AL QUR'AN TENTANG
KONTROL DIRI, HUSNUDDHAN, UKHUWWAH
KOMPETENSI DASAR
2.1 Menunjukkan perilaku kontrol diri (mujahadah an-nafs), prasangka baik (hudnuddlan), dan persaudaraan (ukhuwah) sebagai implementasi dari pemahaman Q.S. al- Hujurat/49: 10 dan 12 serta hadits yang terkait
3.1 Memahami
manfaat dan hikmah kontrol diri (mujahadah an-nafs), prasangka baik
(husnuddlan) dan persaudaraan (ukhuwah), dan menerapkannya dalam kehidupan
Indikator Pencapaian Kompetensi
3.2.1 Siswa memahami isi kandungan surat al- Hujurat/49: 10 dan 12
3.2.1 Siswa dapat menyimpulkan kandungan Q.S. al- Hujurat/49: 10 dan 12;
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Menunjukkan
perilaku kontrol diri (mujahadah an-nafs), prasangka baik (husnuddlan), dan
persaudaraan (ukhuwah) sebagai implementasi dari pemahaman Q.S. al- Hujurat/49: 10 dan 12 serta hadits terkait
4. Memahami
manfaat dan hikmah kontrol diri (mujahadah an-nafs), prasangka baik
(hudnuddlan) dan persaudaraan (ukhuwah), dan menerapkannya dalam kehidupan
Berdasar surat Al Hujurat ayat 10 dan 12 dapat diambil pelajaran tentang Kontrol Diri, Husnuddhan dan Ukhuwwah
KONTROL DIRI
Rasulullah
SAW. bersabda, berkenaan dengan peran mahapenting nafs itu di dalam
diri manusia, yaitu Hadits yang bersumber dari Abi Abdillah, bahwa Nabi SAW.
mengirim sariyyah (perang yang dipimpin bukan oleh Nabi SAW.), dan ketika
kembali, beliau menyabdakan:
مَرْحَباً بِقَوْمٍ قَضَوُا الجِهَادَ الأَصْغَرَ
وَبَقِيَ عَلَيْهِمُ الجِهَادُ الأَكْبَرُ. فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ، مَا
الجِهَادُ الأَكْبَرُ؟ قَالَ: جِهَادُ النَّفْسِ.
“Abi
Abdillah menceritakan, bahwa Nabi SAW. mengutus sariyyah (perang yang tidak
dipimpin oleh Nabi SAW.), dan ketika mereka kembali, Rasulullah SAW. bersabda:
“Selamat datang orang-orang yang telah melakukan perag yang sangat kecil, dan
masih terdapat bagi mereka perang yang sangat dan lebih besar”. Sebagian
sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, perang apakan yang dimaksud sangat dan lebih
besar itu?”. Beliau menjawab: “Perang (mengendalikan) diri”.”
Ketika
kembali dari salah satu ghazwah (perang dipimpin oleh Nabi SAW.),
beliau juga menyabdakan:
رجعنا من جهاد الأصغر الى
جهاد الأكبر وهو جهاد النفس
“Kita
telah kembali dari perang yang sangat dan terkecil menuju perang yang sangat
besar dan lebih besar, yaitu perang (mengendalikan) diri.”
Pengertian
Mudah tentang al-Nafs
Allah
berfirman di dalam al-Qur’an:
وما أبرئ نفسي إن النفس لأمارة بالسوء إلا ما رحم ربي إن
ربي غفور رحيم
“Dan aku
tidak membebaskan nafs-ku, karena sesungguhnya nafs itu selalu sangat
menyuruh kepada keburukan, kecuali nafs yang dirahmati Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf/12:
53).
Secara umum,
kata al-nafs di dalam al-Qur’an, dimaksud untuk pengertian “diri,
pribadi, seseorang, atau individu”; tetapi ulama psikologi Islam, cenderung
mengartikan sebagai “jiwa”, karena itu ‘ilm al-nafs disebut juga
psikologi: ilmu tentang jiwa.
