MUNAKAHAH
PERNIKAHAN
DALAM ISLAM
E. TALAK (Perceraian)
a. Pengertian Talak
Pengertian Talak menurut bahasa Arab adalah
melepaskan ikatan, sedangkan yang dimaksud di sini adalah melepaskan atau
memutuskan ikatan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak atau perkataan lain yang senada dengan
maksud talak.
Bila problem keluarga tidak dapat diatasi, maka
akan menjadi sumber konflik yang kemudian bisa meningkat pada percekcokan yang
berkepanjangan. Bila percekcokan ini tidak dapat diatasi walaupun telah
diusahakan dengan berbagai cara untuk Islah, dan dalam kehidupan rumah tangga
tidak memungkinkan lagi terwujud ketenangan dan ketentraman, maka dalam
kondisi seperti ini talak dapat dilaksanakan dengan cara yang baik. Atau juga apabila suami
istri tidak dapat memenuhi kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan
agama. Jadi talak hanya dapat dilaksanakan jika keadaan sudah sangat memaksa
dan usaha lain sudah tidak dapat diharapkan dapat menyelesaikannya.
b. Hukum Talak.
Dalam Agama Islam, hukum asal talak adalah
makruh, yaitu boleh tapi tidak disukai oleh Allah swt, hal ini berdasar hadis
Nabi saw :
ابـغضُ
لحـلال عـنـد الله هـو لطلاق رواه ابو داود وابن ماجه
Artinya : “Perbuatan
halal yang sangat dimurkai oleh Allah adalah talak”. HR.Abu Daud dan Ibnu Majah.
Bila memperhatikan situasi dan kondisinya
serta kemaslahatan dan kemudlaratan talak, maka hukum asal tersebut dapat
menjadi :
1. Wajib, yaitu bila perselisihan sudah
memuncak dan hakim memandang perlu untuk
talak.
2. Sunnat, bila suami sudah tidak dapat lagi
memenuhi kewajibannya dengan layak, atau bila istri tidak dapat menjaga
kehormatan diri dan keluarganya.
3. Haram, yaitu menjatuhkan talak ketika istri
dalam keadaan haidh, atau ketika istri suci setelah adanya hubungan suami
istri.
c. Lafadl dan Bilangan Talak.
Kalimat atau lafadl talak bisa berupa ungkapan
lisan (ucapan) atau secara tertulis dengan menggunakan kata-kata yang sharih
(terang) atau kinayah (sindiran).
1. Sharih (terang), yaitu kalimat yang jelas tujuannya, seperti : “saya
talak engkau” atau “saya ceraikan engkau.” Dengan ungkapan yang jelas ini maka
jatuhlah talak tersebut, baik disertai dengan niat ataupun tidak.
2. Kinayah (sindiran), yaitu kata-kata yang
tidak jelas maksudnya atau meragukan, seperti kata suami : “Pergilah engkau
dari sini atau pulanglah engkau ke rumah orang tuamu” Perkataan suami di atas
bila dengan niat mentalak maka jatuhlah talaknya, akan tetapi bila tidak
disertai dengan niat mentalak maka tidaklah jatuh talak.
Terhadap seorang istri, suami berhak
menjatuhkan talak maksimal 3 kali, dengan klasifikasi berikut :
1. Talak Raj’i, yaitu talak yang pertama dan
kedua. Setelah terjadinya talak raj’i ini suami berhak untuk rujuk (kembali)
kepada istrinya selagi masih dalam masa iddah atau kawin kembali setelah masa
iddahnya habis.
2. Talak Bain,dibedakan menjadi talak Bain
Sughro atau Kubro.
Talak Bain Sughro (asghar) adalah talak yang
menyebabkan hilangnya hak suami untuk rujuk ketika istri masih dalam iddah,
akan tetapi boleh mengadakan akad nikah baru meskipun dalam massa iddah. Talak
jenis ini adalah : Talak yang terjadi Qabla al dukhul, talak dengan tebusan
atau khulu’ serta talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
Talak Bain Kubro (akbar) yaitu talak yang
terjadi untuk ketiga kalinya, yang menyebabkan hilangnya hak suami untuk rujuk
kembali ketika (bekas) istri masih dalam masa iddah atau tidak boleh mengadakan
akad nikah baru kecuali (bekas) bila istri sudah dinikahi oleh laki-laki lain
dan telah talak Ba’da ad dukhul serta telah habis masa iddahnya.
