّ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ، قَالَ ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ الله، قَالَ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي

“Aku bertanya kepada Rasulullâh SAW, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab: ‘Shalat tepat pada waktunya.’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Berjihad di jalan Allah.’ Rasulullah menyebutkan (ketiga) hal itu kepadaku, seandainya aku bertanya lagi tentu Rasulullah akan menambahkan lagi.”

Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa dalam kehidupan sehari-hari jihad di jalan Allah bukanlah prioritas pertama karena ada yang lebih tinggi dan disukai oleh SWT dari pada jihad, yakni shalat di awal waktu dan berbakti kepada orang tua. Hal itu dapat kita ketahui dari urutan kalimat atau redaksi dalam  hadits di atas, yakni: 1.  
الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا (shalat di awal waktu), 2. بِرُّ الْوَالِدَيْنِ (berbakti kepada kedua orang tua), dan 3. الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ (jihad di jalan Allah). 

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Ketiga hal di atas, yakni:  sahalat di awal waktu, berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad di jalan Allah kesemuanya adalah perintah Allah SWT sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an:

1.  
أَقِمِ الصَّلَاةَ, Tegakkanlah shalat, (Al-Isra’,  78) 

2. 
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا,  Berbaktilah kepada kedua orang tua (Al-Isra, 23)

3.  
وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ الله,  Berjihadlah di jalan Allah (Al-Baqarah, 218)

Jika kita bandingkan antara berbakti kepada kedua orang tua dengan jihad di jalan Allah maka berbakti kepada kedua orang tua harus lebih didahulukan dari pada jihad karena ia menempati urutan kedua, sedangkan berjihad berada di urutan ketiga. Dari sisi hukum Islam, berbakti kepada kedua orang tua hukumnya fardhu ain yang berarti mengikat atau berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali. Sedangkan jihad di jalan Allah, menurut jumhur ulama,  hukumnya fardhu kifayah yang berarti jika sudah ada sebagian orang yang melakukannya, maka sebagian yang lain tidak wajib melakukannya sehingga tidak serta merta terkena dosa karena ketidak ikut sertaannya. Dalam keadaan tertentu, hukum jihad di jalan Allah bisa berubah menjadi fardhu ain. 

Beberapa tahun terakhir ini, terutama sejak reformasi, beberapa kekerasan atas nama agama  terjadi dimana-mana di berbagai daerah di Indonesia. Kekerasan itu dilakukan oleh sekelompok orang yang terlatih atas nama jihad dengan mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah. Pertanyaannya adalah apakah mereka mendapatkan izin dari kedua orang tuanya untuk melakukan kekerasan yang tidak hanya menewaskan orang lain tetapi juga menewaskan diri sendiri tersebut? 

Pertanyaan di atas penting untuk dijawab sebab jika tidak mendapatkan izin dari kedua orang tua, maka siapa pun sebetulnya tidak diperbolekan pergi berjihad. Rasulullah SAW sendiri  tidak berani memberangkatkan seseorang untuk pergi berjihad di jalan Allah jika orang tersebut tidak mendapat izin dari orang tuanya. Padahal jihad yang diserukan Rasulullah SAW adalah jihad yang dijamin bisa dipertanggungjawabkan keabsahan dan kebenarannya di hadapan Allah SWT, dan bukan jihad yang kontroversial apalagi jihad yang keliru sama sekali. 

Sikap Rasulullah SAW yang tidak bersedia memberangkatkan seseorang pergi ke medan jihad tanpa izin kedua orang tuanya dapat kita lihat pada kandungan hadits yang diriwayatkan dari `Abdullâh bin `Amr  RA berikut ini:

  جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ 

“Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullâh, lalu dia minta idzin ikut berjihad. Rasulullâh bertanya: ‘Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Lelaki itu menjawab, “Ya.” Rasulallâh bersabda, “Berjihadlah di sisi keduanya!”

Hadits tersebut mengandung maksud bahwa seseorang yang hendak berjihad harus mendapatkan izin dari kedua orang tuanya karena jihad (dalam arti perang di jalan Allah) itu mempertaruhkan nyawa. Hanya kedua orang tuanya yang berhak memberi izin berjihad, baik orang itu sudah berkeluarga maupun belum. Hal ini tentu bisa kita mengerti karena kehadiran seseorang ke dunia ini melalui kedua orang tuanya dimana sang ibu dahulu sewaktu melahirkannya membutuhkan perjuangan yang luar biasa dengan nyawa sebagai taruhannya. 

Apakah perjuangan seorang ibu yang sedemikian berat itu boleh diabaikan sang anak begitu saja sehingga ia pergi berjihad tanpa restu atau izinnya?  Tentu saja tidak! Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas, Rasululllah SAW memerintahkan agar laki-laki yang hendak ikut berjihad bersama Rasulullah SAW itu supaya pulang menemui kedua orang tuanya untuk berbakti kepada mereka. Rasulullah mengatakan, 
فَفِيهِمَا فَجَاهِد, “Berjihadlah di sisi keduanya!”. Artinya berbakti kepada kedua orang tua itu juga termauk jihad di jalan Allah meski tidak secara langsung. 

