PELENGKAP
Melihat
kekuasaan dan keagungan Allah SWT tidak ada perkara yang sulit. Di alam raya
ini tak terhitung banyaknya tanda-tanda yang menunjukkan hal itu. Semuanya
dapat kita saksikan dengan mata kita dan kita indra dengan anggota-anggota
tubuh yang lain. Bahkan, pada diri kita sendiri pun luar biasa banyaknya tanda
kekuasaan Allah jika kita mau memikirkannya. Ayat-ayat berikut ini, yakni ayat
190 dan 191 surah Ali ‘Imran, mengingatkan kita ihwal tanda-tanda kekuasaan
Allah di alam ini dan perihal mereka yang memikirkannya. Marilah kita
perhatikan dengan seksama kedua ayat itu dan kita simak pula penafsirannya
sebagaimana dihimpunkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan ihwal penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan Kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Allah SWT berfirman yang artinya “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi”, yakni dalam hal ketinggian dan keluasan langit,
kerendahan dan ketebalan bumi, serta tanda-tanda kekuasaan yang besar yang
terdapat pada keduanya, baik bintang-bintang yang bergerak maupun yang diam,
lautan, hutan, pepohonan, barang tambang, serta manfaat berbagai jenis
makanan, warna, dan bau-bauan yang khusus. “Serta pergantian malam dan siang”,
artinya susul-menyusul dan saling menggantikan dalam panjang dan pendek (dalam
waktunya), terkadang yang ini panjang dan yang lainnya pendek, kemudian
menjadi sama, dan setelah itu yang tadinya panjang menjadi pendek dan yang
tadinya pendek menjadi panjang. Semua itu merupakan ketetapan dari Allah.
Oleh karena itu, Allah SWT kemudian berfirman yang
artinya “Benar-benar terdapat tanda kekuasaan bagi orang-orang yang berakal”,
yakni yang akalnya sempurna dan bersih yang dapat memahami hakikat berbagai
perkara, bukan seperti orang-orang yang tuli dan bisu, yang tidak dapat
memahami, yaitu orang-orang yang dijelaskan Allah dalam ayat lain yang artinya
“Dan banyak sekali tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka
melaluinya sedang mereka berpaling daripadanya.” (QS Yusuf: 106).
Kemudian Allah SWT menggambarkan Ulul Albab dengan
berfirman, yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” Dalam Shahih Al-Bukhari dan
Shahih Muslim terdapat hadits dari Imran bin Hushain bahwa Nabi SAW bersabda,
“Dirikanlah shalat sambil berdiri; jika tidak mampu, sambil duduk; jika tidak
mampu juga, sambil berbaring.” Artinya, mereka tidak henti-hentinya mengingat
Allah dalam segala keadaan, baik dengan hati maupun lisannya. ”Dan mereka
memikirkan ihwal penciptaan langit dan bumi.” Yakni, mereka memahami
ketetapan-ketetapan yang ada pada keduanya, yang menunjukkan keagungan,
kekuasaan, ilmu, hikmah, pilihan, dan rahmat Sang Khaliq.
Banyak sekali perkataan para tokoh ulama mengenai
keutamaan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan nikmat-nikmat-Nya. Imam
Ad-Darani mengatakan, “Sesungguhnya, jika aku keluar rumah, tidaklah
pandangan mataku jatuh pada sesuatu melainkan aku lihat pada sesuatu itu nikmat
Allah atas diriku dan pelajaran bagiku pada sesuatu itu.”
Diriwayatkan bahwa Al-Hasan Al-Bashri mengatakan,
“Berpikir (yakni tentang tanda-tanda kekuasaan Allah) satu saat lebih baik
daripada beribadah satu malam.” Ia juga mengatakan, “Pemikiran itu merupakan
cermin yang dapat menunjukkan kepada dirimu ihwal kebaikan-kebaikanmu dan
keburukan-keburukanmu.” Sedangkan Bisyr Al-Hafi mengatakan, “Seandainya
manusia berpikir tentang keagungan Allah, niscaya mereka tak akan bermaksiat
kepadanya.”
Diriwayatkan pula bahwa Nabi Isa AS pernah mengatakan,
“Wahai anak Adam yang bersifat lemah, bertaqwalah kepada Allah di mana pun kamu
berada, tetaplah merasa lemah selama di dunia, ambillah masjid sebagai rumah (sering-seringlah
berada di masjid), ajarkan kedua matamu untuk menangis, ajarkan tubuhmu untuk
bersabar, dan ajarkan hatimu untuk berpikir, dan janganlah engkau memikirkan
(merisaukan) rizqi esok hari.”