F. IDDAH
a. Pengertian Iddah
Iddah berarti ketentuan, yaitu ketentuan masa
menunggu yang diwajibkan atas perempuan yang dicerai suaminya, baik cerai biasa
maupun cerai mati. Selama masa iddah bekas istri tidak boleh kawin dengan
laki-laki lain, sebab ia masih menjadi hak bekas suaminya, disamping itu untuk
memastikan apakah selama iddah itu ia hamil atau tidak. Dan bila ternyata ia
hamil maka anak yang dikandungnya itu sah sebagai anak dari suami yang
menceraikannya.
b. Manfaat adanya masa iddah
1. Untuk mengetahui dengan pasti berisi atau
tidaknya kandungan perempuan tersebut.
2. Untuk memberi kesempatann berfikir kepada
bekas suami istri itu, apakah keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila
keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk
maka hal itu merupakan jalan yang sangat baik.
c. Ketentuan-ketentuan Masa Iddah
1. Bagi istri yang dicerai qabla ad dukhul
(belum dikumpuli oleh suami), maka baginya tidak ada masa iddah dan suami
disunatkan memberikan mut’ah (pemberian yang dapat menyenangkan hati bekas
istri). Dan bekas istri boleh langsung kawin dengan laki-laki lain begitu
selesai dicerai oleh suaminya.
2. Bagi istri yang ditinggal mati oleh
suaminya, maka masa iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Sedangkan bila ditinggal
oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka menurut jumhur ulama masa iddahnya
sampai melahirkan anaknya.
3. Bagi istri yang dicerai oleh suaminya dalam
keadaan hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan anaknya
4. Bagi istri yang dicerai, sedang ia masih
dalam keadaan normal haidnya, maka iddahnya tiga kali quru’ (tiga kali suci
5. Bagi istri yang diicerai dalam keadaan tidak
haid lagi, baik karena menopause (usia lanjut) atau karena masih kecil atau
sudah dewasa tapi tidak pernah haid, maka iddahnya adalah tiga bulan
d. Hak-hak istri selama dalam masa iddah.
1. Perempuan yang dalam masa iddah Raj’i atau yang ditalak dalam keadaan hamil (baik
talak Rij’i maupun ba’in) maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian,
dan belanja dari mantan suaminya. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an :
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوا
عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ
حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri yang sudah ditalak)
itu wanita-wanita yang sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
sampai mereka melahirklan anaknya. QS. At Thalaq : 6.
Dalam sebuah hadits, Nabi saw. bersabda :
انـما
النــفقةُ والسـُّكنى للمـرأة اذا كان لـزوجها علـيها الرَّجْـعَـة رواه
احمد
Artinya : “Bahwa
perempuan yang berhak mengambil nafkah dan tempat tinggal adalah apabila
suaminya itu berhak rujuk kepadanya”. HR. Ahmad dan Nasa’i.
2. Wanita yang dicerai dengan talak ba’in
sughro atau kubro, atau juga karena talak tebus (khulu’), maka baginya hanya
mempunyai hak tempat tinggal saja dan tidak yang lainnya.
3. Istri
yang dalam masa iddah wafat, ia hanya
mendapat hak waris, walaupun sedang
hamil.
