Tuesday 9 June 2015

KUR 2013.XII.1.1 AL QUR'AN 5, bagian 3

BERPIKIR KRITIS DAN BERSIKAP DEMOKRATIS

A.  KANDUNGAN
KOMPETENSI DASAR   
3.1     Menganalisis dan mengevaluasi makna Q.S. Ali Imran/3: 190-191, dan Q.S. Ali Imran/3: 159, serta hadis tentang, berpikir kritis dan bersikap demokratis.

Indikator Pencapaian Kompetensi
3.1.1    Siswa mampu menganalisis kandungan Q.S. Ali Imran (3) : 190-191 dan 159;
3.1.2    Siswa memahami isi kandungan surat Ali Imran (3) : 190-191 dan 159, terkait berpikir kritis dan bersikap demokratis
3.1.3    Siswa dapat menyimpulkan kandungan surat Ali Imran (3) : 190-191 dan 159, terkait berpikir kritis dan bersikap demokratis
TUJUAN PEMBELAJARAN
1.     Mampu menganalisis Q.S. Ali Imran (3): 190-191 dan Q.S. Ali Imran (3): 159;  serta hadits tentang berpikir kritis dan bersikap demokratis.
QS. ALI IMRON 190 – 191
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ



الَّذِيْنَ يَذْكُـرُوْنَ اللَّهَ قِـيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَىٰ جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّـنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِـنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya :   Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, QS. Ali Imron 190
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. QS. Ali Imron 191
QS ALI IMRON 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya :   Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. QS. Ali Imron ayat 159

PENJELASAN QS ALI IMRON 190 – 191
Sumber:    http://lembagastudiislam.blogspot.com/2011/10/tafsir-dari-redaksi-ulul-albab-dalam-qs.html
PENDAPAT MUFASSIR TENTANG QS. ALI IMRAN AYAT 190-191
1.     Ibnu Katsir
Ayat 190-191 surat Ali Imran merupakan penutup surat Ali Imran. Ini antara lain terlihat pada uaian-uraiannya yang bersifat umum. Setelah dalam  ayat-ayat  lalu mengurai hal-hal yang rinci, sebagaimana terbaca pada ayat 189 yang menegaskan kepemilikan Allah Swt. Atas alam raya. Maka pada ayat yang ke-190-191 Allah menguraikan sekelumit dari penciptaan-Nya, serta memerintahkan agar memikirkannya.
Salah satu bukti kebenaran bahwa Allah merupakan Sang Pemilik atas alam raya ini, dengan adanya undangan kepada manusia untuk berpikir, karena sesungguhnya dalam penciptaan, yakni kejadian benda-benda angkasa, seperti matahari, bulan dan jutaan gugusan bintang-bintang yang terdapat dilangit, atau dalam pengaturan sistem kerja langit yang sangat teliti serta kejadian dan perputaran bumi pada porosnya yang melahirkan silih bergantinya malam dan siang, perbedaannya baik dalam masa maupun panjang dan pendeknya terdapat tanda-tanda kemahakuasaan Allah bagi ulul albab, yakni orang orang yang memiliki akal yang murni.
Kata (الباب) al-bab adalah bentuk jamak dari (لب) lub yaitu “saripati” sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lub. Ulul albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir. Orang yang merenungkan tentang penomena alam raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah Swt.
Ayat ini mirip dengan ayat 164 surat Al-Baqarah, hanya saja di sana disebutkan delapan macam ayat-ayat Allah, sedang di sini hanya tiga. Bagi kalangan sufi, pengurangan ini disebabkan karena memang pada tahap-tahap awal, seorang salik yang berjalan menuju Allah membutuhkan banyak argumen akliyah. Akan tetapi, setelah melalui beberapa tahap, yakni ketika kalbu telah memperolah kecerahan, maka kebutuhan akan argumen aqliyah semakin berkurang, bahkan dapat menjadi halangan bagi kalbu untuk terjun ke samudra ma’rifat. Selanjutnya, kalau bukti-bukti yang disebutkan di sana adalah hal-hal yang terdapat di langit dan di bumi, maka penekanannya di sini adalah pada bukti-bukti yang terbentang di langit. Ini karena bukti-bukti di langit lebih menggugah hati dan pikiran, seta lebih cepat mengantar seseorang meraih rasa keagungan ilahi.