Allah SWT mencela orang yang tidak mau mengambil pelajaran
pada makhluk-makhluk-Nya, yang menunjukkan Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya,
ketetapan-Nya, kekuasaan-Nya, dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Allah berfirman
yang artinya, “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di
bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya. Dan sebagian
besar mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS Yusuf: 105-106).
Dan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mukmin yang dikatakan-Nya, “(Yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan ihwal penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata), ‘Ya Tuhan Kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia’.”
Yakni, tidaklah Engkau menciptakan makhluk ini dengan main-main, melainkan dengan
haq untuk kemudian Engkau membalas orang-orang yang beramal buruk sesuai
dengan apa-apa yang telah mereka lakukan serta membalas orang-orang yang
berbuat baik dengan balasan kebaikan.
Kemudian mereka menyucikan Allah dari sifat main-main
dengan mengatakan yang artinya, “Mahasuci Engkau.” Yakni dari menciptakan
sesuatu dengan bathil. ”Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Yakni, wahai
Dzat Yang telah Menciptakan segala ciptaan-Nya dengan haq dan adil, wahai
Dzat Yang Mahasuci dari segala kekurangan, aib, dan main-main, peliharalah
kami dari siksa neraka.
Allah Swt pada ayat 190 surah Ali Imran mengajak
manusia untuk berpikir dan merenungi tentang penciptaan langit-langit dan bumi.
Kemudian pada ayat berikutnya Allah Swt menjelaskan hasil dan buah dari
berpikir ini.
Ayat ini menjelaskan tentang keesaan Tuhan Sang
Pencipta dan menyatakan bahwa apabila manusia memikirkan dengan cermat dan
menggunakan akalnya terkait dengan proses penciptaan langit-langit dan bumi,
silih bergantinya siang dan malam, maka ia akan menemukan tanda-tanda jelas
atas kekuasaan Allah Swt; maha karya dan rahasia-rahasia yang menakjubkan yang
akan menuntun para hamba kepada Allah Swt dan hari Kiamat serta menggiring
mereka pada kekuasaan Ilahi yang tak terbatas.
Abstrak dan ringkasan makna dua ayat ini adalah
demikian; mereka yang menyaksikan, didasari dengan pemikiran dan perenungan,
penciptaan langit-langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, pemikiran
dan perenungan ini menyebabkan mereka senantiasa akan mengingat Tuhan. Dengan
perantara ini mereka akan menyadari bahwa Allah Swt segera akan membangkitkan
mereka dan atas dasar itu ia memohon rahmat-Nya serta meminta supaya janji yang
diberikan kepada mereka dapat terealisir baginya.
Jawaban Detil
Salah satu jalan terbaik untuk mengenal Tuhan adalah
jalan yang dijadikan Allah Swt sebagai agumen atas diri-Nya sendiri dan jalan
itu adalah memberdayakan akal untuk mengenal Sang Pencipta; artinya apabila
manusia memanfaatkan dan memberdayakan akalnya dan memikirkan tentang
penciptaan semesta, pelbagai keajaiban penciptaan dan keteraturan yang
mendominasi penciptaan maka ia akan terbimbing memahami keesaan Sang Pencipta
alam semesta ini dan mengakui tentang kebijaksanaan dan keagungan ciptaan-Nya.
Berpikir adalah salah satu tipologi terpenting
manusia. Berpikir merupakan salah satu nikmat di antara nikmat-nikmat Ilahi
yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan berulang kali al-Quran menyeru
manusia untuk menggunakan akal dan pikirannya.
Ayat ini merupakan seruan kepada manusia untuk
berpikir tentang proses penciptaan semesta.[1]
Ayat ini disertai dengan ayat-ayat serupa,[2]
menetapkan tentang keesaan Sang Pencipta. Karena apabila seseorang mencermati
dan memikirkan tentang proses penciptaan langit-langit dan bumi, maka ia akan
menemukan tanda-tanda terang atas kekuasaan Allah Swt; maha karya dan
rahasia-rahasia yang menakjubkan yang akan menuntut para hamba kepada Allah Swt
dan hari Kimaat serta menggiring mereka pada kekuasaan Ilahi yang tak terbatas.
