Tuesday, 9 June 2015

KUR 2013.XII.1.3 MUNAKAHAH, bagian 3



MUNAKAHAH
PERNIKAHAN DALAM ISLAM
E.   TALAK (Perceraian)
a.    Pengertian Talak
Pengertian Talak menurut bahasa Arab adalah melepaskan ikatan, sedangkan yang dimaksud di sini adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan dengan menggunakan lafaz  talak atau perkataan lain yang senada dengan maksud talak.

Bila problem keluarga tidak dapat diatasi, maka akan menjadi sumber konflik yang kemudian bisa meningkat pada percekcokan yang berkepanjangan. Bila percekcokan ini tidak dapat diatasi walaupun telah diusahakan dengan berbagai cara untuk Islah, dan dalam kehidupan rumah tangga tidak memungkinkan lagi terwujud ketenan­gan dan ketentraman, maka dalam kondisi seperti ini talak dapat dilaksanakan dengan cara yang baik. Atau juga apabila suami istri tidak dapat memenuhi kewajiban mas­ing-masing sesuai dengan ketentuan agama. Jadi talak hanya dapat dilaksanakan jika keadaan sudah sangat memaksa dan usaha lain sudah tidak dapat diharapkan dapat menyelesaikannya.
b.    Hukum Talak.
Dalam Agama Islam, hukum asal talak adalah makruh, yaitu boleh tapi tidak disukai oleh Allah swt, hal ini berdasar hadis Nabi saw :
ابـغضُ لحـلال عـنـد الله هـو لطلاق  رواه  ابو داود وابن ماجه
Artinya :     “Perbuatan halal yang sangat dimurkai oleh Allah adalah talak”. HR.Abu Daud dan Ibnu Majah.
Bila memperhati­kan situasi dan kondisinya serta kemaslahatan dan kemudlara­tan talak, maka hukum asal tersebut dapat menjadi :
1.    Wajib, yaitu bila perselisihan sudah memuncak dan hakim memandang perlu untuk  talak.
2.    Sunnat, bila suami sudah tidak dapat lagi memenuhi kewaji­bannya dengan layak, atau bila istri tidak dapat menjaga kehormatan diri dan keluarganya.
3.    Haram, yaitu menjatuhkan talak ketika istri dalam keadaan haidh, atau ketika istri suci setelah adanya hubungan suami istri.
c.    Lafadl dan Bilangan Talak.
Kalimat atau lafadl talak bisa berupa ungkapan lisan (ucapan) atau secara tertulis dengan menggunakan kata-kata yang sharih (terang) atau kinayah (sindiran).
1.    Sharih (terang), yaitu  kalimat yang jelas tujuannya, seperti : “saya talak engkau” atau “saya ceraikan engkau.” Dengan ungka­pan yang jelas ini maka jatuhlah talak tersebut, baik disertai dengan niat ataupun tidak.
2.    Kinayah (sindiran), yaitu kata-kata yang tidak jelas maksudnya atau meragukan, seperti kata suami : “Pergilah engkau dari sini atau pulanglah engkau ke rumah orang tuamu” Perkataan suami di atas bila dengan niat mentalak maka jatuhlah talaknya, akan tetapi bila tidak disertai dengan niat mentalak maka tidaklah jatuh talak.
Terhadap seorang istri, suami berhak menjatuhkan talak maksimal 3 kali, dengan klasifikasi berikut :
1.    Talak Raj’i, yaitu talak yang pertama dan kedua. Setelah terjadinya talak raj’i ini suami berhak untuk rujuk (kembali) kepada istrinya selagi masih dalam masa iddah atau kawin kembali setelah masa iddahnya habis.