G. RUJUK
a. Pengertian Ruju’
Ruju’ artinya kembali, yaitu bersatunya kembali
seorang suami kepada istri yang telah dicerai sebelum habis masa iddahnya. Ruju’ hanya boleh dilakukan dalam masa iddah
talaq raj’i (talak satu atau dua), dan tidak diperlukan akhad nikah baru karena
akad lama sebenarnya belum seutuhnya terputus. Perhatikan firman Allah swt.
berikut:
وَبُعُولَتُهُنَّ
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
Artinya : “.... dan suami-suami mereka berhak
merujukinya dalam masa menanti itu (masa iddah), jika mereka (para suami) itu
menghendaki ishlah ..”. QS. Al Baqarah : 228.
b. Hukum Ruju’
Pada dasarnya hukum ruju’ adalah boleh (jaiz)
kemudian berkembang seperti tersebut di bawah ini :
1. Wajib, yaitu khusus bagi laki-laki yang beristri
lebih dari satu dan apabila talak itu dijatuhkan sebelum gilirannya
disempurnakan.
2. Sunnah,
yaitu apabila ruju’ itu lebih bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
3. Makruh, yaitu
apabila dimungkinkan dengan
meneruskan perceraian lebih bermanfaat dibanding mereka ruju’
kembali.
4. Haram, yaitu apabila dengan adanya ruju’ si
istri semakin menderita.
c. Rukun Ruju’
1. Istri, keadaannya disyaratkan : ba’da dukhul, tertentu istri
yang akan dirujukinya, ditalak dengan talak raj’i dan masih dalam masa iddah.
2. Suami,
disyaratkan karena kemauannya sendiri bukan karena dipaksa, Islam dan sehat
akal.
3. Sighat
atau lafadl atau ucapan ruju’ yaitu ada dua cara :
a). Secara terang-terangan, misalnya : “Saya
rujuk kepadamu”.
b).
Secara sindiran, seperti kata suami : “Aku ingin tidur lagi denganmu”. Sighat
ini disyaratkan dengan kalimat tunai, dalam arti tidak digantungkan dengan
sesuatu, misalnya saya ruju’ kepadamu jika bapakmu mau. Ruju’ dengan kalimat
seperti di atas hukumnya tidak sah.
d. Beberapa ketentuan rujuk
1. Rujuk
hanya boleh dilakukan apabila akan membawa kemaslahatan bagi istri dan anak-
2. Rujuk
hanya dapat dilakukan jika perceraian baru terjadi satu atau dua kali.
3. Rujuk
hanya dapat dilakukan sebelum masa iddahnya habis
H. ILA’, LI’AN, DLIHAR DAN KHULU’
a. Ila’
Ila’ adalah sumpah seorang suami
dengan menyebut nama Allah swt. bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya
lebih dari empat bulan, atau tanpa menyebutkan lamanya.
Apabila seorang suami mengila’ istrinya, maka
bagi seorang suami ada dua pilihan :
1. Suami supaya kembali (mencampuri) kepada
istrinya sebelum lewat masa empat bulan dan wajib membayar kifarat (denda)
sumpah.
2. Apabila masa 4 bulan itu sudah terlewati,
maka bagi suami wajib memilih antara kembali baik dengan istrinya dengan
membayar kifarat sumpahnya, atau menceraikan istrinya. Dan jika suami tidak mau
memilih salah satunya, maka hakim berhak menceraikan istrinya dengan paksa, dan
perceraian akibat ila’ ini termasuk talak bain sughro (baik berdasar kemauan
suami ataupun karena putusan hakim).Sebagian ulama’ berpendapat bahwa bila
sampai 4 bulan suami tidak mau kembali (campur) maka dengan sendirinya bagi
istri jatuh talak bain.
Perhatikan surat Al Baqarah ayat 226-227
b. Li’an
Li’an adalah sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berzina dan atau
mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir, sedangkan istri menolak
tuduhan tersebut.
1. Contoh sumpah suami adalah :
Saya bersumpah dengan nama Allah, Wallahi bahwa
sesungguhnya saya benar dengan tuduhan saya bahwa istri saya yang bernama . . .
(sambil ditunjuk) telah berbuat “zina” dan bahwa anak yang sedang/ telah
dikandung/ dilahirkannya bukan anak saya. Ucapan sumpah tersebut harus diulangi
sampai 4 kali, kemudian dilanjutkan dengan perkataan kelima yaitu : Atas saya
laknat Allah swt, apabila saya berdusta dalam tuduhan ini.