Disisi lain, ayat 164 Al-Baqarah ditutup dengan menyatakan bahwa yang demikian itu merupakan “tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (لايت لقوم يعقلون) la ayatin liqaumin ya’qilun, sedangkan pada ayat ini, karena mereka telah berada pada tahap yang lebih tinggi dan juga telah mencapai kemurnian akal, maka sangat wajar ayat ini ditutup dengan (لايت لالي الالباب) la ayatin  liulil albab.
Sejumlah riwayat menyatakan bahwa rasul Saw. Seringkali membaca ayat ini dan ayat-ayat berikutnya saat beliau bangun shalat tahajud dimalam hari. Imam bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa, “Suatu malam aku tidur dirumah bibiku, Maemunah. Rasul Saw. berbincang-bincang dengan keluarga beliau, beberapa saat kemudian pada sepertiga malam terakhir beliau bangkit dari pembaringan dan duduk memandang ke arah langit sambil membaca ayat ini lalu beliau berwudhu,. Dan shalat sebelas rakaat. Kemudian adzan subuh, maka belau shalat dua rakaat, lalu menuju ke mesjid untuk mengimami jama’ah shalat subuh.”
Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan melalui Atha bahwa, “Suatu ketika ia bersama rekannya, mengunjungi Aisyah Ra. istri Nabi Saw, untuk bertanya tentang peristiwa apa yang paling mengesankan beliau dari rasul Saw. Aisyah menangis sambil berkata: “Semua yang beliau lakukan mengesankan kalau hanya menyebut satu, maka satu malam, yakni di malam giliran beliau tidur berdampingan denganku, kulitnya menyentuh kulitku lalu beliau bersabda,”wahai aisyah, izinkanlah aku beribadah kepada Tuhanku” dan aku berkata berkata, “demi Allah, aku senang berada disampingmu, tetapi aku senang juga engkau beribadah kepada Tuhan.” Maka beliau pergi berwudhu, tidak banyak air yang beliau gunakan lalu berdiri melaksanakan shalat dan menangis hingga membasahi jenggot beliau lalu sujud dan menangis hingga membasahi lantai, lalu berbaring dan menangis. Setelah itu bilal datang untuk adzan subuh bilal bertanya kepada rasul tentang apa gerangan yang membuat beliau menangis sedang Allah telah mengampuni dosanya yang lalu dan yang akan datang. Rasul Saw menjawab, “aduhai bilal, apa yang dapat membendung tangisku sedang semalam Allah telah menurunkan ayat, “inna fil khalkissama waati.., sungguh celaka siapa yang membaca tapi tidak memikirkannya” .
2.     Prof. DR. HM. Quraisy Shihab
Ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya menjelaskan sebagian dari ciri-ciri orang yang dinamai ulul albab yang telah disebutkan pada ayat yang lalu. Mereka adalah orang-orang baik laki-laki maupun perempuan yang terus mengingat Allah dengan ucapan atau hati, dan dalam seluruh situasi dan kondisi, saat bekerja sambil berdiri atau duduk atau keadaan berbaring atau bagaimanapun, dan mereka memikirkan tentang penciptaan yakni kejadian dan sistem kerja langit dan bumi, dan setelah itu berkata sebagai kesimpulan; Tuhan kami tiadalah engkau menciptakan alam raya dan segala isinya ini dengan sia-sia tanpa tujuan yang hak. Apa yang kami alami, atau dengar dari keburukan atau kekurangan, Maha Suci Engkau dari semua itu. Itu adalah ulah atau dosa dan kekurangan kami yang dapat menjerumuskan kami kedalam siksa neraka, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Karena, Tuhan kami “Kami tahu dan sangat yakin bahwa sesungguhnya siapa yang engkau masukan kedalam neraka, maka sungguh telah engkau hinakan ia dengan mempermalukannnya di hari kemudian seabagai seorang serta menyiksanya dengan siksa yang pedih. Tidak ada satupun yang dapat membelanya, dan tidak ada bagi orang-orang yang dzalim. Siapapun ia, satu penolongpun”.
