Tuesday, 9 June 2015

KUR 2013.XII.1.1 AL QUR'AN 5, bagian 6

BERPIKIR KRITIS DAN BERSIKAP DEMOKRATIS

PELENGKAP
Melihat kekuasaan dan keagungan Allah SWT tidak ada perkara yang sulit. Di alam raya ini tak terhitung banyaknya tanda-tanda yang menunjukkan hal itu. Semuanya dapat kita saksikan dengan mata kita dan kita indra dengan anggota-anggota tubuh yang lain. Bahkan, pada diri kita sendiri pun luar biasa banyaknya tanda kekua­saan Allah jika kita mau memikirkannya. Ayat-ayat berikut ini, yakni ayat 190 dan 191 surah Ali ‘Imran, mengingatkan kita ihwal tanda-tanda kekuasaan Allah di alam ini dan perihal mereka yang memi­kirkannya. Marilah kita perhatikan dengan seksama kedua ayat itu dan kita simak pula penafsirannya sebagaimana dihim­punkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan ihwal penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan Kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Allah SWT berfirman yang artinya “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi”, yakni dalam hal ketinggian dan keluasan langit, kerendahan dan ke­tebalan bumi, serta tanda-tanda kekuasa­an yang besar yang terdapat pada ke­duanya, baik bintang-bintang yang ber­gerak maupun yang diam, lautan, hutan, pepohonan, barang tambang, serta man­faat berbagai jenis makanan, warna, dan bau-bauan yang khusus. “Serta perganti­an malam dan siang”, artinya susul-me­nyusul dan saling menggantikan dalam panjang dan pendek (dalam waktunya), terkadang yang ini panjang dan yang lain­nya pendek, kemudian menjadi sama, dan setelah itu yang tadinya panjang men­jadi pendek dan yang tadinya pendek menjadi panjang. Semua itu merupakan ketetapan dari Allah.
Oleh karena itu, Allah SWT kemudian ber­firman yang artinya “Benar-benar ter­dapat tanda kekuasaan bagi orang-orang yang berakal”, yakni yang akalnya sem­purna dan bersih yang dapat memahami hakikat berbagai perkara, bukan seperti orang-orang yang tuli dan bisu, yang tidak dapat memahami, yaitu orang-orang yang dijelaskan Allah dalam ayat lain yang artinya “Dan banyak sekali tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya sedang mereka berpaling daripadanya.” (QS Yusuf: 106).
Kemudian Allah SWT meng­gam­bar­kan Ulul Albab dengan berfirman, yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang meng­ingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” Dalam Sha­hih Al-Bukhari dan Shahih Muslim ter­dapat hadits dari Imran bin Hushain bah­wa Nabi SAW bersabda, “Dirikanlah sha­lat sambil berdiri; jika tidak mampu, sam­bil duduk; jika tidak mampu juga, sambil berbaring.” Artinya, mereka tidak henti-hentinya mengingat Allah dalam segala keadaan, baik dengan hati maupun lisan­nya. ”Dan mereka memikirkan ihwal pen­ciptaan langit dan bumi.” Yakni, mereka memahami ketetapan-ketetapan yang ada pada keduanya, yang menunjukkan keagungan, kekuasaan, ilmu, hikmah, pilih­an, dan rahmat Sang Khaliq.
Banyak sekali perkataan para tokoh ulama mengenai keutamaan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan nik­mat-nikmat-Nya. Imam Ad-Darani me­nga­takan, “Sesungguhnya, jika aku ke­luar rumah, tidaklah pandangan mataku jatuh pada sesuatu melainkan aku lihat pada sesuatu itu nikmat Allah atas diriku dan pelajaran bagiku pada sesuatu itu.”
Diriwayatkan bahwa Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Berpikir (yakni ten­tang tanda-tanda kekuasaan Allah) satu saat lebih baik daripada beribadah satu malam.” Ia juga mengatakan, “Pe­mikiran itu merupakan cermin yang da­pat me­nunjukkan kepada dirimu ihwal ke­baik­an-kebaikanmu dan keburukan-keburuk­anmu.” Sedangkan Bisyr Al-Hafi menga­takan, “Seandainya manusia ber­pikir ten­tang keagungan Allah, niscaya me­reka tak akan bermaksiat kepadanya.”
Diriwayatkan pula bahwa Nabi Isa AS pernah mengatakan, “Wahai anak Adam yang bersifat lemah, bertaqwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, tetaplah merasa lemah selama di dunia, am­billah masjid sebagai rumah (sering-seringlah berada di masjid), ajarkan kedua matamu untuk menangis, ajarkan tubuh­mu untuk bersabar, dan ajarkan hatimu un­tuk berpikir, dan janganlah engkau me­mikirkan (merisaukan) rizqi esok hari.”
Allah SWT mencela orang yang tidak mau mengambil pelajaran pada makhluk-makhluk-Nya, yang menunjukkan Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, ketetapan-Nya, ke­kuasaan-Nya, dan tanda-tanda kebesar­an-Nya. Allah berfirman yang artinya, “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari­padanya. Dan sebagian besar mereka ti­dak beriman kepada Allah, melainkan da­lam keadaan mempersekutukan Allah (de­ngan sembahan-sembahan lain).” (QS Yu­suf: 105-106). Dan Allah memuji ham­ba-hamba-Nya yang mukmin yang dikata­kan-Nya, “(Yaitu) orang-orang yang meng­ingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka me­mikirkan ihwal penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan Kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia’.” Yakni, tidaklah Engkau menciptakan makhluk ini dengan main-main, melainkan de­ngan haq untuk kemudian Engkau mem­balas orang-orang yang beramal buruk se­suai dengan apa-apa yang telah mereka lakukan serta membalas orang-orang yang berbuat baik dengan balasan kebaikan.
Kemudian mereka menyucikan Allah dari sifat main-main dengan mengatakan yang artinya, “Mahasuci Engkau.” Yakni dari menciptakan sesuatu dengan bathil. ”Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Yakni, wahai Dzat Yang telah Mencip­ta­kan segala ciptaan-Nya dengan haq dan adil, wahai Dzat Yang Mahasuci dari se­gala kekurangan, aib, dan main-main, peli­haralah kami dari siksa neraka.

