XII.1.4
|
HAK DAN
KEDUDUKAN WANITA DALAM KELUARGA
|
ARTIKEL 4
PERANAN WANITA DALAM ISLA
http://baitulmuslim-3mudilah.blogspot.com/2010/08/peran-dan-tanggung-jawab-wanita.html
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB WANITA MUSLIMAH
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB WANITA MUSLIMAH (BAGIAN KE-1)
Sekilas tentang peran dan tanggungjawab wanita pada masa
Rasulullah
dakwatuna.com – Rata-rata kaum wanita pada masa Rasulullah SAW tidak
ketinggalan memberikan kontribusi, peran dan tanggungjawab mereka, mereka ikut
berlomba meraih kebaikan, meskipun mereka juga sibuk sebagai ibu rumah tangga.
Mereka ikut belajar dan bertanya kepada Rasulullah SAW.
Wanita yang paling setia kepada Rasulullah adalah Khadijah
yang telah berkorban dengan jiwa dan hartanya. Kemudian Aisyah, yang banyak
belajar dari Rasulullah kemudian mengajarkannya kepada kaum wanita dan pria.
Bahkan, ada pendapat ulama yang mengatakan, seandainya ilmu seluruh wanita
dikumpulkan dibanding ilmu Aisyah, maka ilmu Aisyah akan lebih banyak.
Begitulah Rasulullah SAW memuji Aisyah.
Ada seorang wanita bernama Asma binti Sakan. Dia suka hadir
dalam pengajian Rasulullah saw. Pada suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah,
“Ya Rasulullah SAW, engkau diutus Allah kepada kaum pria dan wanita, tapi
mengapa banyak ajaran syariat lebih banyak untuk kaum pria? Kami pun ingin
seperti mereka. Kaum pria diwajibkan shalat Jum’at, sedangkan kami tidak;
mereka mengantar jenazah, sementara kami tidak; mereka diwajibkan berjihad,
sedangkan kami tidak. Bahkan, kami mengurusi rumah, harta, dan anak mereka.
Kami ingin seperti mereka. Maka, Rasulullah SAW menoleh kepada sahabatnya
sambil berkata, “Tidak pernah aku mendapat pertanyaan sebaik pertanyaan wanita
ini. Wahai Asma, sampaikan kepada seluruh wanita di belakangmu, jika kalian
berbakti kepada suami kalian dan bertanggung jawab dalam keluarga kalian, maka
kalian akan mendapatkan pahala yang diperoleh kaum pria tadi.” (HR Ibnu Abdil
Bar).
Dalam riwayat Imam Ahmad, Asma meriwayatkan bahwa suatu kali
dia berada dekat Rasulullah SAW. Di sekitar Rasulullah berkumpullah kaum pria
dan juga kaum wanita. Maka beliau bersabda, “Bisa jadi ada orang laki-laki
bertanya tentang hubungan seseorang dengan istrinya atau seorang wanita
menceritakan hubungannya dengan suaminya.” Maka tak seorang pun yang berani
bicara, maka saya angkat suara. “Benar ya Rasulullah, ada pria atau wanita yang
suka menceritakan hal pribadi itu.” Rasulullah menimpali, “Jangan kalian
lakukan itu, karena itu jebakan syaitan seakan syaitan pria bertemu dengan
syaitan wanita, kemudian berselingkuh dan manusia pada melihatnya.”
Ada juga wanita yang tabah dalam kehidupan rumah tangga yang
serba pas-pasan tapi tidak pernah mengeluh seperti Asma’ binti Abi Bakar dan
Fatimah. Kutub Tarajim membenarkan cerita tentang Fatimah. “Suatu saat dia
tidak makan berhari-hari karena nggak ada makanan, sehingga suaminya, Ali bin
Abi Thalib, melihat mukanya pucat dan bertanya, “Mengapa engkau ini, wahai
Fatimah, kok kelihatan pucat?”
Dia menjawab, “Saya sudah tiga hari belum makan, karena
tidak ada makanan di rumah.”
Ali menimpali, “Mengapa engkau tidak bilang kepadaku?”
Dia menjawab, “Ayahku, Rasulullah SAW, menasehatiku di malam
pengantin, jika Ali membawa makanan, maka makanlah. Bila tidak, maka kamu
jangan meminta.”
Luar biasa bukan?
Ada juga wanita yang diuji dengan penyakit, sehingga dia
datang kepada Rasulullah SAW meminta untuk didoakan. Atha’ bin Abi Rabah bercerita
bahwa Ibnu Abbas RA berkata kepadaku, “Maukah aku tunjukkan kepadamu wanita
surga?” Aku menjawab, “Ya.”
