A. KANDUNGAN
KOMPETENSI
DASAR
3.1 Menganalisis dan
mengevaluasi makna Q.S. Ali Imran/3: 190-191, dan Q.S. Ali Imran/3: 159, serta
hadis tentang, berpikir kritis dan bersikap demokratis.
Indikator
Pencapaian Kompetensi
3.1.1 Siswa mampu
menganalisis kandungan Q.S. Ali Imran (3) : 190-191 dan 159;
3.1.2 Siswa memahami isi
kandungan surat Ali Imran (3) : 190-191 dan 159, terkait berpikir kritis dan bersikap
demokratis
3.1.3 Siswa dapat
menyimpulkan kandungan surat Ali Imran (3) : 190-191 dan 159, terkait berpikir
kritis dan bersikap demokratis
TUJUAN
PEMBELAJARAN
1.
Mampu menganalisis Q.S. Ali
Imran (3): 190-191 dan Q.S. Ali Imran (3): 159;
serta hadits tentang berpikir kritis dan bersikap demokratis.
QS.
ALI IMRON 190 – 191
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ
الَّذِيْنَ
يَذْكُـرُوْنَ اللَّهَ قِـيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَىٰ جُنُوْبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّـنَا مَا خَلَقْتَ
هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِـنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya : Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, QS. Ali Imron 190
(yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka. QS. Ali Imron 191
QS
ALI IMRON 159
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ
الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya : Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. QS. Ali Imron ayat 159
PENJELASAN QS ALI IMRON 190
– 191
Sumber: http://lembagastudiislam.blogspot.com/2011/10/tafsir-dari-redaksi-ulul-albab-dalam-qs.html
PENDAPAT
MUFASSIR TENTANG QS. ALI IMRAN AYAT 190-191
1. Ibnu Katsir
Ayat 190-191 surat Ali Imran merupakan penutup surat
Ali Imran. Ini antara lain terlihat pada uaian-uraiannya yang bersifat umum.
Setelah dalam ayat-ayat lalu mengurai hal-hal yang rinci, sebagaimana
terbaca pada ayat 189 yang menegaskan kepemilikan Allah Swt. Atas alam raya.
Maka pada ayat yang ke-190-191 Allah menguraikan sekelumit dari penciptaan-Nya,
serta memerintahkan agar memikirkannya.
Salah satu bukti kebenaran bahwa Allah merupakan Sang
Pemilik atas alam raya ini, dengan adanya undangan kepada manusia untuk
berpikir, karena sesungguhnya dalam penciptaan, yakni kejadian benda-benda
angkasa, seperti matahari, bulan dan jutaan gugusan bintang-bintang yang
terdapat dilangit, atau dalam pengaturan sistem kerja langit yang sangat teliti
serta kejadian dan perputaran bumi pada porosnya yang melahirkan silih
bergantinya malam dan siang, perbedaannya baik dalam masa maupun panjang dan
pendeknya terdapat tanda-tanda kemahakuasaan Allah bagi ulul albab, yakni orang
orang yang memiliki akal yang murni.
Kata (الباب) al-bab adalah bentuk jamak dari (لب) lub yaitu “saripati” sesuatu.
Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lub.
Ulul albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak
diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam
berpikir. Orang yang merenungkan tentang penomena alam raya akan dapat sampai
kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah Swt.
Ayat ini mirip dengan ayat 164 surat Al-Baqarah, hanya
saja di sana disebutkan delapan macam ayat-ayat Allah, sedang di sini hanya
tiga. Bagi kalangan sufi, pengurangan ini disebabkan karena memang pada
tahap-tahap awal, seorang salik yang berjalan menuju Allah membutuhkan banyak
argumen akliyah. Akan tetapi, setelah melalui beberapa tahap, yakni ketika
kalbu telah memperolah kecerahan, maka kebutuhan akan argumen aqliyah semakin
berkurang, bahkan dapat menjadi halangan bagi kalbu untuk terjun ke samudra
ma’rifat. Selanjutnya, kalau bukti-bukti yang disebutkan di sana adalah hal-hal
yang terdapat di langit dan di bumi, maka penekanannya di sini adalah pada
bukti-bukti yang terbentang di langit. Ini karena bukti-bukti di langit lebih
menggugah hati dan pikiran, seta lebih cepat mengantar seseorang meraih rasa keagungan
ilahi.