Di atas terlihat bahwa objek dzikir adalah Allah, sedang objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam. Ini berarti bahwa pengenalan kepada Allah lebih banyak dilakukan oleh kalbu. Sedangkan pengenalan alam raya didasarkan pada penggunaan alam, yakni berpikir. Akal memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, tetapi ia memiliki keterbatasan dalam memikirkan Dzat Allah. Hal ini dipahami dari sabda Rasullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim melalui Ibnu Abbas: “Berpikirlah tentang makhluk Allah dan jangan berpikir tentang Allah“.
Manusia yang membaca lembaran alam raya niscaya akan mendapatkan Allah sebelum manusia mengenal peradaban mereka yang menempuh jalan ini telah menemukan kekuatan itu (Allah Swt). Walau nama yang disandangkan untuknya bermacam-macam seperti; Penggerak Pertama, Yang Maha Mutlak, Pencipta Alam, Kehendak Mutlak, Yang Maha Kuasa, dan sebagainya. Bahkan seandainya mata tidak mampu membaca lembaran alam raya, maka mata hati dan cahayanya akan menemukannya karena memandang atau mengenal Tuhan ada dalam jangakauan kemampuan manusia melalui lubuk hatinya. Bahkan, bila manusia mendengar suara nuraninya dengan “telinga terbuka” pasti ia akan mendengar “suara Tuhan” yang menyerunya ini disebabkan karena kehadiran Allah dan keyakinan akan keesaannya, adalah fitrah yang menyertai jiwa manusia.
Fitrah itu tidak bias dipisahkan dari manusia meskipun mungkin tingkatannya berbeda sekali waktu pada seseorang ia sedemikian kuat, terang cahayanya melebihi sinar matahari dan pada saat yang lain atau pada orang lain ia begitu lemah dan redup. Namun demikian sumbernya tidak lenyap, akarnyapun mustahil tercabut.
Suatu ketika menjelang ruh manusia dicabut dari tubuhnya fitrah keagamaan itu muncul sedimikian kuat dan jelas.  “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah ) agama yang lurus; tetapi kabanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Fathir ayat 30)        
Seandainya manusia merasa puas dengan perasaan atau informasi jiwa dan intuisinya dalam mencari dan berkenalan dengan Tuhan, niscaya banyak jalan yang dapat disingkirkannya tetapi manusia tidak semuanya mampu berbuat demikian. Banyak juga orang yang menempuh jalan yang berliku-liku, memasuki lorong-lorong yang sempit untuk melayani rayuan akal yang sering mengajukan aneka pertanyaan “ilmiah” sambil mendesak untuk memperoleh jawaban yang memuaskan nalar.
Bagi yang puas degan informasi intuisi, ia akan merasakan ketenangan dan kedamaian bersama kekuatan yang Maha Agung, siapapun yang dyakininya tanpa mendiskusikan apakah pengenalan mereka benar apa keliru.
Islam tidak menolak melayani desakan akal atau dorongan nalar. Bukankah telah beragam argumen akliyah yang dipaparkan bersamaan dengan sentuhan-sentuhan rasa guna membuktikan keesaannya? Bukanya Al-qur’an menguji ulul albab yang berdzikir dan berpikir tentang kejadian langit dan bumi?   bukankah dia telah memerintahkan untuk memandang alam dan fenomenanya dengan pandangan nadzar atau nalar serta memikirkannya?  Bukankah bukti-bukti kehadirannya dipaparkan sedemikian jelas melalaui berbagai pendekatan? Tetapi  sekali lagi akal manusia sering kali tidak puas hanya sampai pada titik dimana wujudnya terbukti akal manusia sering kali mengenal dzat dan hakikatnya, bahkan ingin melihatnya dengan mata kepala, seakan-akan Tuhan adalah sesuatu yang dapat terjangkau oleh panca indra.