Apabila seorang suami telah mengucapkan kalimat
li’an tersebut,maka berlakulah beberapa hukum di bawah ini :
a)
Suami
bebas dari had hukuman menuduh zina (dicambuk 80 kali)
b)
Istri
wajib dihukum dengan had zina yaitu
dirajam)
c)
Suami
istri bercerai selama-lamanya.
d)
Bila ada
anak, anak itu bernasab hanya pada ibunya dan tidak ada hubungan nasab dengan
ayahnya (ayah yang meli’an ibunya).
Seorang istri yang terli’an dapat menolak
tuduhan suaminya sehingga ia terbebas dari hukuman had zina, penolakan
tersebut berupa sumpah empat kali.
2. Contoh sumpah penolakan istri adalah :
Saya bersumpah dengan nama Allah, Wallahi bahwa
suamiku . . . yang menuduhkan berzina adalah dusta semata (diulang sampai 4
kali).
Kemudian dengan ucapan yang kelima : bahwa
atasku la’nat Allah swt. jika suamiku berkata benar.
Dengan adanya sumpah penolakan istri ini maka
konsekwensi hukumnya adalah :
a)
Gugur
atas istri hukuman had zina
b)
Apabila
ada anak, maka anak tersebut sah bernasab pada ayahnya.
Untuk pelaksanaan di Indonesia, dalam Kompilasi
hukum Islam di Indonesia pasal 128 disebutkan bahwa : Li’an hanya sah apabila
dilakukan di hadapan sidang pengadilan Agama.
Dasar-dasar tentang li’an ini diantaranya
disebutkan dalam surat An Nur ayat 6 - 9.
c. Dlihar
Dlihar, adalah perkataan seorang suami yang menyerupakan istrinya
dengan punggung ibunya, seperti kata suami “Engkau bagiku nampak seperti
punggung ibuku”
Dalam adat jahiliyah, mendlihar sama halnya
dengan mentalak istri, cara ini dapat juga terjadi di zaman Islam, seperti yang
menimpa pada Khaulah binti Tsa’labah yang didlihar suaminya Aus bin Tsamit.
Kebiasaan ini kemudian diharamkan dalam syari’at Islam seperti yang disebutkan
dalam surat Al Mujadilah ayat 1 - 4.
Bagi seorang suami yang terlanjur melakukannya
dan kemudian tidak mentalak istrinya, maka wajib membayar kifarat dan haram
mencampuri istrinya sebelum mengeluarkan kifaratnya.
d. Khulu’
Khulu’ artinya talak tebus, yaitu talak yang
diucapkan oleh suami dengan adanya pembayaran iwad (tebusan) dari istri kepada
suami.
Perceraian semacam ini dibolehkkan apabila
terdapat sebab atau illat yang dibenarkan oleh syari’at Islam, seperti yang
tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 229 dan atau pasal 116, 133, 134 dan
135.Perceraian cara khulu’ ini termasuk talak ba’in sughro.
e. Fasakh
Fasakh yaitu rusaknya hubungan pernikahan
antara suami istri karena :
1. Sebab yang merusak aqad nikah, misalnya :
a)
Setelah
diadakan pernikahan secara sah kemudian diketahui bahwa istri tersebut
merupakan muhrim dari suaminya.
b)
Salah
seorang dari suami istri tersebut murtad (keluar dari ajaran Islam).
c)
Pasangan
yang semula sama-sama musyrik, kemudian salah satu atau keduanya masuk Islam.
2. Terdapat
sebab-sebab yang menghalangi tujuan pernikahan, seperti :
a)
Adanya
penipuan dalam pernikahan tersebut, semula suami mengaku orang baik-baik
kemudian diketahui ternyata seorang penjahat.
b)
Suami
atau istri mengidap penyakit/ cacat yang dapat mengganggu hubungan suami dan
istri.
c)
Suami
dihukum/ dipenjara selama lima tahun atau lebih.
d)
Suami
dinyatakan hilang.
No comments:
Post a Comment