Dia melanjutkan, “Ini wanita hitam yang datang ke Rasulullah
SAW mengadu, ‘Saya terserang epilepsi dan auratku terbuka, maka doakanlah
saya.’ Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu sabar, itu lebih baik, kamu dapat
surga. Atau, kalau kamu mau, saya berdoa kepada Allah agar kamu sembuh.”
Wanita itu berkata, “Kalau begitu saya sabar, hanya saja
auratku suka tersingkap. Doakan supaya tidak tersingkap auratku.”
Maka, Rasulullah SAW mendoakannya.
Ada juga wanita yang ikut berperang seperti Nasibah binti
Kaab yang dikenal dengan Ummu Imarah. Dia bercerita, “Pada Perang Uhud, sambil
membawa air aku keluar agak siang dan melihat para mujahidin, sampai aku menemukan
Rasulullah saw. Sementara, aku melihat pasukan Islam kocar-kacir. Maka, aku
mendekati Rasulullah sambil ikut berperang membentengi beliau dengan pedang dan
terkadang aku memanah. Aku pun terluka, tapi manakala Rasulullah SAW terpojok
dan Ibnu Qamiah ingin membunuhnya, aku membentengi beliau bersama Mush’ab bin
Umair. Aku berusaha memukul dia dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung
besi dan dia dapat memukul pundakku sampai terluka. Rasulullah saw. bercerita,
“Setiap kali aku melihat kanan kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada
Perang Uhud.” Begitu tangguhnya Ummu Imarah.
Ada juga Khansa yang merelakan empat anaknya mati syahid. Ia
berkata, “Alhamdulillah yang telah menjadikan anak-anakku mati syahid.
Begitulah peranan wanita pada masa Rasulullah saw. Mereka
berpikir untuk akhiratnya, sedang wanita sekarang yang lebih banyak memikirkan
dunia, rumah tinggal, makanan, minuman, kendaraan, dan lain-lain.
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB WANITA MUSLIMAH (BAGIAN KE-2)
Kaum Wanita pada Masa Berikutnya
dakwatuna.com – Ketika Utsman bin Affan mengerahkan pasukan melawan
manuver-manuver Romawi, komandan diserahkan kepada Hubaib bin Maslamah
al-Fikir. Istri Hubaib termasuk pasukan yang akan berangkat perang. Sebelum
perang dimulai, Hubaib memeriksa kesiapan pasukan.
Tiba-tiba istrinya bertanya, “Di mana saya menjumpai Anda
ketika perang sedang berkecamuk?”
Dia menjawab, “Di kemah komandan Romawi atau di surga.”
Ketika perang sedang berkecamuk, Hubaib berperang dengan
penuh keberanian sampai mendapatkan kemenangan. Segera dia menuju ke kemah
komandan Romawi menunggui istrinya. Yang menakjubkan, saat Hubaib sampai ke
tenda itu, dia mendapatkan istrinya sudah mendahuluinya. Allahu Akbar.
Pada masa Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Harun
al-Rasyid, ada seorang Muslimah disandera oleh tentara Romawi. Maka, seorang
ulama bernama Al-Manshur bin Ammar mendorong umat Islam untuk berjihad di dekat
istana Harun al-Rasyid dan dia pun menyaksikan ceramahnya. Tiba–tiba ada
kiriman bungkusan disertai dengan surat. Surat itu lalu dibuka dan dibaca oleh
ulama tadi dan ternyata berasal dari seorang perempuan dan berbunyi, “Aku
mendengar tentara Romawi melecehkan wanita Muslimah dan engkau mendorong umat
Islam untuk berjihad, maka aku persembahkan yang paling berharga dalam diriku.
Yaitu, seuntai rambutku yang aku kirimkan dalam bungkusan itu. Dan, aku memohon
agar rambut itu dijadikan tali penarik kuda di jalan Allah agar aku dapat
nantinya dilihat Allah dan mendapatkan rahmat-Nya.” Maka, ulama itu menangis
dan seluruh hadirin ikut menangis. Harun al-Rasyid kemudian memutuskan mengirim
pasukan untuk membebaskan wanita Muslimah yang disandera itu.
Seorang istri Shaleh bin Yahya ditinggal suaminya dan hidup
bersama dua anaknya. Ia mendidik anak-anaknya dengan ibadah dan qiyamul lail
(shalat malam). Ketika anak-anaknya semakin besar, dia berkata, “Anak-anakku,
mulai malam ini tidak boleh satu malam pun yang terlewat di rumah ini tanpa ada
yang shalat qiyamulail.”
“Apa maksud ibu?” tanya mereka.
Ibu menjawab, “Begini, kita bagi malam menjadi tiga dan kita
masing-masing mendapat bagian sepertiga. Kalian berdua, dua pertiga, dan saya
sepertiga yang terakhir. Ketika waktu sudah mendekati subuh, saya akan
bangunkan kalian.”