Manusia apabila memikirkan tentang proses penciptaan
langit dan bumi, akan menemukan bahwa seluruh ini tadinya tiada kini mengada
(baca: hadits) dan memerlukan pencipta dan Khaliq. Pencipta mereka
adalah Tuhan; karena pada sistem penciptaan yang menakjubkan, terdapat
rahasia-rahasia dan ilmu yang tidak dapat dilakukan selain seorang yang
Mahabijaksana. Karena itu, pencipta semesta ini tentulah seorang Pencipta Yang
Mahabijak, Mahamengetahui dan tersifati dengan sifat-sifat sempurna dan agung.
Salah satu ayat dan tanda penciptaan-Nya yang
dirasakan oleh setiap manusia adalah silih bergantinya siang dan malam yang
berputar berdasarkan sistem yang akurat dan cermat serta memiliki pengaruh,
keberkahan dan pengaruh yang dapat dirasaan oleh tumbuh-tumbuhan, hewan dan
manusia. Ayat-ayat ini dan ayat-ayat yang serupa berbicara tentang hal ini.
Tatkala orang-orang musyrik Mekkah datang kepada
Rasulullah Saw dan meminta mukjizat untuk menetapkan keberadaan Tuhan dan
kenabian Muhammad. Salah satu usulan mereka yang disampaikan kepada Rasululah
Saw, “Ubahlah gunung Shafa menjadi emas.” Allah Swt menjawab permintaan mereka,
“Penciptaan langit-langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, sangat
penting untuk dapat menetapkan Sang Pencipta bagi orang-orang yang berakal;
artinya apabila manusia menggunakan akal dan memberdayakan pikirannya maka hal
itu akan membimbingnya kepada Sang Pencipta.
Apakah mungkin langit-langit dan bumi, segala ciptaan
yang menakjubkan yang ada di dalamnya, dapat mengada tanpa ada yang
mengadakannya? Apakah mungkin dapat diterima siang dan malam yang datang silih
berganti secara teratur pada setiap bulan dan tahun bahkan sedetik pun tidak
pernah menyelisih siklus perputarannya dapat sedemikian teratur tanpa pencipta
yang berkuasa? Apakah penciptaan makhluk-makhluk seperti ini lebih penting atau
gunung Shafa yang ingin dirubah menjadi emas?
Apa yang dapat dijadikan sebagai penafsiran ayat mulia
ini secara global dapat dikatakan bahwa ayat ini menunjukkan tentang masalah
tauhid dan menyatakan, “Langit-langit ini yang berada di atas kita dan menaungi
kita, dengan segala kecermatan dalam penciptaannya dan bumi yang memeluk kita
dan alas yang kita jejaki di atasnya, dengan segala keajaibannya, dengan segala
keanehan dalam perubahan-perubahannya, misalnya silih bergantinya siang dan
malam, segala sesuatunya memerlukan Sang Pencipta yang mengadakan dan
menciptakannya. Hal ini merupakan salah satu argumen (burhân) yang dapat
disuguhkan pada ayat ini terkait dengan masalah tauhid.
Argumen lainnya adalah sistem dan mekanisme yang
berlaku di alam semeta; hasil dari argumen ini perut bumi dari sisi berat,
kecil dan besarnya, jauh dan dekatnya masing-masing berbeda. Apabila manusia
mencermatinya, maka ia akan menyimpulkan bahwa sedemikian menakjubkan dan
indahnya sistem yang berlaku di alam semesta, alam dengan segala keluasaanya
dari sisi mana pun memberikan pengaruh pada sisi lainnya, setiap
bagian-bagiannya yang dapat mengada di setiap tempat, terpengaruh pada
bagian-bagian lainnya, gravitasi umumnya yang satu sama lain saling bertautan,
demikian juga cahaya dan panasnya, dengan pengaruhnya yang menggerakan gerak
dan zaman.
Sistem umum dan general ini berada di bawah satu
aturan yang permanen dan bahkan hukum relativitas pun memandang gerak umum di
alam semesta ini senantiasa berubah. Hukum relativitas mau-tak mau mengakui
bahwa ia juga didominasi oleh hukum lain, yaitu aturan yang permanen yaitu
adanya perubahan dan pergantian.
Ringkasan makna dua ayat ini: mereka yang
memandang langit-langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam dengan
pikiran dan perenungan maka perenungan ini akan melahirkan dzikir kepada Allah
Swt sehingga dalam perbagai kondisi, berdiri, duduk, diam, menyaksikan dengan
seksama seluruh makhluk yang ada di alam semesta yang akan membimbing mereka
dari makhluk yang paling kecil pada keberadaan sosok Perencana dan Pelukis alam
semesta.