Oleh karena itu, disinilah letak kesalahan bahkan letak bahaya. Karena inilah banyak pemikir jatuh tersungkur ketika mereka menuntut kehadirannya melebihi kehadiran bukti-bukti wujudnya seperti kehadiran alam raya dan teraturanya  bahakan disanalah bergelimpangan korban orang-orang yang tidak puas dengan pengenalan rasa atau yang mendesak meraih pengetahuan tentang Tuhan melebihan informasi Tuhan sendiri seandainya mereka menempuh cara yang mereka gunakan ketika merasa takut kepada harimau, tanpa melihat wujudnya  cukup degan mendengar raungnya atau seandainya mereka berinteraksi dengan Tuhan sebagai mana berinteraksi dengan matahari mendapatkan kemanfaatan dan kehangatan cahayanya tanpa harus mengenal hakekatnya, maka banyak daya dan waktu yang dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat tapi sekali lagi tidak semua manusia sama.
Di atas telah dijelaskan makna firman-Nya, rabbana maa khalakta hadza batthilan / Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, bahwa ia adalah sebagai natijah dan kesimpulan upaya dzikir dan pikir. Dapat juga dipahami dzikir dan pikir tersebut mereka lakukan sambil membayangkan dalam benak mereka bahwa alam raya tidak diciptakan Allah sia-sia.
Penggalan ayat tersebut dipahami juga sebagai bagian dari ucapan mereka dengan ucapan: sesungguhnya siapa yang engkau masukkan ke dalam neraka… dan seterusnya, sehingga berarti bahwa mereka berdzikir dan berpikir seraya berkata Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Memang pendapat ini dapat dibantah dengan menyatakan: “Bukankah ulul albab itu banyak sehingga bagaimana mungkin mereka sepakat mengucapkan kata itu?” keberatan ini ditampak oleh pendukung pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa ucapan itu mereka tiru atau diajarkan oleh Rasul Saw.
Quraish Shihab memahami kalimat tersebut sebagai hasil dzikir dan pikir, dengan demikian ia tidak dapat dihadang oleh keberatan di atas. Di sisi lain, hasil itu akan sangat serasi dengan permohonan mereka selanjutnya. Yakni karena semua makhluk tidak diciptakn sia-sia, karena ada makhluk yang baik dan yang jahat, ada yang durhaka dan ada pula yang taat, di mana tentu saja yang durhaka akan dihukum maka mereka memohon perlindungan dari siksa neraka mereka selanjutnya berusaha untuk menjadi makhluk yang baik dan taat.
Ayat di atas mendahulukan dzikir atas pikir karena dzikir mengingat Allah dan menyebut nama-nama dan keagungannya. Hati akan menjadi tenang dengan ketenangan pikiran akan menjadi cerah bahkan siap untuk memperoleh limpahan ilham dan bimbingan ilahi.
Didahulukannya kata “subhanaka” yang diterjemahkan sebagai “maha suci engkau“, atas permohonan terpelihara dari siksa neraka. Mengajarkan bagaimana seharusnya bermohon, yaitu mendahulukan pensucian Allah dari segala kekurangan dengan memujinya sebelum mengajukan permohonan. Hal ini dimaksudkan agar si pemohon menyadari nikmat Allah yang telah melimpah kepadanya sebelum adanya permohonan sekaligus untuk menampi segala perasangka ketidakadilan dan kekurangan terhadap Allah apabila ternyata permohonan belum diperkenankannya.