Ternyata kebiasaan ini berlanjut sampai ibu mereka
meninggal. Dan amalan itu tetap dilanjutkan oleh dua anak itu karena mereka
sudah merasakan nikmatnya qiyamulail.
Dari kisah di atas dapat kita pahami bahwa begitu besarnya
peran dan tanggungjawab wanita pada masa salafussalih, mereka tidak pernah
berhenti memberikan kontribusi dari apa yang mereka memiliki.
Secara umum wanita memiliki peran dan tanggung jawab amat
besar dan penting dalam berbagai aspek kehidupannya; baik dalam kehidupan
individu, keluarga (suami dan anak), masyarakat sosial sebagai warga ditempat
dirinya tinggal dan berdiam bersama diri keluarganya, dan negara sebagai bagian
dari anak bangsa, dan tempat dirinya dan keluarganya bernaung.
Sebagaimana pula wanita memiliki peran tanggung jawab
khusus, yaitu sebagai pendidik dan pemberi kontribusi kebaikan sosial, yang tanpanya,
kehidupan tidak akan berjalan semestinya. Sebab ia adalah pencetak generasi
baru. Sekiranya di muka bumi ini hanya dihuni oleh laki-laki, kehidupan mungkin
sudah terhenti beribu-ribu abad yang lalu. Oleh sebab itu, wanita tidak bisa
diremehkan dan diabaikan, karena dibalik semua keberhasilan dan kontinuitas
kehidupan, di situ ada wanita.
1.
Menghambakan diri kepada Allah SWT
Menghambakan diri kepada Allah adalah
merupakan ciri dari Wanita yang saleh. Sementara itu keshalehan sang istri
merupakan asas yang terpenting sekali daripada asas-asas yang lain. Kegagalan
asas ini dapat mengakibatkan asas-asas lain tidak akan berfungsi untuk memberi
kebahagiaan sebenarnya di dalam kehidupan. Tanpa Wanita yang saleh maka
keluarga-keluarga Islam tidak akan dapat diwujudkan, padahal pembinaan dan
terbentuknya pergerakan Islam itu bergantung kepada kelahiran keluarga-keluarga
Islam ini. Kalau sekiranya pergerakan Islam itu penting untuk membawa dan
mempraktekkan Islam maka Wanita yang Saleh juga sama pentingnya.
Adapun Sifat-sifat dari istri yang
menghambakan diri kepada Allah adalah sebagai berikut:
a.
Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah yang taat
kepada Allah dan Rasul dan patuh kepada perintah-Nya. Sanggup menjaga kesucian
dirinya walaupun di tempat-tempat yang sunyi dari pandangan orang lain, juga
yang sering berdzikir kepada Allah serta takut kepada-Nya.
Firman Allah SWT maksudnya:
“Wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka)” (An-Nisa’: 34)
b.
Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah istri yang
selalu bersyukur terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah kepada suaminya,
karena ia meyakini bahwa Allah telah menakdirkannya, sementara takdir Allah
tidak pernah mencelakakan dirinya.
c.
Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah juga
Wanita yang taat kepada suaminya dan memahami hak dan kewajiban terhadap
suaminya. Seperti yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw.
لَوْ كُنْتُ آمِرًا
أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجَهَا
“Kalau boleh aku menyuruh seseorang
supaya sujud kepada orang yang lain niscaya aku menyuruh Wanita supaya sujud
kepada suaminya”. (HR. Thabrani, Hakim dan ulama hadits)
Wanita menjaga hak dan kehormatan
suaminya, baik suaminya ada di rumah atau tidak. Memiliki tingkah laku yang
disukai oleh suaminya. Pandai menyembunyikan harta benda suaminya. Mendahului
hak suaminya daripada hak dirinya sendiri atau kaum kerabatnya.
d.
Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah wanita
yang senantiasa menunjukkan himmah (rasa senang) yang tinggi, lemah lembut
tidak suka memaki, mengucapkan sumpah serapah, mengumpat-keji, berbantah
bantahan dan lain-lain dari sikap dan perilaku yang negative dan tidak terpuji.
Menunjukkan sikap yang jernih dan lapang dada serta segala hal yang menyebabkan
suaminya senang saat ada di rumah. Seperti sabda Nabi saw:
خَيْرُ النِّسَاءِ
تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ، وَتُطِيعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، وَتَحْفَظُ غَيْبَكَ فِي
نَفْسِهَا وَمَالِكِ
“Sebaik-baik
wanita ialah perempuan yang apabila engkau memandangnya ia menyukakan hati dan
mentaati apabila engkau memerintah, dan apabila engkau tidak ada ia menjaga
harta engkau dan memelihara dirinya.”
e.