Disisi lain, ayat 164 Al-Baqarah ditutup dengan
menyatakan bahwa yang demikian itu merupakan “tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal” (لايت لقوم يعقلون) la ayatin liqaumin ya’qilun,
sedangkan pada ayat ini, karena mereka telah berada pada tahap yang lebih
tinggi dan juga telah mencapai kemurnian akal, maka sangat wajar ayat ini
ditutup dengan (لايت لالي الالباب) la ayatin liulil albab.
Sejumlah riwayat menyatakan bahwa rasul Saw.
Seringkali membaca ayat ini dan ayat-ayat berikutnya saat beliau bangun shalat
tahajud dimalam hari. Imam bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata
bahwa, “Suatu malam aku tidur dirumah bibiku, Maemunah. Rasul Saw.
berbincang-bincang dengan keluarga beliau, beberapa saat kemudian pada
sepertiga malam terakhir beliau bangkit dari pembaringan dan duduk memandang ke
arah langit sambil membaca ayat ini lalu beliau berwudhu,. Dan shalat sebelas
rakaat. Kemudian adzan subuh, maka belau shalat dua rakaat, lalu menuju ke
mesjid untuk mengimami jama’ah shalat subuh.”
Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan melalui Atha bahwa,
“Suatu ketika ia bersama rekannya, mengunjungi Aisyah Ra. istri Nabi Saw, untuk
bertanya tentang peristiwa apa yang paling mengesankan beliau dari rasul Saw.
Aisyah menangis sambil berkata: “Semua yang beliau lakukan mengesankan kalau
hanya menyebut satu, maka satu malam, yakni di malam giliran beliau tidur
berdampingan denganku, kulitnya menyentuh kulitku lalu beliau bersabda,”wahai
aisyah, izinkanlah aku beribadah kepada Tuhanku” dan aku berkata berkata, “demi
Allah, aku senang berada disampingmu, tetapi aku senang juga engkau beribadah
kepada Tuhan.” Maka beliau pergi berwudhu, tidak banyak air yang beliau gunakan
lalu berdiri melaksanakan shalat dan menangis hingga membasahi jenggot beliau
lalu sujud dan menangis hingga membasahi lantai, lalu berbaring dan menangis.
Setelah itu bilal datang untuk adzan subuh bilal bertanya kepada rasul tentang
apa gerangan yang membuat beliau menangis sedang Allah telah mengampuni dosanya
yang lalu dan yang akan datang. Rasul Saw menjawab, “aduhai bilal, apa yang
dapat membendung tangisku sedang semalam Allah telah menurunkan ayat, “inna fil
khalkissama waati.., sungguh celaka siapa yang membaca tapi tidak
memikirkannya” .
2. Prof. DR. HM. Quraisy Shihab
Ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya menjelaskan
sebagian dari ciri-ciri orang yang dinamai ulul albab yang telah disebutkan
pada ayat yang lalu. Mereka adalah orang-orang baik laki-laki maupun perempuan
yang terus mengingat Allah dengan ucapan atau hati, dan dalam seluruh situasi
dan kondisi, saat bekerja sambil berdiri atau duduk atau keadaan berbaring atau
bagaimanapun, dan mereka memikirkan tentang penciptaan yakni kejadian dan
sistem kerja langit dan bumi, dan setelah itu berkata sebagai kesimpulan; Tuhan
kami tiadalah engkau menciptakan alam raya dan segala isinya ini dengan sia-sia
tanpa tujuan yang hak. Apa yang kami alami, atau dengar dari keburukan atau
kekurangan, Maha Suci Engkau dari semua itu. Itu adalah ulah atau dosa dan
kekurangan kami yang dapat menjerumuskan kami kedalam siksa neraka, maka
peliharalah kami dari siksa neraka. Karena, Tuhan kami “Kami tahu dan sangat
yakin bahwa sesungguhnya siapa yang engkau masukan kedalam neraka, maka sungguh
telah engkau hinakan ia dengan mempermalukannnya di hari kemudian seabagai
seorang serta menyiksanya dengan siksa yang pedih. Tidak ada satupun yang dapat
membelanya, dan tidak ada bagi orang-orang yang dzalim. Siapapun ia, satu
penolongpun”.