2.    Talak Bain,dibedakan menjadi talak Bain Sughro atau Kubro.
Talak Bain Sughro (asghar) adalah talak yang menyebabkan hilangn­ya hak suami untuk rujuk ketika istri masih dalam iddah, akan tetapi boleh mengadakan akad nikah baru meskipun dalam massa iddah. Talak jenis ini adalah : Talak yang terjadi Qabla al dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’ serta talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
Talak Bain Kubro (akbar) yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya, yang menyebabkan hilangnya hak suami untuk rujuk kembali ketika (bekas) istri masih dalam masa iddah atau tidak boleh mengadakan akad nikah baru kecuali (bekas) bila istri sudah dinikahi oleh laki-laki lain dan telah talak Ba’da ad dukhul serta telah habis masa iddahnya.
F.   IDDAH
a.    Pengertian Iddah
Iddah berarti ketentuan, yaitu ketentuan masa menunggu yang diwajibkan atas perempuan yang dicerai suaminya, baik cerai biasa maupun cerai mati. Selama masa iddah bekas istri tidak boleh kawin dengan laki-laki lain, sebab ia masih menjadi hak bekas suaminya, disamping itu untuk memastikan apakah selama iddah itu ia hamil atau tidak. Dan bila ternyata ia hamil maka anak yang dikandungnya itu sah seba­gai anak dari suami yang menceraikannya.
b.    Manfaat adanya masa iddah
1.    Untuk mengetahui dengan pasti berisi atau tidaknya kandungan perempuan tersebut.
2.    Untuk memberi kesempatann berfikir kepada bekas suami istri itu, apakah keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepa­kat untuk rujuk maka hal itu merupakan jalan yang sangat baik.
c.    Ketentuan-ketentuan Masa Iddah
1.    Bagi istri yang dicerai qabla ad dukhul (belum dikumpuli oleh suami), maka baginya tidak ada masa iddah dan suami disunatkan memberikan mut’ah (pemberian yang dapat menyenangkan hati bekas istri). Dan bekas istri boleh langsung kawin dengan laki-laki lain begitu selesai dicerai oleh suaminya.
2.    Bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka masa id­dahnya adalah 4 bulan 10 hari. Sedangkan bila ditinggal oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka menurut jumhur ulama masa iddahnya sampai melahirkan anaknya.
3.    Bagi istri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan anaknya
4.    Bagi istri yang dicerai, sedang ia masih dalam keadaan normal haidnya, maka iddahnya tiga kali quru’ (tiga kali suci
5.    Bagi istri yang diicerai dalam keadaan tidak haid lagi, baik karena menopause (usia lanjut) atau karena masih kecil atau sudah dewasa tapi tidak pernah haid, maka iddahnya adalah tiga bulan
d.    Hak-hak istri selama dalam masa iddah.
1.    Perempuan yang dalam  masa iddah Raj’i  atau yang ditalak dalam keadaan hamil (baik talak Rij’i maupun ba’in) maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian, dan belanja dari mantan suaminya. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an :