Wanita yang menghambakan diri kepada Allah adalah Wanita
yang berpengetahuan, berakhlaq mulia, tahu melayani suami serta mengasihi
dan mendidik anak-anak ke jalan hidup yang dikehendaki oleh Allah dan
meneladani sunnah Rasulullah saw.
2.
Mendidik anak-anaknya
Allah SWT berfirman
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ
تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا
اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا“
Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang benar.” (QS. An-Nisa 4:9)
Di antara peran dan tanggungjawab
seorang wanita muslimah adalah memberikan pendidikan yang terbaik kepada
anak-anaknya. Hendaknya juga seorang wanita muslimah takut dan khawatir jika
meninggalkan keturunan yang lemah; baik lemah finansialnya ataupun lemah akal
dan pendidikannya. Dan lemah pendidikan harus lebih diperhatikan daripada lemah
harta dan finansialnya.
Dan pendidikan anak sangat disarankan
dimulai sejak dini, bahkan sejak dalam kandungan. Ketika sang ibu rajin
beribadah, insya Allah, kelak janin yang dikandungnya akan menjadi ahli ibadah.
Ketika sang ibu rajin membaca Al Qur’an, insya Allah, kelak anak yang
dilahirkannya pun akan mencintai Al Qur’an. Dan ketika sang ibu sangat
berhati-hati menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan, insya Allah, kelak
anaknya pun akan menjadi hamba-Nya yang ihsan. Karena itu tidak keliru kalau
ada yang mengatakan: “Seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya”.
Betapa besarnya peranan seorang wanita
dalam mencetak generasi rabbani. Sebagaimana visi pernikahannya untuk
menjadikan rumah tangga sebagai lahan tumbuhnya generasi yang akan menegakkan
panji Islam. Generasi yang tumbuh dalam rumah tangga yang menjadi pusat
kaderisasi terbaik.
Ketika sang anak hadir ke dunia, sebuah
tugas sangat berat telah diemban di pundak seorang ibu. Tugas mendidiknya,
membekalinya dengan life-skill, agar kelak anaknya siap terjun ke dunia yang
berubah dengan cepatnya setiap hari. Sepuluh atau 15 tahun lagi, akan sangat
berbeda kondisinya dengan masa kini.
Ketika sang anak mulai banyak bertanya,
“Ini apa?”, “Itu apa?”, ”Kenapa begini?”, Kenapa begitu?”, seorang ibu dituntut
untuk dapat memberikan jawaban yang terbaik. Jawaban yang tidak mematikan rasa
ingin tahu anak, bahkan sebaliknya, jawaban yang membuat anak semakin terpacu
untuk belajar.
Masa yang penting ini, yang
disebut golden-age, masa di mana anak sangat mudah menyerap segala
informasi, belajar tentang segala sesuatu. Dan ibu adalah orang yang terdekat
dengan anak, yang lebih sering berinteraksi dengan anak. Menjadilah ibu sebagai
sumber ilmu, pendidik pertama bagi anak-anak, yang menanamkan pondasi awal dan
utama bagi generasi yang akan menjadi pemimpin masa depan ini.
Ketika anak mulai memasuki dunia
sekolah, tugas ibu tak lantas menjadi tergantikan oleh sekolah. Bahkan sang ibu
dituntut untuk dapat mengimbangi apa yang diajarkan di sekolah.
Peran yang demikian strategis ini,
menuntut wanita untuk membekali dirinya dengan ilmu yang memadai. Maka, wanita
harus terus bergerak meningkatkan kualitas dirinya. Karena, untuk mencetak
generasi yang berkualitas, dibutuhkan pendidik yang berkualitas pula. Hal itu
berarti, seorang wanita tidak boleh berhenti belajar.
Wanita adalah lembaga pendidikan bila
dipersiapkan, darinya akan lahir pemuda-pemuda berjiwa mulia. Duhai ukhti
muslimah, teruslah mencari ilmu, bekali dirimu dengan ilmu. Ilmu yang dapat
meluruskan aqidah, menshahihkan ibadah, membaguskan akhlaq, meluaskan tsaqafah,
membuat mandiri, tidak bergantung pada orang lain sekaligus bermanfaat bagi
orang lain.
Teladanilah wanita Anshar yang tidak
malu bertanya tentang masalah agama. Teladanilah para sahabiyah yang bahkan
meminta kepada Rasulullah untuk diberikan kesempatan di hari tertentu khusus
untuk mengajari mereka. Sehingga, akan bermunculan kembali Aisyah-Aisyah yang
mempunyai pemahaman yang luas dan mendalam tentang agamanya.
Duhai ukhti muslimah, didik
putra-putrimu agar mengenal Allah dan taat pada-Nya, agar gemar membaca dan
menghafal kalam-Nya. Ajarkan mereka mencintai Rasulullah dan meneladani beliau.