Di atas terlihat bahwa objek dzikir adalah Allah,
sedang objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam. Ini
berarti bahwa pengenalan kepada Allah lebih banyak dilakukan oleh kalbu.
Sedangkan pengenalan alam raya didasarkan pada penggunaan alam, yakni berpikir.
Akal memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, tetapi
ia memiliki keterbatasan dalam memikirkan Dzat Allah. Hal ini dipahami dari
sabda Rasullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim melalui Ibnu Abbas:
“Berpikirlah tentang makhluk Allah dan jangan berpikir tentang Allah“.
Manusia yang membaca lembaran alam raya niscaya akan
mendapatkan Allah sebelum manusia mengenal peradaban mereka yang menempuh jalan
ini telah menemukan kekuatan itu (Allah Swt). Walau nama yang disandangkan
untuknya bermacam-macam seperti; Penggerak Pertama, Yang Maha Mutlak, Pencipta
Alam, Kehendak Mutlak, Yang Maha Kuasa, dan sebagainya. Bahkan seandainya mata
tidak mampu membaca lembaran alam raya, maka mata hati dan cahayanya akan
menemukannya karena memandang atau mengenal Tuhan ada dalam jangakauan
kemampuan manusia melalui lubuk hatinya. Bahkan, bila manusia mendengar suara
nuraninya dengan “telinga terbuka” pasti ia akan mendengar “suara Tuhan” yang
menyerunya ini disebabkan karena kehadiran Allah dan keyakinan akan keesaannya,
adalah fitrah yang menyertai jiwa manusia.
Fitrah itu tidak bias dipisahkan dari manusia meskipun
mungkin tingkatannya berbeda sekali waktu pada seseorang ia sedemikian kuat,
terang cahayanya melebihi sinar matahari dan pada saat yang lain atau pada
orang lain ia begitu lemah dan redup. Namun demikian sumbernya tidak lenyap,
akarnyapun mustahil tercabut.
Suatu ketika menjelang ruh manusia dicabut dari
tubuhnya fitrah keagamaan itu muncul sedimikian kuat dan jelas. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah ) agama yang
lurus; tetapi kabanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Fathir ayat 30)
Seandainya manusia merasa puas dengan perasaan atau
informasi jiwa dan intuisinya dalam mencari dan berkenalan dengan Tuhan,
niscaya banyak jalan yang dapat disingkirkannya tetapi manusia tidak semuanya
mampu berbuat demikian. Banyak juga orang yang menempuh jalan yang
berliku-liku, memasuki lorong-lorong yang sempit untuk melayani rayuan akal
yang sering mengajukan aneka pertanyaan “ilmiah” sambil mendesak untuk
memperoleh jawaban yang memuaskan nalar.
Bagi yang puas degan informasi intuisi, ia akan
merasakan ketenangan dan kedamaian bersama kekuatan yang Maha Agung, siapapun
yang dyakininya tanpa mendiskusikan apakah pengenalan mereka benar apa keliru.
Islam tidak menolak melayani desakan akal atau
dorongan nalar. Bukankah telah beragam argumen akliyah yang dipaparkan
bersamaan dengan sentuhan-sentuhan rasa guna membuktikan keesaannya? Bukanya
Al-qur’an menguji ulul albab yang berdzikir dan berpikir tentang kejadian
langit dan bumi? bukankah dia telah
memerintahkan untuk memandang alam dan fenomenanya dengan pandangan nadzar atau
nalar serta memikirkannya? Bukankah
bukti-bukti kehadirannya dipaparkan sedemikian jelas melalaui berbagai
pendekatan? Tetapi sekali lagi akal
manusia sering kali tidak puas hanya sampai pada titik dimana wujudnya terbukti
akal manusia sering kali mengenal dzat dan hakikatnya, bahkan ingin melihatnya
dengan mata kepala, seakan-akan Tuhan adalah sesuatu yang dapat terjangkau oleh
panca indra.