Banyak
istilah menuju pengertian al-nafs itu, tetapi bila merujuk pada ayat
di atas, al-nafs diartikan secara berbeda. Kata al-ammarah di
dalam kajian ilmu Balaghah, merupakan shighah mubalaghah dengan wazan al-fa’aalah,
yang dapat diartikan katsir al-amr bi al-suu’ (selalu memerintah pada
keburukan). Di sini, nafs itu: selalu menyuruh pada keburukan. Tegasnya, nafs
itu memiliki tugas “menyuruh”, ini yang perlu kita garisbawahi. Hanya saja, di
dalam ayat di atas: “nafs memerintah pada keburukan”, berarti memiliki
kecenderungan pula “memerintah pada kebaikan”. Dalam konteks ini, penulis
hendak menekankan: “nafs itu suka memeritah”.
Berdasarkan
pengertian sederhana di atas, maka nafs diartikan sebagai energi atau
kekuatan yang terdapat di dalam diri manusia, di mana keberadaannya menjadi
pengendali diri manusia; nafs adalah mesin penggerak tubuh manusia.
Pembagian
al-Nafs dalam al-Qur’an
Secara umum,
al-Qur’an menyebut secarang langsung, tiga bentuk dari nafs (jiwa yang
menggerakkan), dan ini menurut kebanyakan para ulama, yaitu: al-ammarah bi
al-suu’ (selalu memerintah pada keburukan), al-lawwamah (selalu
merendahkan diri, karena berada antara kebaikan dan keburukan), dan al-muthma’innah
(ketenangan, kebaikan lebih dominan).
Nafs
Ammarah. Di dalam berbagai kita tafsir – seperti Tafsir
al-Qurthubi, al-Thabari, dan Fath al-Qadir li al-Syawkani– nafs ammarah
difahami sebagai jiwa yang terendah yang cenderung pada tabiat jasad-badaniyah,
yang bila berterusan, dapat menjatuhkannya pada tingkat serendah-rendahnya (asfala
safilin). Nafs jenis ini, dalam bahasa filosofisnya, bersifat pragmatis,
hedonistik, pragmatis, sekularistis, dan bahkan materialistis.
Bagaimana
cara membersihkannya, atau tepatnya, cara mengedalikannya?
Di dalam
Fath al-Qadir li al-Syaukani, misalnya, dijelaskan”Membersihkan hati (al-qalb)
dari akhlak tercela, seperti tamak, dongkol, dengki, kesombongan, dan
sebagainya”. Imam al-Nawawi, dalam Syarh Shahih Muslim, menjelaskan “berusaha
keras (al-sa’yu) dalam rangka memperbaiki hati (shalah al-qalb),
dan memeliharanya dari kerusakan (al-himayah min al-fasad).
Di dalam Hadits,
yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا أَذْنَبَ كَانَتْ نُكْتَةٌ
سَوْدَاءُ فِي قَلْبِهِ ، فَإِنْ تَابَ وَنَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ ، صُقِلَ مِنْهَا
قَلْبُهُ فَإِنْ زَادَ زَادَتْ حَتَّى تَعْلُوَا قَلْبَهُ ، فَذَلِكَ
الرَّانُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ
مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sesungguhnya
seorang mukmin, bila dia melakukan dosa, terdapat noda hitam di dalam hatinya;
bila dia bertaubat, benar-benar menyesali, dan minta ampun (atas dosa-dosanya
tadi), dibersihkan hatinya dari dosa-dosa tersebut; tetapi, bila dia menambah
dosanya, maka titik hitam itu semakin bertambah, sehingga memenuhi hatiya.