Bekali dengan akhlaq imani, mencintai sesama, menghormati yang tua dan
menyayangi yang muda. Sehingga akan bermunculan kembali Khonsa-Khonsa yang
mencetak para syuhada.
3.
Pendamping setia suaminya
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ
وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ
أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ
dakwatuna.com – “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu”.(Al-Baqoroh:187)
Seorang laki-laki lebih cenderung
menggunakan akalnya di dalam mengatur urusan keluarga. Adapun seorang Wanita
lebih cenderung menggunakan perasaannya di dalam mengatur semua
permasalahannya, termasuk mengatur masalah urusan rumah tangga. Wanita yang
mencintai suaminya dan yang subur keturunannya, maka itulah Wanita yang
didambakan, karena rasa cinta, kasih sayang yang ada pada diri seorang Wanita
dalam mengelola rumah tangga adalah salah satu bentuk rahmat yang nantinya akan
dapat mengarahkan anak ke jenjang yang lebih baik. Dan adanya anak di suatu rumah
itu tidak lain adalah benar-benar sebagai pengobatan hubungan yang mulia yang
mengikat antara suami dan Wanita.
Sesungguhnya keberadaan seorang anak
pada setiap tahapan dari beberapa tahapan yang dijalani suami Wanita adalah
sebagai penguat unsur-unsur yang mengikat di antara keduanya (suami Wanita) dan
sebagai pembaharu ikatan yang merajut antara mereka berdua.
Dan setiap kali bertambahnya rasa cinta
dan penghormatan di antara mereka berdua, maka hubungan tersebut akan semakin
bertambah (kuat) sehingga menjadi pasangan yang sejati.
Sehingga akhirnya sang Wanita menjadi
pendamping setia bagi sang suami di dalam mengarungi bahtera kehidupannya yang
panjang, dan dia menjadi tempat mencurahkan rahasia sang suami. Karena manusia
secara tabiatnya mencari teman yang baik dan dekat untuk membuka semua rahasianya
dengan berterus-terang.
Kelanggengan hubungan suami Wanita yang
selalu diiringi rasa cinta, menuntut seorang Wanita untuk melakukan pekerjaan
yang begitu banyak, baik yang berkaitan dengan materi maupun ma’nawi. Di
antaranya yaitu:
a. Menertibkan dan mengatur
rumahnya dengan suatu cara yang memuaskannya, tetapi wajib pula baginya untuk
meminta pendapat/perhatian dari suaminya, dan jika suaminya menyetujui, maka
itulah yang diharapkan.
b. Wajib bagi Wanita untuk
berusaha sekuat tenaga untuk lebih proporsional di dalam melaksanakan
tugas-tugasnya, dan tidak mempersoalkan kekurangan-kekurangan yang ada pada
suaminya. Wajib baginya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan ini dengan cara
tidak memberitahukan kepada suaminya. Maka seandainya seorang suami tidak
memperhatikan dalam meletakkan pakaian pada tempat yang semestinya dan dia
meletakkan pakaian-pakaian tersebut di atas kursi dan sofa, maka mau tidak mau
sang Wanita dituntut untuk mengambil dan meletakkan pada tempatnya yang
sekiranya tempat tersebut dapat menjaga keindahan/keserasiannya. Bila kebiasaan
itu telah terjadi dan Wanita sedang dalam keadaan sakit, maka sang suami
merasakan kesusahan, dia akan berusaha untuk menggantikan posisi sang Wanita
dalam mengurus rumahnya, dia akan meletakkan pakaian pada tempat yang
semestinya dan mulai dari sanalah dia akan melaksanankan kebiasaan yang baik
tersebut.
c. Sang Wanita wajib merasa
bahwa dia adalah suaminya dengan tujuan untuk saling melengkapi antara yang
satu dengan yang lain, maka sang Wanita dituntut lebih mempersembahkan rasa
cinta dan kasih sayang dan begitu pula sang suami harus berkorban dengan jiwa
dengan penuh tanggung jawab, keperkasaan dan keberaniannya.
d. Jika keduanya sudah
sampai pada perasaan yang sedemikian rupa, menyadari mereka sebagai dua jenis
yang saling memahami dan saling melengkapi antara yang satu dengan yang
lainnya, maka mereka berdua akan hidup bahagia sepanjang hayatnya.
e. Seorang Wanita wajib
setia, tidak egois seperti halnya dia seharusnya tidak menuntut macam-macam
kepada suami, seperti membebani suami dari berbagai segi, baik itu berupa
materi maupun ma’nawi. Sebagai contoh jika suaminya seorang pegawai dan dia
tahu gajinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, maka hendaklah
ia tidak meminta beberapa permintaan berat yang dapat menyusahkannya, sehingga
terkadang seorang suami mengadu kepada salah seorang temannya untuk meminjam
uang agar dia tidak diketahui kekurangannya oleh sang Wanita.
f. Seorang Wanita wajib
menghilangkan tabir penghalang yang ada pada mereka berdua, sekiranya keduanya
menjadi sebuah lembaran kertas yang putih di hadapan yang lain, mengungkapkan
perasaan kepadanya dalam menghadapi semua masalah yang ada, dan sesungguhnya
jiwa keterbukaan yang ada pada mereka berdua itu dapat menenangkannya dan dapat
membersihkan setiap keduanya di hadapan yang lain dengan penuh kebebasan dan
penuh kemerdekaan.