Oleh karena itu, disinilah letak kesalahan bahkan
letak bahaya. Karena inilah banyak pemikir jatuh tersungkur ketika mereka
menuntut kehadirannya melebihi kehadiran bukti-bukti wujudnya seperti kehadiran
alam raya dan teraturanya bahakan
disanalah bergelimpangan korban orang-orang yang tidak puas dengan pengenalan
rasa atau yang mendesak meraih pengetahuan tentang Tuhan melebihan informasi
Tuhan sendiri seandainya mereka menempuh cara yang mereka gunakan ketika merasa
takut kepada harimau, tanpa melihat wujudnya
cukup degan mendengar raungnya atau seandainya mereka berinteraksi
dengan Tuhan sebagai mana berinteraksi dengan matahari mendapatkan kemanfaatan
dan kehangatan cahayanya tanpa harus mengenal hakekatnya, maka banyak daya dan
waktu yang dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat tapi sekali lagi tidak
semua manusia sama.
Di atas telah dijelaskan makna firman-Nya, rabbana maa
khalakta hadza batthilan / Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, bahwa ia adalah sebagai natijah dan kesimpulan upaya dzikir dan pikir.
Dapat juga dipahami dzikir dan pikir tersebut mereka lakukan sambil
membayangkan dalam benak mereka bahwa alam raya tidak diciptakan Allah sia-sia.
Penggalan ayat tersebut dipahami juga sebagai bagian
dari ucapan mereka dengan ucapan: sesungguhnya siapa yang engkau masukkan ke
dalam neraka… dan seterusnya, sehingga berarti bahwa mereka berdzikir dan
berpikir seraya berkata Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan
sia-sia. Memang pendapat ini dapat dibantah dengan menyatakan: “Bukankah ulul
albab itu banyak sehingga bagaimana mungkin mereka sepakat mengucapkan kata
itu?” keberatan ini ditampak oleh pendukung pendapat tersebut dengan menyatakan
bahwa ucapan itu mereka tiru atau diajarkan oleh Rasul Saw.
Quraish Shihab memahami kalimat tersebut sebagai hasil
dzikir dan pikir, dengan demikian ia tidak dapat dihadang oleh keberatan di
atas. Di sisi lain, hasil itu akan sangat serasi dengan permohonan mereka
selanjutnya. Yakni karena semua makhluk tidak diciptakn sia-sia, karena ada
makhluk yang baik dan yang jahat, ada yang durhaka dan ada pula yang taat, di
mana tentu saja yang durhaka akan dihukum maka mereka memohon perlindungan dari
siksa neraka mereka selanjutnya berusaha untuk menjadi makhluk yang baik dan
taat.
Ayat di atas mendahulukan dzikir atas pikir karena
dzikir mengingat Allah dan menyebut nama-nama dan keagungannya. Hati akan
menjadi tenang dengan ketenangan pikiran akan menjadi cerah bahkan siap untuk
memperoleh limpahan ilham dan bimbingan ilahi.
Didahulukannya kata “subhanaka” yang diterjemahkan
sebagai “maha suci engkau“, atas permohonan terpelihara dari siksa neraka.
Mengajarkan bagaimana seharusnya bermohon, yaitu mendahulukan pensucian Allah
dari segala kekurangan dengan memujinya sebelum mengajukan permohonan. Hal ini
dimaksudkan agar si pemohon menyadari nikmat Allah yang telah melimpah
kepadanya sebelum adanya permohonan sekaligus untuk menampi segala perasangka
ketidakadilan dan kekurangan terhadap Allah apabila ternyata permohonan belum
diperkenankannya.
Ayat di atas juga menunjukan bahwa semakin banyak
hasil yang diperoleh dari dzikir dan pikir dan semakin luas pengetahuan tentang
alam raya akan semakin dalam pula rasa takut kepadanya, hal ini antara lain
tercemin pada permohonan untuk dihindarkan dari siksa neraka. Seperti
firman-Nya: “sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambanya
hanyalah para ulama/ cendekiawan “(QS. Fathir : 28)
Ayat 192 yang menjelaskan sebab permohonan agar
dihindarkan dari siksa neraka, adalah untuk menggambarkan betapa mereka paham
ajaran agama dan betapa mereka mendesak dalam bermohon, karena siapa yang
menjelaskan dengan rinci sesuatu atau kehebatannya, maka itu pertanda bahwa ia
sangat butuh, sehingga ketulusannya bermohon lebih dalam dan dengan demikian
harapannya untuk dikabulkan lebih besar.