Itulah yang disebut al-raan”, sebagaimana firman-Nya: “Sekali-kali tidak, bahkan
hati mereka telah tertutupi (oleh tabiat buruk), terhadap apa yang mereka
usahakan” (QS. Al-Muthaffifin/83: 14).” (HR. Muslim). Kata al-raan
di dalam Hadits di atas berarti al-thab’ wa al-dans; artinya dikuasai
oleh tabiat yang buruk.
Hati, bila
ingin bersih: taubat, meyesali, dan minta ampun (istighfar); bila
ingin sebaliknya: tidak perlu bertaubat, tidak perlu menyesali, dan tidak perlu
minta ampun (istighfar).
Nafs
Lawwamah. Kata lawwamah dalam bentuk mubalaghoh,
yang berarti seringkali mencela dan menyesali, yaitu terhadap perbuatan
buruk yang dilakukannya. Ini sangat bagus, karena mendorongnya menuju tingkatan
yang lebih tinggi. Termasuk bagus, bila didominasi oleh moden nafs
satu ini. karena itulah, di antara para mufassir, seperti Ibnu Abbas dan Ibnu
Katsir, menyebut nafs ini memiliki karakter menyesali diri, baik dalam
keburukan: mengapa melakukanya, ataupun dalam kebaikan: kenapa tidak
melakukanya. Karena itu, nafs ini sibuk dengan perbuatan: introspeksi diri (QS.
Al-Hasyr/59: 18), mendebat diri sendiri (QS. Al-Nahl/16: 111), dan menyesali
(QS. Al-Maidah/5: 52).
Nafs
Muthma’innah. Jiwa yang tenang, biasanya dimaksudkan
untuk nafs muthma’innah, yang menurut Abdul Razak, dalam Mu’jam
al-Ishthilahat al-Shufiyyah, sebagai jiwa dengan kesempurnaan cahaya hati
(al-qalb), jiwa yang bersih dan suci; atau, berdasarkan al-Qur’an:
jiwa yang sudah kembali kepada Tuhannya (Lih. QS. Al-Fajr/89: 27-30). Sebagai
jiwa yang bersih, maka nafs ini memiliki karakter: iman yang kuat, ridha dan
rela terhadap qada qadar Allah SWT., dan percaya pada janji-janji-Nya, serta
selalu ingin berdekatan dengannya (al-unsiyyah).
Sikap
Tasawuf terhadap al-Nafs
Di dalam
ayat 53 QS. Yusuf/12 di atas, disebutkan: “Dan aku tidak membebaskan
nafs-ku, karena sesungguhnya nafs itu selalu sangat menyuruh kepada keburukan, kecuali
nafs yang dirahmati Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyanyang.” (QS. Yusuf/12: 53).
Penulis
sengaja menggarisbawahi: “kecuali nafs yang dirahmati oleh Tuhanku”.
Penulis
merasakan kesusahan untuk menjelaskan ayat ini, tetapi ada baiknya kita mulai
dengan ungkapan Ibnu Atha’illah al-Sakandari dalam kitab al-Hikam-nya, di
antaranya:
لو لا جميل ستره لم يكن عمل أهلا للقبول
“Kalaulah
bukan karena bagusnya tutup Allah, maka tidak satu amalan atau pekerjaan pun
yang dapat diterima (oleh-Nya).”
Sesungguhnya
apa yang telah kita lakukan,belum ada apa-apanya dibandigkan kebesaran rahmat
Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kita. Dalam waktu 24 jam, berapa banyak
waktu yang kita habiskan, antara: “mengingat-Nya” dan “mengingat dunia”. Masya
Allah…, malu rasanya kita. Andai pun amalan kita diterima, itu semata-mata
karena kemuliaan-Nya: Dia yang telah menutupi aib-aib kita. Tidaklah terbayangkan,
andai saja aib-aib kita dibeberkan.