4.
Saudara bagi masyarakatnya
dakwatuna.com – Maksudnya adalah seorang
wanita muslimah juga memiliki peran dan tanggungjawab dalam kehidupan
masyarakatnya, sehingga dengan itu dirinya memiliki kontribusi dalam melakukan
perbaikan dan pembangunan di tengah masyarakatnya, terutama dalam rangka
mencetak individu yang baik yang kelak menjadi anggota masyarakat yang baik.
Dan baik buruknya wanita dapat mempengaruhi kondisi suatu masyarakat.
Perbaikan masyarakat ada dua macam,
yaitu:
a. Perbaikan yang Zhahir
(Tampak)
Yaitu perbaikan yang biasa dilakukan di
tempat-tempat terbuka, seperti: Masjid, pasar, tempat kerja dan sejenisnya.
Perbaikan ini tertuju kepada kelompok laki-laki karena merekalah yang banyak
melakukan aktivitas di luar dan sering menampakkan diri.
b.
Perbaikan di Balik Tabir (di belakang layar, red)
Yaitu adalah perbaikan yang dilakukan
di dalam rumah. Urusan ini biasanya diperankan oleh kaum wanita, karena
merekalah pengatur urusan-urusan intern rumah tangga, sebagaimana difirmankan
oleh Allah kepada Wanita-Wanita Nabi saw , yang artinya: “Dan hendaklah
kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Pentingnya peran wanita dalam
memperbaiki masyarakat
dakwatuna.com – “Sesungguhnya perbaikan
separuh dari jumlah masyarakat yang ada, bahkan sebagian besarnya tidak akan
pernah bisa dipisahkan dari peran wanita,” hal ini karena dua alasan:
Pertama, jumlah wanita sama
banyak dengan jumlah laki-laki, bahkan bisa lebih banyak dari laki-laki
sebagaimana pernah disebutkan dalam hadits Rasulullah saw. Akan tetapi,
perbandingan ini terkadang berubah-ubah setiap waktunya atau berbeda-beda
antara tempat yang satu dengan yang lain.
Kadangkala di suatu negara wanitanya
lebih banyak dibanding laki-laki, namun di negara lain sebaliknya, laki-lakinya
yang lebih banyak
Demikian pula pada suatu waktu
terkadang wanita lebih banyak dari laki-laki dan di waktu lain terjadi
sebaliknya laki-laki yang lebih banyak. Yang jelas bagaimanapun keadaannya,
wanita tetap memiliki peran yang penting dalam perbaikan masyarakat.
Kedua, pertumbuhan generasi
muda pada awalnya pasti beranjak dari pangkuan seorang ibu (wanita). Dengan
demikian, maka tampak jelas bagaimana pentingnya peran yang harus diemban oleh
para wanita dalam memperbaiki masyarakat.
Bagaimanakah cara yang seharusnya
dilakukan oleh wanita dalam melakukan kontribusi perbaikan masyarakat? Ada
beberapa langkah yang harus diperhatikan, di antaranya:
1. Keshalihan Wanita
Sebagaimana yang telah kita bahas
sebelumnya bahwa menghambakan diri kepada Allah adalah merupakan ciri dari
wanita yang shalih. Sementara itu keshalihan seorang wanita merupakan asas yang
terpenting sekali daripada asas-asas yang lain. Kegagalan asas ini dapat
mengakibatkan asas-asas lain tidak akan berfungsi untuk memberi kebahagiaan yang
sebenarnya di dalam kehidupan. Tanpa wanita yang shalih maka keluarga-keluarga
Islam tidak akan dapat diwujudkan, padahal pembinaan dan terbentuknya
pergerakan Islam itu bergantung kepada kelahiran keluarga-keluarga Islam ini.
Kalau sekiranya pergerakan Islam itu penting untuk membawa dan mempraktekkan
Islam maka Wanita yang shalih juga sama pentingnya.