Peta yang menarik yang nampak pada setiap sudut dan
sisi penciptaan semesta, sedemikian menyedot perhatian orang-orang berakal
sehingga pikiran-pikirannya dalam setiap kondisi, baik berdiri, duduk, diam dan
seterusnya mengingat Tuhan Sang Pencipta.
Pada setiap fenomena yang disaksikan, ia belajar
sebuah pelajaran tauhid yang baru dan dari sketsa indah alam semesta ia
memahami pencipta-Nya yang sama sekali tidak menciptakan semesta yang
menakjubkan ini dengan sia-sia dan tanpa tujuan.
Orang-orang berakal, hasil dari pikiran dan renungan
seperti ini ia tidak akan melupakan Tuhan dalam setiap kondisi dan dengan
perantara itu ia akan mengetahui bahwa Allah Swt akan segera memebangkitkan
mereka dan atas dasar itu memohon rahmat Ilah dan memohon supaya janji Ilahi
dapat segera terrealisir baginya.[3]
[iQuest]
Untuk telaah lebih jauh dalam hal ini silahkan lihat,
Tafsir al-Mizan, terkait dengan ayat 164 surah al-Baqarah.
[1]. “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.’”
Nampaknya yang dimaksud sebagai “kha-lq” di
sini adalah kualitas wujud, pengaruh, gerak dan diam, berubahnya langit dan bumi,
bukan pengadaannya. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi
Tafsir al-Qur’ân, jil. 4, hal. 87, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1417 H.
[2].
Seperti ayat 164 surah al-Baqarah, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan
membawa apa yang berguna bagi manusia, air yang Allah turunkan dari langit,
lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering-kerontang), dan Dia
tebarkan segala jenis hewan di atas bumi itu, dan pengisaran angin dan awan
yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan
dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
[3].
Silahkan lihat, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 4, hal. 87; Sayid
Abdul A’la, Mawâhib al-Rahman fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 7, hal. 17,
Muasassah Ahlulbait As, Beirut, Cetakan Kedua, 1409; Muhammad Jawad Najafi
Khomeini, Tafsir Âsân, jil. 3, hal. 106-107, Islamiyah, Tehran, 1398 H.
PENJELASAN QS ALI IMRON 159
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Ali 'Imran 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ
اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا
عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)
Meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran pelanggaran yang
dilakukan oleh sebagian kaum muslimin pada peperangan Uhud sehingga menyebabkan
kaum muslimin menderita kekalahan, tetapi beliau tetap bersikap lemah lembut
dan tidak marah terhadap yang melanggar itu, bahkan memaafkannya, dan
memohonkan untuk mereka ampunan di Allah SWT. Andaikata Nabi Muhammad saw
bersikap keras, berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan din dan beliau.
Di samping itu Nabi Muhammad saw selalu bermusyawarah dengan mereka dengan
segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum mukmin
bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum
muslimin selain Allah.
Di samping itu Nabi Muhammad saw selalu bermusyawarah
dengan mereka dengan segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena
itu kaum muslimin patuh melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah karena
keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka tetap
berjuang dan berjihad di jalan Allah dengan tekad yang bulat tanpa menghiraukan
bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakkal sepenuh kepada
Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum muslimin selain Allah.
Keberhasilan dakwah Rasulullah SAW tak lepas dari
akhlaq beliau yang sangat istimewa dan tak ada bandingnya. Betapa banyak orang
beriman kepada beliau setelah menyaksikan sendiri akhlaq beliau yang sungguh
mengagumkan.
Di antara akhlaq Nabi SAW adalah berlaku lembut dan
bertutur kata yang sangat baik yang menyenangkan setiap orang yang berhadapan
dengan beliau. Hal ini dinyatakan dalam firman Allah ayat 159 surah Ali ‘Imran
berikut ini. Kemudian dilanjutkan dengan ayat berikutnya yang mengingatkan
ihwal pertolongan Allah bahwa, kalau Allah memberikan pertolongan, tak ada
yang dapat mengalahkan, begitu pula sebaliknya. Marilah kita perhatikan
ayat-ayat tersebut dan penafsirannya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Katsir dalam tafsirnya.
Allah SWT berfirman:
TAFSIR IBNU KASIR
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal kepada-Nya.