Ayat di atas juga menunjukan bahwa semakin banyak hasil yang diperoleh dari dzikir dan pikir dan semakin luas pengetahuan tentang alam raya akan semakin dalam pula rasa takut kepadanya, hal ini antara lain tercemin pada permohonan untuk dihindarkan dari siksa neraka. Seperti firman-Nya: “sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambanya hanyalah para ulama/ cendekiawan “(QS. Fathir : 28)
Ayat 192 yang menjelaskan sebab permohonan agar dihindarkan dari siksa neraka, adalah untuk menggambarkan betapa mereka paham ajaran agama dan betapa mereka mendesak dalam bermohon, karena siapa yang menjelaskan dengan rinci sesuatu atau kehebatannya, maka itu pertanda bahwa ia sangat butuh, sehingga ketulusannya bermohon lebih dalam dan dengan demikian harapannya untuk dikabulkan lebih besar.
KESIMPULAN QS. ALI IMRAN AYAT 190-191
Kesimpulan dari isi QS. Ali Imran ayat 190-191 yang berdasarkan penjelasan mufassir yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa Allah menegaskan kepada umat manusia dengan memberikan perumpamaan agar dapat dipetik hikmah atau pelajaran dengan menjelaskan sebagian dari ciri-ciri orang yang dinamai-Nya ulul albab, yakni :
(1) orang orang yang memiliki akal yang murni baik laki-laki maupun perempuan yang merenungkan tentang fenomena alam raya akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah Swt. 
(2) Orang-orang yang terus mengingat Allah dengan ucapan atau hati, dan dalam seluruh situasi dan kondisi, saat bekerja sambil berdiri atau duduk atau keadaan berbaring atau bagaimanapun, dan mereka memikirkan tentang penciptaan yakni kejadian dan sistem kerja langit dan bumi, dan 
(3) Orang-orang setelah melihat dan memikirkan itu semua, mereka berkata sebagai kesimpulan terhadap ciptaan-Nya, yakni “Tuhan kami tiadalah engkau menciptakan alam raya dan segala isinya ini dengan sia-sia tanpa tujuan yang hak”.



Melihat kekuasaan dan keagungan Allah SWT bukanlah perkara yang sulit. Di alam raya ini tak terhitung banyaknya tanda-tanda yang menunjukkan hal itu. Semuanya dapat kita saksikan dengan mata kita dan kita indra dengan anggota-anggota tubuh yang lain. Bahkan, pada diri kita sendiri pun luar biasa banyaknya tanda kekua­saan Allah jika kita mau memikirkannya. Ayat-ayat berikut ini, yakni ayat 190 dan 191 surah Ali ‘Imran, mengingatkan kita ihwal tanda-tanda kekuasaan Allah di alam ini dan perihal mereka yang memi­kirkannya. Marilah kita perhatikan dengan seksama kedua ayat itu dan kita simak pula penafsirannya sebagaimana dihim­punkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan ihwal penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan Kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Allah SWT berfirman yang artinya “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi”, yakni dalam hal ketinggian dan keluasan langit, kerendahan dan ke­tebalan bumi, serta tanda-tanda kekuasa­an yang besar yang terdapat pada ke­duanya, baik bintang-bintang yang ber­gerak maupun yang diam, lautan, hutan, pepohonan, barang tambang, serta man­faat berbagai jenis makanan, warna, dan bau-bauan yang khusus. “Serta perganti­an malam dan siang”, artinya susul-me­nyusul dan saling menggantikan dalam panjang dan pendek (dalam waktunya), terkadang yang ini panjang dan yang lain­nya pendek, kemudian menjadi sama, dan setelah itu yang tadinya panjang men­jadi pendek dan yang tadinya pendek menjadi panjang. Semua itu merupakan ketetapan dari Allah.
Oleh karena itu, Allah SWT kemudian ber­firman yang artinya “Benar-benar ter­dapat tanda kekuasaan bagi orang-orang yang berakal”, yakni yang akalnya sem­purna dan bersih yang dapat memahami hakikat berbagai perkara, bukan seperti orang-orang yang tuli dan bisu, yang tidak dapat memahami, yaitu orang-orang yang dijelaskan Allah dalam ayat lain yang artinya “Dan banyak sekali tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya sedang mereka berpaling daripadanya.” (QS Yusuf: 106).