Karena itu, hendaknya wanita yang
berperan dalam memperbaiki masyarakat adalah wanita yang shalihah agar ia dapat
menjadi contoh dan teladan bagi wanita lain. Agar seorang wanita mencapai
derajat shalihah, maka ia harus memiliki ilmu, yaitu ilmu syar’i yang dapat ia
pelajari melalui kitab-kitab (buku) atau melalui apa yang ia dengar dari lisan
para ulama. Ia dapat mendengarkan rekaman ceramah-ceramah mereka, dan media
kaset ini cukup berperan dalam mengarahkan masyarakat menuju perbaikan dan
keshalihan.
2. Fasih di Dalam Berbicara
dakwatuna.com – Hendaknya wanita tersebut
adalah wanita yang dianugerahi oleh Allah kefasihan dalam berbicara. Dengan
kata lain ia mampu berbicara dengan lancar dan mampu mengungkapkan apa yang ada
dalam benaknya dengan baik dan benar. Sehingga dapat menyingkap semua makna
yang ada dalam hati dan jiwanya. Apalagi makna tersebut kadang juga ditemukan
dalam diri orang lain, namun ia tidak mampu untuk mengungkapkannya dengan
kata-kata atau mungkin ia mampu mengungkapkannya, akan tetapi kurang jelas dan
kurang tepat sehingga perbaikan yang diharap-kan tidak mencapai hasil yang
optimal.
Agar seorang wanita dapat berbicara
dengan lancar dan fasih serta mampu mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya
secara benar dan jelas, maka hendaknya ia mempunyai pengetahuan bahasa Arab
baik nahwu, sharaf dan balaghah. Demikian pula ia harus menguasai bahasa yang
digunakan oleh masyarakat yang di dakwahinya.
3.
Hikmah
Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan
benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil
Hikmah dan sikap bijaksana merupakan
anugerah yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya, sebagaimana firman Allah
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ
يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا
يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Allah memberikan hikmah kepada siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi
kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali
orang-orang yang berakal.” (Al Baqarah: 269)
Dan sebagaimana juga Allah berfirman
memerintahkan para duat (laki-laki dan wanita) untuk memiliki al-hikmah dalam
melakukan dakwahnya:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِين
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”. (An-Nahl:125)
Betapa sering tujuan tak tercapai,
bahkan kesalahpahamanlah yang timbul karena tidak adanya hikmah dan sikap
bijaksana dalam berdakwah. Termasuk dalam kategori hikmah dalam berdakwah
adalah memposisikan orang yang didakwahi pada posisi yang semestinya. Jika ia seorang
jahil, maka ia diperlakukan sesuai keadaannya. Jika ia seorang yang memiliki
ilmu, namun pada dirinya ada sikap tafrith (menyia-nyiakan), ihmal (meremehkan)
dan ghaflah (melalaikan) maka hendaknya diperlakukan sesuai kondisinya. Begitu
pula, jika seorang yang berilmu namun suka bersikap sombong dan menolak
kebenaran, maka ada cara tersendiri dalam memperlakukannya.
Di antara contoh penerapan hikmah di
dalam dakwah Rasulullah saw, yakni:
a.
Kasus Orang Badui Kencing di Pojok
Masjid.
Para sahabat ketika itu meneriakinya
dan berkeinginan untuk mencegahnya, namun Rasulullah dengan penuh bijaksana
bersabda, ”Jangan kalian putuskan kencingnya!” Maka tatkala orang tersebut
selesai dari kencingnya, Nabi menyuruh agar tempat yang terkena air kencing
tersebut disiram dengan seember air, lalu memanggil orang Badui tadi dan
bersabda kepadanya, “Sesungguhnya masjid ini tidak layak untuk membuang kotoran
di dalamnya, namun ia dipersiapkan untuk shalat, membaca al Qur’an dan
dzikrullah.” (riwayat al Bukhari-Muslim).
Nabi membiarkan orang Badui tersebut
meneruskan kencingnya, sebab jika ia berdiri untuk menghentikan kencingnya maka
akan terjadi dua kemungkinan:
Pertama, ia akan berdiri dalam keadaan
aurat terbuka untuk menghindari terkenanya air kencing pada pakaiannya dan saat
ia berdiri maka air kencing akan meluas. Di samping itu ia akan dilihat oleh
orang banyak dalam keadaan auratnya terbuka. Maka pada saat itu akan terjadi
dua mafsadah (keburukan) baru yaitu melebarnya air kencing dan terbukanya aurat
di hadapan orang.
Kedua, ia akan berdiri dengan
menutup auratnya, sehingga pakaiannya akan kotor terkena air kencing. Maka
untuk menghindari efek tambahan ini, Nabi membiarkannya meneruskan kencing
untuk meminimalisir mafsadah.
Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa
suatu kemungkaran hendaknya dibiarkan saja, jika mencegahnya ternyata akan
menimbulkan kemungkaran baru yang lebih besar. Inilah salah satu ibrah atau
pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini.
b.