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ 
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri yang sudah ditalak) itu wanita-wanita yang sedang hamil maka berikan­lah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirklan anaknya. QS. At Thalaq : 6.
Dalam sebuah hadits, Nabi saw. bersabda :
انـما النــفقةُ والسـُّكنى للمـرأة اذا كان لـزوجها علـيها الرَّجْـعَـة   رواه  احمد
Artinya :     “Bahwa perempuan yang berhak mengambil nafkah dan tempat tinggal adalah apabila suaminya itu berhak rujuk kepadan­ya”. HR. Ahmad dan Nasa’i.
2.    Wanita yang dicerai dengan talak ba’in sughro atau kubro, atau juga karena talak tebus (khulu’), maka baginya hanya mempunyai hak tempat tinggal saja dan tidak yang lainnya.
3. Istri yang dalam  masa iddah wafat, ia hanya mendapat hak waris, walaupun  sedang hamil.

G.  RUJUK
a.    Pengertian Ruju’
Ruju’ artinya kembali, yaitu bersatunya kembali seorang suami kepada istri yang telah dicerai sebelum habis masa iddahnya.  Ruju’ hanya boleh dilakukan dalam masa iddah talaq raj’i (talak satu atau dua), dan tidak diperlukan akhad nikah baru karena akad lama sebenarnya belum seutuhnya terputus. Perhatikan firman Allah swt. berikut:
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
Artinya : “.... dan suami-suami mereka berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa iddah), jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah ..”. QS. Al Baqarah : 228.
b.    Hukum Ruju’
Pada dasarnya hukum ruju’ adalah boleh (jaiz) kemudian berkembang seperti tersebut di bawah ini :
1.    Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang  beristri  lebih dari satu dan apabila talak itu dijatuhkan sebelum gilirannya disem­purnakan.
2.    Sunnah, yaitu apabila ruju’ itu lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
3.    Makruh, yaitu  apabila  dimungkinkan dengan meneruskan  percer­aian  lebih bermanfaat dibanding mereka ruju’ kembali.
4.   Haram, yaitu apabila dengan adanya ruju’ si istri semakin menderita.
c.    Rukun Ruju’
1.    Istri, keadaannya  disyaratkan : ba’da dukhul, tertentu istri yang akan dirujukinya, ditalak dengan talak raj’i dan masih dalam masa iddah.
2.    Suami, disyaratkan karena kemauannya sendiri bukan karena dipaksa, Islam dan sehat akal.
3.    Sighat atau lafadl atau ucapan ruju’ yaitu ada dua cara :
a).   Secara terang-terangan, misalnya : “Saya rujuk kepadamu”.
b). Secara sindiran, seperti kata suami : “Aku ingin tidur lagi denganmu”. Sighat ini disyaratkan dengan kalimat tunai, dalam arti tidak digantungkan dengan sesuatu, misalnya saya ruju’ kepadamu jika bapakmu mau. Ruju’ dengan kalimat seperti di atas hukumnya tidak sah.
d.    Beberapa ketentuan rujuk
1.    Rujuk hanya boleh dilakukan apabila akan membawa kemaslahatan bagi istri dan anak-
2.    Rujuk hanya dapat dilakukan jika perceraian baru terjadi satu atau dua kali.
3.    Rujuk hanya dapat dilakukan sebelum masa iddahnya habis
H.  ILA’, LI’AN, DLIHAR DAN KHULU’
a.    Ila’
Ila’ adalah sumpah  seorang suami  dengan menyebut nama Allah swt. bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya lebih dari empat bulan, atau tanpa menyebutkan lamanya.
Apabila seorang suami mengila’ istrinya, maka bagi seorang suami ada dua pilihan :
1.    Suami supaya kembali (mencampuri) kepada istrinya sebelum lewat masa empat bulan dan wajib membayar kifarat (denda) sumpah.
2.    Apabila masa 4 bulan itu sudah terlewati, maka bagi suami wajib memilih antara kembali baik dengan istrinya dengan membayar kifarat sumpahnya, atau menceraikan istrinya. Dan jika suami tidak mau memilih salah satunya, maka hakim berhak menceraikan istrinya dengan paksa, dan perceraian akibat ila’ ini termasuk talak bain sughro (baik berdasar kemauan suami ataupun karena putusan hakim).Sebagian ulama’ berpendapat bahwa bila sampai 4 bulan suami tidak mau kembali (campur) maka dengan sendirinya bagi istri jatuh talak bain.