Kemudian Allah SWT meng­gam­bar­kan Ulul Albab dengan berfirman, yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang meng­ingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” Dalam Sha­hih Al-Bukhari dan Shahih Muslim ter­dapat hadits dari Imran bin Hushain bah­wa Nabi SAW bersabda, “Dirikanlah sha­lat sambil berdiri; jika tidak mampu, sam­bil duduk; jika tidak mampu juga, sambil berbaring.” Artinya, mereka tidak henti-hentinya mengingat Allah dalam segala keadaan, baik dengan hati maupun lisan­nya. ”Dan mereka memikirkan ihwal pen­ciptaan langit dan bumi.” Yakni, mereka memahami ketetapan-ketetapan yang ada pada keduanya, yang menunjukkan keagungan, kekuasaan, ilmu, hikmah, pilih­an, dan rahmat Sang Khaliq.
Banyak sekali perkataan para tokoh ulama mengenai keutamaan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan nik­mat-nikmat-Nya. Imam Ad-Darani me­nga­takan, “Sesungguhnya, jika aku ke­luar rumah, tidaklah pandangan mataku jatuh pada sesuatu melainkan aku lihat pada sesuatu itu nikmat Allah atas diriku dan pelajaran bagiku pada sesuatu itu.”
Diriwayatkan bahwa Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Berpikir (yakni ten­tang tanda-tanda kekuasaan Allah) satu saat lebih baik daripada beribadah satu malam.” Ia juga mengatakan, “Pe­mikiran itu merupakan cermin yang da­pat me­nunjukkan kepada dirimu ihwal ke­baik­an-kebaikanmu dan keburukan-keburuk­anmu.” Sedangkan Bisyr Al-Hafi menga­takan, “Seandainya manusia ber­pikir ten­tang keagungan Allah, niscaya me­reka tak akan bermaksiat kepadanya.”
Diriwayatkan pula bahwa Nabi Isa AS pernah mengatakan, “Wahai anak Adam yang bersifat lemah, bertaqwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, tetaplah merasa lemah selama di dunia, am­billah masjid sebagai rumah (sering-seringlah berada di masjid), ajarkan kedua matamu untuk menangis, ajarkan tubuh­mu untuk bersabar, dan ajarkan hatimu un­tuk berpikir, dan janganlah engkau me­mikirkan (merisaukan) rizqi esok hari.”
Allah SWT mencela orang yang tidak mau mengambil pelajaran pada makhluk-makhluk-Nya, yang menunjukkan Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, ketetapan-Nya, ke­kuasaan-Nya, dan tanda-tanda kebesar­an-Nya. Allah berfirman yang artinya, “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari­padanya. Dan sebagian besar mereka ti­dak beriman kepada Allah, melainkan da­lam keadaan mempersekutukan Allah (de­ngan sembahan-sembahan lain).” (QS Yu­suf: 105-106). Dan Allah memuji ham­ba-hamba-Nya yang mukmin yang dikata­kan-Nya, “(Yaitu) orang-orang yang meng­ingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka me­mikirkan ihwal penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan Kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia’.” Yakni, tidaklah Engkau menciptakan makhluk ini dengan main-main, melainkan de­ngan haq untuk kemudian Engkau mem­balas orang-orang yang beramal buruk se­suai dengan apa-apa yang telah mereka lakukan serta membalas orang-orang yang berbuat baik dengan balasan kebaikan.
Kemudian mereka menyucikan Allah dari sifat main-main dengan mengatakan yang artinya, “Mahasuci Engkau.” Yakni dari menciptakan sesuatu dengan bathil. ”Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Yakni, wahai Dzat Yang telah Mencip­ta­kan segala ciptaan-Nya dengan haq dan adil, wahai Dzat Yang Mahasuci dari se­gala kekurangan, aib, dan main-main, peli­haralah kami dari siksa neraka.

Allah Swt pada ayat 190 surah Ali Imran mengajak manusia untuk berpikir dan merenungi tentang penciptaan langit-langit dan bumi. Kemudian pada ayat berikutnya Allah Swt menjelaskan hasil dan buah dari berpikir ini.