KESIMPULAN
QS. ALI IMRAN AYAT 190-191
Kesimpulan dari isi QS. Ali Imran ayat 190-191 yang
berdasarkan penjelasan mufassir yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa
Allah menegaskan kepada umat manusia dengan memberikan perumpamaan agar dapat
dipetik hikmah atau pelajaran dengan menjelaskan sebagian dari ciri-ciri orang
yang dinamai-Nya ulul albab, yakni :
(1) orang orang yang memiliki akal yang
murni baik laki-laki maupun perempuan yang merenungkan tentang fenomena alam
raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan
kekuasaan Allah Swt.
(2) Orang-orang yang terus mengingat Allah dengan ucapan
atau hati, dan dalam seluruh situasi dan kondisi, saat bekerja sambil berdiri
atau duduk atau keadaan berbaring atau bagaimanapun, dan mereka memikirkan
tentang penciptaan yakni kejadian dan sistem kerja langit dan bumi, dan
(3)
Orang-orang setelah melihat dan memikirkan itu semua, mereka berkata sebagai
kesimpulan terhadap ciptaan-Nya, yakni “Tuhan kami tiadalah engkau menciptakan
alam raya dan segala isinya ini dengan sia-sia tanpa tujuan yang hak”.
Melihat kekuasaan dan keagungan Allah SWT bukanlah
perkara yang sulit. Di alam raya ini tak terhitung banyaknya tanda-tanda yang
menunjukkan hal itu. Semuanya dapat kita saksikan dengan mata kita dan kita
indra dengan anggota-anggota tubuh yang lain. Bahkan, pada diri kita sendiri
pun luar biasa banyaknya tanda kekuasaan Allah jika kita mau memikirkannya.
Ayat-ayat berikut ini, yakni ayat 190 dan 191 surah Ali ‘Imran, mengingatkan
kita ihwal tanda-tanda kekuasaan Allah di alam ini dan perihal mereka yang memikirkannya.
Marilah kita perhatikan dengan seksama kedua ayat itu dan kita simak pula
penafsirannya sebagaimana dihimpunkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan ihwal penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata), ‘Ya Tuhan Kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Allah SWT berfirman yang artinya “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi”, yakni dalam hal ketinggian dan keluasan langit,
kerendahan dan ketebalan bumi, serta tanda-tanda kekuasaan yang besar yang
terdapat pada keduanya, baik bintang-bintang yang bergerak maupun yang diam, lautan,
hutan, pepohonan, barang tambang, serta manfaat berbagai jenis makanan, warna,
dan bau-bauan yang khusus. “Serta pergantian malam dan siang”, artinya
susul-menyusul dan saling menggantikan dalam panjang dan pendek (dalam
waktunya), terkadang yang ini panjang dan yang lainnya pendek, kemudian
menjadi sama, dan setelah itu yang tadinya panjang menjadi pendek dan yang
tadinya pendek menjadi panjang. Semua itu merupakan ketetapan dari Allah.
Oleh karena itu, Allah SWT kemudian berfirman yang
artinya “Benar-benar terdapat tanda kekuasaan bagi orang-orang yang berakal”,
yakni yang akalnya sempurna dan bersih yang dapat memahami hakikat berbagai
perkara, bukan seperti orang-orang yang tuli dan bisu, yang tidak dapat
memahami, yaitu orang-orang yang dijelaskan Allah dalam ayat lain yang artinya
“Dan banyak sekali tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka
melaluinya sedang mereka berpaling daripadanya.” (QS Yusuf: 106).