Seorang Sahabat Nabi Bersin pada Waktu
Shalat.
Muawiyah ibnul Hakam ketika ia sedang
shalat bersama Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, tiba-tiba ada
seseorang yang bersin lalu mengucapkan, “Alhamdulillah”, maka Muawiyah
mengucapkan, “Yarhamukallah”. Seketika itu juga para sahabat yang lain
memandanginya pertanda marah dengan kejadian itu, maka Muawiyah berkata,
“Celaka kalian!” lalu orang-orang pada menepuk pahanya masing-masing sebagai
isyarat agar ia diam, ia pun lalu diam.
Setelah selesai shalat, Rasulullah
memanggil Muawiyah dan bersabda, “Shalat itu tidak boleh ada perkataan manusia
di dalamnya sedikit pun, namun shalat hanyalah takbir dan membaca al Qur’an.”
Maka berkatalah Muawiyah, “Aku tidak pernah melihat seorang guru yang lebih
bagus cara mengajarnya dari pada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam. Demi
Allah, beliau tidak membentakku dan tidak pula menghardikku.”
c. Seorang Laki-Laki yang
Memakai Cincin Emas.
Ia memakai cincin tersebut, padahal
Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam sudah menjelaskan haramnya emas bagi kaum
laki-laki dari umat ini. Maka beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian
sengaja mengambil bara api kemudian ia taruh di tangannya”, lalu Nabi
Shallallaahu alaihi wa Sallam mencopot cincin itu (dari tangan orang tersebut),
kemudian melemparkannya. Setelah Nabi pergi orang-orang berkata kepadanya,
“Ambillah cincinmu itu dan manfaatkanlah.” Maka ia menjawab, “Aku tidak akan
mengambil cincin yang telah dibuang oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Sallam.”
Di dalam kasus ini Rasulullah bersikap agak keras, hal ini dikarenakan orang tersebut sudah mengetahui tentang haramnya memakai emas bagi kaum laki-laki. Sikap ini berbeda dengan (sikap) beliau ketika menghadapi orang yang belum mengerti, sebagaimana di dalam contoh sebelumnya.
Di dalam kasus ini Rasulullah bersikap agak keras, hal ini dikarenakan orang tersebut sudah mengetahui tentang haramnya memakai emas bagi kaum laki-laki. Sikap ini berbeda dengan (sikap) beliau ketika menghadapi orang yang belum mengerti, sebagaimana di dalam contoh sebelumnya.
4. Bisa Mendidik dengan Baik
dakwatuna.com – Seorang
wanita hendaknya bisa mendidik anak-anaknya dengan baik, karena anak-anak adalah harapan di masa depan. Pada awal
pertumbuhan-nya, anak-anak lebih banyak bergaul dengan ibu mereka. Jika sang
ibu memiliki akhlaq dan perilaku yang baik, maka kelak anak-anak tersebut akan
mempunyai andil yang sangat besar di dalam memperbaiki masyarakat.
Oleh karenanya, seorang wanita yang memiliki anak-anak
harus memperhatikan pendidikan mereka. Seandainya ia sendiri tidak mampu untuk
memperbaiki dan mendidik mereka maka hendaknya ia meminta bantuan dari ayah
anak-anak tersebut. Jika anak-anak sudah tidak punya ayah, maka bisa
meminta bantuan kepada wali mereka, seperti: Saudara, paman, anak saudara (keponakan)
dan selainnya.
Seorang wanita juga tidak boleh menyerah dengan keadaan
dan berdiam diri sebab jika demikian maka perubahan dan perbaikan tak akan bisa
terlaksana dengan baik.
5. Giat di dalam Berdakwah
Hendaknya seorang wanita giat di dalam meningkatkan taraf
keilmuan kaumnya. Hal itu dapat dilakukan di tengah-tengah masyarakat, baik
sekolah, universitas ataupun jenjang yang lebih tinggi lagi. Hal itu juga dapat
dilakukan disela-sela ziarah atau kunjungan antara sesama wanita dengan
menyampaikan beberapa kalimat yang mungkin bermanfaat bagi mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa peran aktif kaum wanita di
dalam berdakwah, mengadakan kajian-kajian ilmu syar’i, pengajaran Bahasa Arab
khusus bagi mereka merupakan amalan yang bagus dan layak mendapat acungan jempol.
Pahala dari ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir, sekalipun mereka
telah meninggal dunia, sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Sallam.
Kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , semoga Dia berkenan
menjadikan kita semua sebagai dai yang mendapatkan petunjuk. Dai yang baik dan
senantiasa berusaha memperbaiki orang lain. Dan semoga Dia juga memberikan
rahmat-Nya, sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Memberi.
No comments:
Post a Comment