Jika Allah menolong kalian, tak adalah orang yang
dapat mengalahkan kalian; jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi
pertolongan), siapakah gerangan yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah
sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin
bertawakal.
Allah Ta‘ala menujukan pembicaraan-Nya kepada
Rasulullah SAW, mengingatkan beliau dan kaum mukmin akan karunia Allah, yaitu
Allah telah melembutkan hati beliau dalam menghadapi umatnya yang mengikuti
perintahnya dan meninggalkan larangannya serta tutur kata beliau yang baik
kepada mereka. ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka.” Imam Hasan Al-Bashri berkata, “Ini merupakan akhlaq Nabi
Muhammad SAW yang diutus Allah dengan membawa akhlaq demikian.”
Ayat yang mulia ini seperti ayat yang artinya,
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS
At-Tawbah: 128).
Kemudian Allah Ta‘ala berfirman, ”Jika kamu bersikap
keras dan berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri darimu.” Maksudnya, jika
bahasamu buruk dan berkasar hati kepada mereka, niscaya mereka akan menjauhkan
diri dan meninggalkanmu. Namun, Allah menyatukan mereka kepadamu dan melembutkan
perilakumu untuk mengambil hati mereka.
Abdullah bin Umar berkata, “Sesungguhnya aku
mendapati sifat Rasulullah SAW dalam kitab-kitab terdahulu itu demikian,
‘Sesungguhnya tutur katanya tidak kasar, hatinya tidak keras, tidak suka
berteriak-teriak di pasar-pasar, dan tidak suka membalas kejahatan orang
dengan kejahatan lagi, melainkan memaafkan dan mengampuninya’.”
Karena itu, Allah Ta‘ala berfirman, ”Maka maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam suatu urusan.” Oleh karena itu, Rasulullah SAW suka bermusyawarah
dengan para sahabatnya mengenai suatu persoalan yang terjadi, guna menyenangkan
mereka supaya mereka lebih giat dalam melakukan tugasnya. Sebagaimana
Rasulullah bermusyawarah dengan mereka dalam Perang Badar ihwal keberangkatan
menghadang kafilah kaum musyrikin. Maka para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah,
jika engkau meminta kami mengarungi lautan, niscaya kami akan menempuhnya
bersamamu. Jika engkau berjalan menuju daratan di malam yang gelap, kami
pun akan mengikutimu. Kami tidak akan berkata kepada engkau sebagaimana Bani
Israil berkata kepada Nabi Musa, ‘Pergilah kamu dan Tuhanmu, lalu
berperanglah. Kami mau tinggal di sini saja.’ Melainkan kami akan mengatakan,
‘Pergilah dan kami akan berperang bersamamu, di depanmu, di kananmu, dan di
kirimu’.”
Nabi pun mengajak musyawarah para sahabat berkaitan
dengan Perang Uhud, yaitu tetap tinggal di Madinah atau pergi menghadapi musuh.
Kemudian mayoritas sahabat menyarankan untuk pergi menghadapi musuh, maka
beliau pun pergi bersama mereka. Rasululah juga bermusyawarah dalam Perang
Khandaq untuk berdamai dengan mendapatkan sepertiga dari buah-buahan Madinah
di tahun itu. Namun Sa‘ad bin Mu‘adz dan Sa‘ad bin Ubadah menolak. Maka
beliau pun meninggalkannya, tidak menyetujui.
Nabi SAW bermusyawarah dengan para sahabat dalam
berbagai perang dan semacamnya. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah dari
Nabi SAW, “Orang yang dimintai pendapat adalah orang yang dapat dipercaya.”
Allah kemudian berfirman, “Jika kamu telah bertekad
bulat, bertawakallah kepada Allah.” Artinya, jika kamu telah bermusyawarah
dengan mereka mengenai suatu persoalan dan kamu telah meyakininya,
bertawakallah kepada Allah mengenai persoalan itu. ”Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang bertawakal.”
“Jika Allah menolong kalian, tak ada orang yang dapat
mengalahkan kalian; jika Allah membiarkan kalian, siapakah yang dapat menolong
kalian (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja
orang-orang mukmin bertawakal.”
Ayat ini senada dengan ayat yang lalu, ”Pertolongan
itu tiada lain kecuali dari sisi Allah, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Kemudian Allah menyuruh mereka supaya bertawakal kepada Allah. Dia berfirman,
”Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.”
AY
No comments:
Post a Comment