Kemudian Allah SWT menggambarkan Ulul Albab dengan
berfirman, yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” Dalam Shahih Al-Bukhari dan
Shahih Muslim terdapat hadits dari Imran bin Hushain bahwa Nabi SAW bersabda,
“Dirikanlah shalat sambil berdiri; jika tidak mampu, sambil duduk; jika tidak
mampu juga, sambil berbaring.” Artinya, mereka tidak henti-hentinya mengingat
Allah dalam segala keadaan, baik dengan hati maupun lisannya. ”Dan mereka
memikirkan ihwal penciptaan langit dan bumi.” Yakni, mereka memahami
ketetapan-ketetapan yang ada pada keduanya, yang menunjukkan keagungan,
kekuasaan, ilmu, hikmah, pilihan, dan rahmat Sang Khaliq.
Banyak sekali perkataan para tokoh ulama mengenai
keutamaan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan nikmat-nikmat-Nya. Imam
Ad-Darani mengatakan, “Sesungguhnya, jika aku keluar rumah, tidaklah
pandangan mataku jatuh pada sesuatu melainkan aku lihat pada sesuatu itu nikmat
Allah atas diriku dan pelajaran bagiku pada sesuatu itu.”
Diriwayatkan bahwa Al-Hasan Al-Bashri mengatakan,
“Berpikir (yakni tentang tanda-tanda kekuasaan Allah) satu saat lebih baik
daripada beribadah satu malam.” Ia juga mengatakan, “Pemikiran itu merupakan
cermin yang dapat menunjukkan kepada dirimu ihwal kebaikan-kebaikanmu dan
keburukan-keburukanmu.” Sedangkan Bisyr Al-Hafi mengatakan, “Seandainya
manusia berpikir tentang keagungan Allah, niscaya mereka tak akan bermaksiat
kepadanya.”
Diriwayatkan pula bahwa Nabi Isa AS pernah mengatakan,
“Wahai anak Adam yang bersifat lemah, bertaqwalah kepada Allah di mana pun kamu
berada, tetaplah merasa lemah selama di dunia, ambillah masjid sebagai rumah
(sering-seringlah berada di masjid), ajarkan kedua matamu untuk menangis,
ajarkan tubuhmu untuk bersabar, dan ajarkan hatimu untuk berpikir, dan
janganlah engkau memikirkan (merisaukan) rizqi esok hari.”
Allah SWT mencela orang yang tidak mau mengambil
pelajaran pada makhluk-makhluk-Nya, yang menunjukkan Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya,
ketetapan-Nya, kekuasaan-Nya, dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Allah berfirman
yang artinya, “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di
bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya. Dan sebagian
besar mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan
Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS Yusuf: 105-106). Dan Allah memuji
hamba-hamba-Nya yang mukmin yang dikatakan-Nya, “(Yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan ihwal penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan
Kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia’.” Yakni, tidaklah Engkau
menciptakan makhluk ini dengan main-main, melainkan dengan haq untuk kemudian
Engkau membalas orang-orang yang beramal buruk sesuai dengan apa-apa yang
telah mereka lakukan serta membalas orang-orang yang berbuat baik dengan
balasan kebaikan.
Kemudian mereka menyucikan Allah dari sifat main-main
dengan mengatakan yang artinya, “Mahasuci Engkau.” Yakni dari menciptakan
sesuatu dengan bathil. ”Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Yakni, wahai
Dzat Yang telah Menciptakan segala ciptaan-Nya dengan haq dan adil, wahai
Dzat Yang Mahasuci dari segala kekurangan, aib, dan main-main, peliharalah
kami dari siksa neraka.
Allah Swt pada ayat 190 surah Ali Imran mengajak
manusia untuk berpikir dan merenungi tentang penciptaan langit-langit dan bumi.
Kemudian pada ayat berikutnya Allah Swt menjelaskan hasil dan buah dari
berpikir ini.
Ayat ini menjelaskan tentang keesaan Tuhan Sang
Pencipta dan menyatakan bahwa apabila manusia memikirkan dengan cermat dan
menggunakan akalnya terkait dengan proses penciptaan langit-langit dan bumi,
silih bergantinya siang dan malam, maka ia akan menemukan tanda-tanda jelas
atas kekuasaan Allah Swt; maha karya dan rahasia-rahasia yang menakjubkan yang
akan menuntun para hamba kepada Allah Swt dan hari Kiamat serta menggiring
mereka pada kekuasaan Ilahi yang tak terbatas.