Ayat ini menjelaskan tentang keesaan Tuhan Sang Pencipta dan menyatakan bahwa apabila manusia memikirkan dengan cermat dan menggunakan akalnya terkait dengan proses penciptaan langit-langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, maka ia akan menemukan tanda-tanda jelas atas kekuasaan Allah Swt; maha karya dan rahasia-rahasia yang menakjubkan yang akan menuntun para hamba kepada Allah Swt dan hari Kiamat serta menggiring mereka pada kekuasaan Ilahi yang tak terbatas.
Abstrak dan ringkasan makna dua ayat ini adalah demikian; mereka yang menyaksikan, didasari dengan pemikiran dan perenungan, penciptaan langit-langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, pemikiran dan perenungan ini menyebabkan mereka senantiasa akan mengingat Tuhan. Dengan perantara ini mereka akan menyadari bahwa Allah Swt segera akan membangkitkan mereka dan atas dasar itu ia memohon rahmat-Nya serta meminta supaya janji yang diberikan kepada mereka dapat terealisir baginya.

Jawaban Detil
Salah satu jalan terbaik untuk mengenal Tuhan adalah jalan yang dijadikan Allah Swt sebagai agumen atas diri-Nya sendiri dan jalan itu adalah memberdayakan akal untuk mengenal Sang Pencipta; artinya apabila manusia memanfaatkan dan memberdayakan akalnya dan memikirkan tentang penciptaan semesta, pelbagai keajaiban penciptaan dan keteraturan yang mendominasi penciptaan maka ia akan terbimbing memahami keesaan Sang Pencipta alam semesta ini dan mengakui tentang kebijaksanaan dan keagungan ciptaan-Nya.
Berpikir adalah salah satu tipologi terpenting manusia. Berpikir merupakan salah satu nikmat di antara nikmat-nikmat Ilahi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan berulang kali al-Quran menyeru manusia untuk menggunakan akal dan pikirannya.
Ayat ini merupakan seruan kepada manusia untuk berpikir tentang proses penciptaan semesta.[1] Ayat ini disertai dengan ayat-ayat serupa,[2] menetapkan tentang keesaan Sang Pencipta. Karena apabila seseorang mencermati dan memikirkan tentang proses penciptaan langit-langit dan bumi, maka ia akan menemukan tanda-tanda terang atas kekuasaan Allah Swt; maha karya dan rahasia-rahasia yang menakjubkan yang akan menuntut para hamba kepada Allah Swt dan hari Kimaat serta menggiring mereka pada kekuasaan Ilahi yang tak terbatas.
Manusia apabila memikirkan tentang proses penciptaan langit dan bumi, akan menemukan bahwa seluruh ini tadinya tiada kini mengada (baca: hadits) dan memerlukan pencipta dan Khaliq. Pencipta mereka adalah Tuhan; karena pada sistem penciptaan yang menakjubkan, terdapat rahasia-rahasia dan ilmu yang tidak dapat dilakukan selain seorang yang Mahabijaksana. Karena itu, pencipta semesta ini tentulah seorang Pencipta Yang Mahabijak, Mahamengetahui dan tersifati dengan sifat-sifat sempurna dan agung.
Salah satu ayat dan tanda penciptaan-Nya yang dirasakan oleh setiap manusia adalah silih bergantinya siang dan malam yang berputar berdasarkan sistem yang akurat dan cermat serta memiliki pengaruh, keberkahan dan pengaruh yang dapat dirasaan oleh tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ayat-ayat ini dan ayat-ayat yang serupa berbicara tentang hal ini.
