AL ARIF BILLAH KH. ACHMAD SIDDIQ (2)
SANG MUROBBY PPI AS SHIDDIQI PUTERA JEMBER
Bagian Kedua
Awal
Nyantri
Ketika mengikuti tes masuk Fakultas Tarbiyah
IAIN “SUNAN AMPEL” Cabang Jember, saya bersama seorang teman “Wasian” ngampung bermalam
di PPI ASHTRA beberapa malam. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk
diam-diam ikut mendengarkan pengajian rutin yang diberikan oleh Kyai, dan
sesekali menengok kehidupan Kyai dan keluarganya.
Lagu barat itu semakin sering saya dengar
lagi ketika lewat didepan dalem (rumah) beliau. Dan saya melihat putera puteri
beliau tidak seperti kebanyakan putera para kyai yang biasanya mulai kecil
cudah menggunakan atribut ala pesantren, akan tetapi putera beliau beda, yang
putri (belum nikah) biasa pakai rok pendek tanpa kerudung, sedang yang
laki-laki berpakaian seperti layaknya pemuda pada umumnya masa itu, pakai
celana jin, kaos oblong, jaket dan rambut yang nyaris gondrong.
Alhamdulilllah, begitu diterima menjadi
mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Cabang Jember, saya langsung minta tolong
paman yang berdomisili di Jember untuk mengantar dan menyerahkan saya mondok di
PPI ASHTRA, dan beberapa minggu kemudian barulah ayah saya menyerahkan langsung
pada Kyai.
Di PPI ASHTRA para santri memangggil KH.
Achmad Siddiq dengan sebutan “MUROBBY”, konon, cerita santri senior karena
beliau bertanggung jawab pada satri seperti layaknya orang tua kandungnya dan
mengangggap santri sebagai anak kandungnya sendiri, bahkan (cerita dari salah
seorang putera beliau) “saya sempat iri pada santri karena bapak sangat
perhatian pada santri-santrinya, kalau ada acara di rumah (seperti selametan)
bapak mesti tanya “ iku arek-arek pondok opo wes dike’i mangan kabeh? /
santri-santri pondok itu apa sudah pada makan semua).
Satu dua bulan di pondok ASHTRA tidak banyak
yang saya dapat, khususnya terkait Murobby. Sementara yang saya tahu Murobby
rutin ngimami shalat 5 waktu dengan dzikiran setelahnya yang begitu panjang
bagai pondok thariqah dan memberi pengajian setiap habis maghrib serta sehabis
shalat shubuh, malam minggu dan minggu pagi pengajian libur, malam senin
sehabis isya’ kegiatan rutin pengamalan aurad Dzikrul Ghafilin untuk umum dan
malam selasa juga untuk umum pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin.
Malam minggu, Murobby seakan memberi
kesempatan pada santri untuk melihat dunia di luar pondok, para santri banyak
yang keluar pondok walaupun hanya sekedar lingkot (keliling kota). Pagi harinya
seusai shalat shubuh dan dzikiran yang begitu panjang, semua santri diharuskan
RO’AN, bersih-bersih lingkungan pondok dan olah raga ala kadarnya.
Dari sisi santri, umumnya santri ASHTRA hanya
menggunakan pakaian santri (sarungan dan berkopyah) pada waktu shalat dan ngaji
atau bila ada acara seperti Maulid, haul dll. Akan tetapi bila keluar pondok
mereka tidak ada bedanya dengan remaja pada umumnya.
Saat itu saya menyaksikan para santri (80%
mahasiswa IAIN dan UNEJ) begitu mengagumi Murobby, terutama dalam setiap
pengajiannya yang begitu luas dan rasional ketika menjelaskan kandungan kitab
kepada santri yang kebanyakan minim dalam berbahasa arab.
Satu hal pokok yang saya fahami dari murobby
saat itu, beliau ingin para santrinya memiliki jiwa agama yang kuat, memiliki
loyalitas beragama yang mantap, walau dari sisi keilmuan mereka kurang.
Murobby tidak bertujuan mencetak Ulama’
karena beliau menyadari para santrinya rata-rata anak kuliahan, murobby hanya
ingin agar para santrinya menjadi hamba Allah yang taat beribadah (memiliki
loyalitas yang tinggi dalam beagama) dan warga masyarakat yang bermanfaat pada
orang lain dan negaranya, sebagaimana yang selalu diwasiatkan oleh murobby
kepada para santri :
“ Jadi apapun kelak, kamu harus selalu konsis
dengan 3 hal:
1. Jangan
tinggalkan shalat 5 waktu
2. Setiap
hari membaca Al Qur’an dan Shalawat
3. Jangan
berbuat dhalim.
Nasehat atau wasiat yang sama juga
disampaikan kepada putera-puterinya dengan kalimat “jangan tinggalkan shalat
berjamaah” dan seterusnya.
Bersambung........