Abstrak dan ringkasan makna dua ayat ini adalah demikian; mereka yang menyaksikan, didasari dengan pemikiran dan perenungan, penciptaan langit-langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, pemikiran dan perenungan ini menyebabkan mereka senantiasa akan mengingat Tuhan. Dengan perantara ini mereka akan menyadari bahwa Allah Swt segera akan membangkitkan mereka dan atas dasar itu ia memohon rahmat-Nya serta meminta supaya janji yang diberikan kepada mereka dapat terealisir baginya.
Abstrak dan ringkasan makna dua ayat ini adalah demikian; mereka yang menyaksikan, didasari dengan pemikiran dan perenungan, penciptaan langit-langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, pemikiran dan perenungan ini menyebabkan mereka senantiasa akan mengingat Tuhan. Dengan perantara ini mereka akan menyadari bahwa Allah Swt segera akan membangkitkan mereka dan atas dasar itu ia memohon rahmat-Nya serta meminta supaya janji yang diberikan kepada mereka dapat terealisir baginya.
Jawaban Detil
Salah satu jalan terbaik untuk mengenal Tuhan adalah
jalan yang dijadikan Allah Swt sebagai agumen atas diri-Nya sendiri dan jalan
itu adalah memberdayakan akal untuk mengenal Sang Pencipta; artinya apabila
manusia memanfaatkan dan memberdayakan akalnya dan memikirkan tentang
penciptaan semesta, pelbagai keajaiban penciptaan dan keteraturan yang
mendominasi penciptaan maka ia akan terbimbing memahami keesaan Sang Pencipta
alam semesta ini dan mengakui tentang kebijaksanaan dan keagungan ciptaan-Nya.
Berpikir adalah salah satu tipologi terpenting
manusia. Berpikir merupakan salah satu nikmat di antara nikmat-nikmat Ilahi
yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan berulang kali al-Quran menyeru
manusia untuk menggunakan akal dan pikirannya.
Ayat ini merupakan seruan kepada manusia untuk
berpikir tentang proses penciptaan semesta.[1]
Ayat ini disertai dengan ayat-ayat serupa,[2]
menetapkan tentang keesaan Sang Pencipta. Karena apabila seseorang mencermati
dan memikirkan tentang proses penciptaan langit-langit dan bumi, maka ia akan
menemukan tanda-tanda terang atas kekuasaan Allah Swt; maha karya dan
rahasia-rahasia yang menakjubkan yang akan menuntut para hamba kepada Allah Swt
dan hari Kimaat serta menggiring mereka pada kekuasaan Ilahi yang tak terbatas.
Manusia apabila memikirkan tentang proses penciptaan
langit dan bumi, akan menemukan bahwa seluruh ini tadinya tiada kini mengada
(baca: hadits) dan memerlukan pencipta dan Khaliq. Pencipta mereka
adalah Tuhan; karena pada sistem penciptaan yang menakjubkan, terdapat
rahasia-rahasia dan ilmu yang tidak dapat dilakukan selain seorang yang
Mahabijaksana. Karena itu, pencipta semesta ini tentulah seorang Pencipta Yang
Mahabijak, Mahamengetahui dan tersifati dengan sifat-sifat sempurna dan agung.
Salah satu ayat dan tanda penciptaan-Nya yang
dirasakan oleh setiap manusia adalah silih bergantinya siang dan malam yang
berputar berdasarkan sistem yang akurat dan cermat serta memiliki pengaruh,
keberkahan dan pengaruh yang dapat dirasaan oleh tumbuh-tumbuhan, hewan dan
manusia. Ayat-ayat ini dan ayat-ayat yang serupa berbicara tentang hal ini.