Tatkala orang-orang musyrik Mekkah datang kepada Rasulullah Saw dan meminta mukjizat untuk menetapkan keberadaan Tuhan dan kenabian Muhammad. Salah satu usulan mereka yang disampaikan kepada Rasululah Saw, “Ubahlah gunung Shafa menjadi emas.” Allah Swt menjawab permintaan mereka, “Penciptaan langit-langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, sangat penting untuk dapat menetapkan Sang Pencipta bagi orang-orang yang berakal; artinya apabila manusia menggunakan akal dan memberdayakan pikirannya maka hal itu akan membimbingnya kepada Sang Pencipta. Apakah mungkin langit-langit dan bumi, segala ciptaan yang menakjubkan yang ada di dalamnya, dapat mengada tanpa ada yang mengadakannya? Apakah mungkin dapat diterima siang dan malam yang datang silih berganti secara teratur pada setiap bulan dan tahun bahkan sedetik pun tidak pernah menyelisih siklus perputarannya dapat sedemikian teratur tanpa pencipta yang berkuasa? Apakah penciptaan makhluk-makhluk seperti ini lebih penting atau gunung Shafa yang ingin dirubah menjadi emas?
Apa yang dapat dijadikan sebagai penafsiran ayat mulia ini secara global dapat dikatakan bahwa ayat ini menunjukkan tentang masalah tauhid dan menyatakan, “Langit-langit ini yang berada di atas kita dan menaungi kita, dengan segala kecermatan dalam penciptaannya dan bumi yang memeluk kita dan alas yang kita jejaki di atasnya, dengan segala keajaibannya, dengan segala keanehan dalam perubahan-perubahannya, misalnya silih bergantinya siang dan malam, segala sesuatunya memerlukan Sang Pencipta yang mengadakan dan menciptakannya. Hal ini merupakan salah satu argumen (burhân) yang dapat disuguhkan pada ayat ini terkait dengan masalah tauhid.
Argumen lainnya adalah sistem dan mekanisme yang berlaku di alam semeta; hasil dari argumen ini perut bumi dari sisi berat, kecil dan besarnya, jauh dan dekatnya masing-masing berbeda. Apabila manusia mencermatinya, maka ia akan menyimpulkan bahwa sedemikian menakjubkan dan indahnya sistem yang berlaku di alam semesta, alam dengan segala keluasaanya dari sisi mana pun memberikan pengaruh pada sisi lainnya, setiap bagian-bagiannya yang dapat mengada di setiap tempat, terpengaruh pada bagian-bagian lainnya, gravitasi umumnya yang satu sama lain saling bertautan, demikian juga cahaya dan panasnya, dengan pengaruhnya yang menggerakan gerak dan zaman.
Sistem umum dan general ini berada di bawah satu aturan yang permanen dan bahkan hukum relativitas pun memandang gerak umum di alam semesta ini senantiasa berubah. Hukum relativitas mau-tak mau mengakui bahwa ia juga didominasi oleh hukum lain, yaitu aturan yang permanen yaitu adanya perubahan dan pergantian.
Ringkasan makna  dua ayat ini: mereka yang memandang langit-langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam dengan pikiran dan perenungan maka perenungan ini akan melahirkan dzikir kepada Allah Swt sehingga dalam perbagai kondisi, berdiri, duduk, diam, menyaksikan dengan seksama seluruh makhluk yang ada di alam semesta yang akan membimbing mereka dari makhluk yang paling kecil pada keberadaan sosok Perencana dan Pelukis alam semesta.
Peta yang menarik yang nampak pada setiap sudut dan sisi penciptaan semesta, sedemikian menyedot perhatian orang-orang berakal sehingga pikiran-pikirannya dalam setiap kondisi, baik berdiri, duduk, diam dan seterusnya mengingat Tuhan Sang Pencipta.
Pada setiap fenomena yang disaksikan, ia belajar sebuah pelajaran tauhid yang baru dan dari sketsa indah alam semesta ia memahami pencipta-Nya yang sama sekali tidak menciptakan semesta yang menakjubkan ini dengan sia-sia dan tanpa tujuan.

Orang-orang berakal, hasil dari pikiran dan renungan seperti ini ia tidak akan melupakan Tuhan dalam setiap kondisi dan dengan perantara itu ia akan mengetahui bahwa Allah Swt akan segera memebangkitkan mereka dan atas dasar itu memohon rahmat Ilah dan memohon supaya janji Ilahi dapat segera terrealisir baginya.[3] [iQuest]

No comments:

Post a Comment