Berkaitan
dengan ayat di atas, tidaklah sanggup kita mengendalikan diri kita ini,
melainkan hanya rahmat dan kasih sayang-Nya an sich. Beruntunglah bagi
orang-orang yang telah mengetahui cara untuk mengendalikan diri itu, karena ini
juga merupakan rahmat-Nya. Berapa banyak kitab-kitab yang menjelaskan tentang
pengendalian diri, tetapi hampir tidak membicarakan “cara” pengendalian itu
sendiri. Kalaupun ada, maka pengendalian itu umumnya dengan “diri vs diri”. Contohnya,
“sifat buruk diri” dilawankan dengan “sifat baik diri”, yang sepertinya, masih
saja seperti wacana.
Para sufi
adalah orang-orang yang telah disucikan jiwanya, yang mereka mendapatkan rahmat
yang tak terhingga dari Allah, sehingga mereka memiliki pengetahuan “cara”
membersihkan dan mengendalikan diri sebagaimana yang dicontohkan langsung oleh
Rasulullah SAW.. Cara yang dimaksud adalah cara yang termudah, terdekat, dan
tercepat, yaitu dengan mendawamkan dzikir kepada Allah (mengingat Allah).
Di antara Hadits
disebutkan:
ذِكْرُ اللهِ عِلْمُ الإيمَانِ وَبَرَائِهِ مِنَ
النِّفَاقِ وَحُصِنَ مِنَ الشَّيْطَانِ وَحُرِزَ مِنَ النِّيْرَانِ
“Ddzikirullah
itu (dapat membuka) pengetahuan tentang keimanan, pembebasan dari kemuafikan,
benteng dari syetan, dan penyelamat dari neraka.” (Miftah al-Shudur).
Bagai kita
berada di kekuasaan Yang Maha Kaya dan Maha Bijaksana, perbuatan-perbuatan yang
kita lakukan, terlalu kecil dibanding keluasan rahmat-Nya. Ibnu Atha’illah
menyatakan:
لا صغيرة إذا قابلك عدله ولا كبيرة إذا واجهك فضله
“Tidak
ada dosa kecil, bila dihadapkan dengan keadilan-Nya; dan tidak ada dosa besar
bila dihadapkan dengan kemurahan-Nya.”
لا يعظم الذنب عندك عظمة تصدك عن حسن الظن بالله، فإن من
عرف ربه استصغر في جنب كرمه ذنبه
“Janganlah
dosa besar yang ada padamu mencegahmu untuk berbaik sangka kepada Allah, karena
sesungguhnya barang siapa yang telah mengenal Tuhannya, dosa tadi menjadi kecil
di tengah kemahaluasan kemurahan-Nya.”
Dengan
demikian, apabila kita telah diajarkan bagaimana cara tercepat dan termudah mengendalikan
diri, yaitu dengan cara berdzikir kepada Allah, maka tinggal kita
mendawamkannya. Setiap saat dan setiap waktu, tanpa melihat situasi kondisi
apapun. Inilah yang dipesakan oleh Ibnu Atha’illah al-Sakandari dalam
al-Hikam-nya:
لا تترك الذكر لعدم حضورك مع الله فيه، لأن غفلتك عن
وجود ذكره أشد من غفلتك في وجود ذكره
“Janganlah
engkau meninggalkan dzikir karena engkau tidak hadir bersama Allah (tidak
khusyuk), karena kelalaianmu sambil tidak berdzikir itu lebih dahsyat daripada
kelalaianmu sambil dzikir kepada-Nya.”
Walhasil,
Allah adalah Tuhan Yang Maha Penyayang, Pemurah, Bijaksana. Jangan menjadikan
Allah sebagai saingan, dengan cara menjadikan diri kita sebagai yang bisa
mengedalikan diri, tetapi serahkan kepada Dia Yang Maha Mampu Melakukan
segalaya. Karena itu, mari kita sambut perjumpaan dengan-Nya dengan mendawamkan
dzikir kepada-Nya
Sumber :
http://tasawufsuryalaya.wordpress.com/2012/08/06/tasawuf-mujahadah-al-nafs/
No comments:
Post a Comment