Dalam hadits  lain yang diriwayatkan Ibnu Majah, dikatakan  bawa seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata: 

يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّى جِئْتُ أُرِيدُ الْجِهَادَ مَعَكَ أَبْتَغِى وَجْهَ الله وَالدَّارَ الآخِرَةَ وَلَقَدْ أَتَيْتُ وَإِنَّ وَالِدَىَّ لَيَبْكِيَانِ. قَالَ : فَارْجِعْ إِلَيْهِمَا فَأَضْحِكْهُمَا كَمَا أَبْكَيْتَهُمَا.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya datang ingin berjihad bersamamu, mencari wajah Allah dan (surga) di kehidupan akhirat, dan sesungguhnya kedua orangtua saya benar-benar menangis. Beliau Rasulullah SAW menjawab: “Kembalilah kepada keduanya, buatlah mereka berdua tertawa sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis.”

Hadits tersebut menegaskan bahwa jika orang tua tidak mengizinkan seseorang pergi berjihad bersama Rasulullah SAW, maka orang tersebut harus mengurungkan niatnya. Jika orang tua menangisi kepergian sang anak ke medan jihad karena memang tidak memberikan izin, maka sang anak harus kembali ke rumah dan melakukan sesuatu yang dapat menyenangkan hati kedua orang tuanya hingga mereka dapat tertawa bahagia untuk menghapus kecemasan dan kesedihan yang mereka rasakan sebelumnya.    

Mengingat arti pentingnya izin orang tua dalam jihad, maka orang tua harus bisa memilah mana jihad yang bisa dipertanggungg jawabkan kepada Allah dan mana yang tidak. Jihad yang bisa dipertanggung jawabkan di hadapan Allah adalah jihad sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW bersama para sahabat. Dalam jihad seperti itu saja, Rasulullah tidak berani melanggar hak orang tua dalam kaitannya dengan izin keterlibatan seseorang. Rasulullah SAW sangat menghargai hak orang tua untuk mengizinkan atau tidak menginjinkan seseorang berjihad di medan perang.    

Dalam konteks Indonesia, contoh jihad yang mirip dengan apa yang dilakukan Rasulullah SAW adalah jihad sebagaimana dilakukan para pahlawan kita dahulu dalam rangka mengusir penjajah yang telah menindas dan menyengsarakan bangsa kita. Perjuangan mengusir penjajah sebagaimana diserukan para ulama, terutama kiai-kiai NU,  lewat seruan jihad yang kemudian dikenal  dengan Resolusi Jihad 1945 menjadi wajib dilaksanakan. Para penjajah memang harus dilawan dan diusir demi mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Bapak Proklamator kita - Soekarno- Hatta.  Apalagi para penjajah itu bukanlah orang-orang yang beriman tauhid alias kafir. 

Kembali kepada pertanyaan saya di awal,  apakah para pelaku kekerasan atas nama agama  di tanah air mendapatkan izin dari kedua orang tuanya? 

Tentu tidak mudah untuk mendapatkan jawaban pasti karena diperlukan sebuah penelitian. Tetapi jika pertanyaan itu dikembalikan kepada kita dan diubah menjadi, “Apakah sebagai orang tua kita mengizinkan anak-anak kita melakukan kekerasan seperti itu?”

Sebagai orang tua tentu kita tidak mengizinkan dengan berbagai alasan kita masing-masing.  Tetapi persoalannya adalah para pelaku kekerasan itu umumnya sudah melepaskan diri dari  ikatannya dengan orang tua yang dibuktikan dengan sulitnya komunikasi diantara mereka. Mereka sudah lama menghilang dari rumah. Dengan kata lain mereka sudah tidak patuh lagi kepada kedua orang tua. Mereka lebih patuh dan setia kepada guru sekaligus pimpinannya. Mengapa demikian?   

Jawabnya, karena mereka telah dicuci otaknya dan diindoktrinasi bahwa orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dan menghalang-halangi jihad mereka adalah orang-orang kafir. Oleh karena itu mereka tidak segan-segan untuk mengkafirkan orang tua sendiri jika tidak sepaham dengan mereka. Jika orang tua sendiri sudah diyakini kafir, maka menurut keyakinan mereka, izin dari orang tua untuk berjihad tidak mereka perlukan. 

Anak adalah amanah dari Allah kepada kita. Anak menjadi tanggung jawab kita baik di dunia maupun di akherat. Tidak ada mantan anak sebagaimana tidak ada mantan orang tua. Hubungan anak dan orang tua bersifat abadi. Oleh karena itu, menjadi kewajiban kita untuk mendidik anak-anak kita menjadi waladun shalih – anak yang saleh. Kesalehan seperti itu akan lebih mudah dicapai ketika hubungan anak dan orang tua senatiasa baik, dimana orang tua selalu  menyayangi dan melidungi anak-anaknya.  Sebaliknya, anak-anak selalu hormat dan berbakti kepada kedua orang tua.  Insya Allah selama anak-anak kita masih hormat dan patuh kepada kita sebagai orang tua, mereka tidak akan mudah terbawa arus yang menyeret mereka kepada tindakan kekerasan yang tidak semestinya. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita dan keluarga kita masing-masing. Amin, ya rabbal alamin.