Perhatikan surat Al Baqarah ayat 226-227
b.    Li’an
Li’an adalah sumpah seorang suami  yang menuduh istrinya berzina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir, sedangkan istri menolak tuduhan terse­but.
1.     Contoh sumpah suami adalah :
Saya bersumpah dengan nama Allah, Wallahi bahwa sesungguhnya saya benar dengan tuduhan saya bahwa istri saya yang bernama . . . (sambil ditunjuk) telah berbuat “zina” dan bahwa anak yang sedang/ telah dikandung/ dilahirkannya bukan anak saya. Ucapan sumpah tersebut harus diulangi sampai 4 kali, kemudian dilanjutkan dengan perkataan kelima yaitu : Atas saya laknat Allah swt, apabila saya berdusta dalam tuduhan ini.
Apabila seorang suami telah mengucapkan kalimat li’an tersebut,maka berlakulah beberapa hukum di bawah ini :
a)       Suami bebas dari had hukuman menuduh zina (dicambuk 80 kali)
b)       Istri wajib dihukum dengan had zina yaitu dirajam)
c)       Suami istri bercerai selama-lamanya.
d)       Bila ada anak, anak itu bernasab hanya pada ibunya dan tidak ada hubungan nasab dengan ayahnya (ayah yang meli’an ibunya).
Seorang istri yang terli’an dapat menolak tuduhan suaminya se­hingga ia terbebas dari hukuman had zina, penolakan tersebut berupa sumpah empat kali.
2.     Contoh sumpah penolakan istri adalah :
Saya bersumpah dengan nama Allah, Wallahi bahwa suamiku . . . yang menuduhkan berzina adalah dusta semata (diulang sampai 4 kali).
Kemudian dengan ucapan yang kelima : bahwa atasku la’nat Allah swt. jika suamiku berkata benar.
Dengan adanya sumpah penolakan istri ini maka konsekwensi hukumnya adalah :
a)     Gugur atas istri hukuman had zina
b)     Apabila ada anak, maka anak tersebut sah bernasab pada ayahnya.
Untuk pelaksanaan di Indonesia, dalam Kompilasi hukum Islam di Indonesia pasal 128 disebutkan bahwa : Li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang pengadilan Agama.
Dasar-dasar tentang li’an ini diantaranya disebutkan dalam surat An Nur ayat 6 - 9.
c.    Dlihar
Dlihar, adalah perkataan  seorang suami yang menyerupakan is­trinya dengan punggung ibunya, seperti kata suami “Engkau bagiku nampak seperti punggung ibuku”
Dalam adat jahiliyah, mendlihar sama halnya dengan mentalak istri, cara ini dapat juga terjadi di zaman Islam, seperti yang menimpa pada Khaulah binti Tsa’labah yang didlihar suaminya Aus bin Tsamit. Kebiasaan ini kemudian diharamkan dalam syari’at Islam seperti yang disebutkan dalam surat Al Mujadilah ayat 1 - 4.
Bagi seorang suami yang terlanjur melakukannya dan kemudian tidak mentalak istrinya, maka wajib membayar kifarat dan haram mencampuri istrinya sebelum mengeluarkan kifaratnya.
d.    Khulu’
Khulu’ artinya talak tebus, yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan adanya pembayaran iwad (tebusan) dari istri kepada suami.
Perceraian semacam ini dibolehkkan apabila terdapat sebab atau illat yang dibenarkan oleh syari’at Islam, seperti yang tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 229 dan atau pasal 116, 133, 134 dan 135.Perceraian cara khulu’ ini termasuk talak ba’in sughro.
e.    Fasakh
Fasakh yaitu rusaknya hubungan pernikahan antara suami istri karena :
1.    Sebab yang merusak aqad nikah, misalnya :
a)       Setelah diadakan pernikahan secara sah kemudian diketahui bahwa istri tersebut merupakan muhrim dari suaminya.
b)       Salah seorang dari suami istri tersebut murtad (keluar dari ajaran Islam).
c)       Pasangan yang semula sama-sama musyrik, kemudian salah satu atau keduanya masuk Islam.
2.    Terdapat sebab-sebab yang menghalangi tujuan pernikahan, seperti :
a)       Adanya penipuan dalam pernikahan tersebut, semula suami menga­ku orang baik-baik kemudian diketahui ternyata seorang penjahat.
b)       Suami atau istri mengidap penyakit/ cacat yang dapat mengganggu hubungan suami dan istri.
c)       Suami dihukum/ dipenjara selama lima tahun atau lebih.
d)       Suami dinyatakan hilang.


No comments:

Post a Comment