Tatkala orang-orang musyrik Mekkah datang kepada
Rasulullah Saw dan meminta mukjizat untuk menetapkan keberadaan Tuhan dan
kenabian Muhammad. Salah satu usulan mereka yang disampaikan kepada Rasululah
Saw, “Ubahlah gunung Shafa menjadi emas.” Allah Swt menjawab permintaan mereka,
“Penciptaan langit-langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, sangat
penting untuk dapat menetapkan Sang Pencipta bagi orang-orang yang berakal;
artinya apabila manusia menggunakan akal dan memberdayakan pikirannya maka hal
itu akan membimbingnya kepada Sang Pencipta. Apakah mungkin langit-langit dan
bumi, segala ciptaan yang menakjubkan yang ada di dalamnya, dapat mengada tanpa
ada yang mengadakannya? Apakah mungkin dapat diterima siang dan malam yang
datang silih berganti secara teratur pada setiap bulan dan tahun bahkan sedetik
pun tidak pernah menyelisih siklus perputarannya dapat sedemikian teratur tanpa
pencipta yang berkuasa? Apakah penciptaan makhluk-makhluk seperti ini lebih
penting atau gunung Shafa yang ingin dirubah menjadi emas?
Apa yang dapat dijadikan sebagai penafsiran ayat mulia
ini secara global dapat dikatakan bahwa ayat ini menunjukkan tentang masalah
tauhid dan menyatakan, “Langit-langit ini yang berada di atas kita dan menaungi
kita, dengan segala kecermatan dalam penciptaannya dan bumi yang memeluk kita
dan alas yang kita jejaki di atasnya, dengan segala keajaibannya, dengan segala
keanehan dalam perubahan-perubahannya, misalnya silih bergantinya siang dan
malam, segala sesuatunya memerlukan Sang Pencipta yang mengadakan dan
menciptakannya. Hal ini merupakan salah satu argumen (burhân) yang dapat
disuguhkan pada ayat ini terkait dengan masalah tauhid.
Argumen lainnya adalah sistem dan mekanisme yang
berlaku di alam semeta; hasil dari argumen ini perut bumi dari sisi berat,
kecil dan besarnya, jauh dan dekatnya masing-masing berbeda. Apabila manusia
mencermatinya, maka ia akan menyimpulkan bahwa sedemikian menakjubkan dan
indahnya sistem yang berlaku di alam semesta, alam dengan segala keluasaanya
dari sisi mana pun memberikan pengaruh pada sisi lainnya, setiap
bagian-bagiannya yang dapat mengada di setiap tempat, terpengaruh pada
bagian-bagian lainnya, gravitasi umumnya yang satu sama lain saling bertautan,
demikian juga cahaya dan panasnya, dengan pengaruhnya yang menggerakan gerak
dan zaman.
Sistem umum dan general ini berada di bawah satu
aturan yang permanen dan bahkan hukum relativitas pun memandang gerak umum di
alam semesta ini senantiasa berubah. Hukum relativitas mau-tak mau mengakui bahwa
ia juga didominasi oleh hukum lain, yaitu aturan yang permanen yaitu adanya
perubahan dan pergantian.
Ringkasan makna dua ayat ini: mereka yang
memandang langit-langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam dengan
pikiran dan perenungan maka perenungan ini akan melahirkan dzikir kepada Allah
Swt sehingga dalam perbagai kondisi, berdiri, duduk, diam, menyaksikan dengan
seksama seluruh makhluk yang ada di alam semesta yang akan membimbing mereka
dari makhluk yang paling kecil pada keberadaan sosok Perencana dan Pelukis alam
semesta.
Peta yang menarik yang nampak pada setiap sudut dan
sisi penciptaan semesta, sedemikian menyedot perhatian orang-orang berakal
sehingga pikiran-pikirannya dalam setiap kondisi, baik berdiri, duduk, diam dan
seterusnya mengingat Tuhan Sang Pencipta.
Pada setiap fenomena yang disaksikan, ia belajar
sebuah pelajaran tauhid yang baru dan dari sketsa indah alam semesta ia
memahami pencipta-Nya yang sama sekali tidak menciptakan semesta yang
menakjubkan ini dengan sia-sia dan tanpa tujuan.
Orang-orang berakal, hasil dari pikiran dan renungan
seperti ini ia tidak akan melupakan Tuhan dalam setiap kondisi dan dengan
perantara itu ia akan mengetahui bahwa Allah Swt akan segera memebangkitkan
mereka dan atas dasar itu memohon rahmat Ilah dan memohon supaya janji Ilahi
dapat segera terrealisir baginya.[3]
[iQuest]
No comments:
Post a Comment