Allah Swt pada ayat 190 surah Ali Imran mengajak manusia untuk berpikir dan merenungi tentang penciptaan langit-langit dan bumi. Kemudian pada ayat berikutnya Allah Swt menjelaskan hasil dan buah dari berpikir ini.
Ayat ini menjelaskan tentang keesaan Tuhan Sang Pencipta dan menyatakan bahwa apabila manusia memikirkan dengan cermat dan menggunakan akalnya terkait dengan proses penciptaan langit-langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, maka ia akan menemukan tanda-tanda jelas atas kekuasaan Allah Swt; maha karya dan rahasia-rahasia yang menakjubkan yang akan menuntun para hamba kepada Allah Swt dan hari Kiamat serta menggiring mereka pada kekuasaan Ilahi yang tak terbatas.
Abstrak dan ringkasan makna dua ayat ini adalah demikian; mereka yang menyaksikan, didasari dengan pemikiran dan perenungan, penciptaan langit-langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, pemikiran dan perenungan ini menyebabkan mereka senantiasa akan mengingat Tuhan. Dengan perantara ini mereka akan menyadari bahwa Allah Swt segera akan membangkitkan mereka dan atas dasar itu ia memohon rahmat-Nya serta meminta supaya janji yang diberikan kepada mereka dapat terealisir baginya.

Jawaban Detil
Salah satu jalan terbaik untuk mengenal Tuhan adalah jalan yang dijadikan Allah Swt sebagai agumen atas diri-Nya sendiri dan jalan itu adalah memberdayakan akal untuk mengenal Sang Pencipta; artinya apabila manusia memanfaatkan dan memberdayakan akalnya dan memikirkan tentang penciptaan semesta, pelbagai keajaiban penciptaan dan keteraturan yang mendominasi penciptaan maka ia akan terbimbing memahami keesaan Sang Pencipta alam semesta ini dan mengakui tentang kebijaksanaan dan keagungan ciptaan-Nya.
Berpikir adalah salah satu tipologi terpenting manusia. Berpikir merupakan salah satu nikmat di antara nikmat-nikmat Ilahi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dan berulang kali al-Quran menyeru manusia untuk menggunakan akal dan pikirannya.
Ayat ini merupakan seruan kepada manusia untuk berpikir tentang proses penciptaan semesta.[1] Ayat ini disertai dengan ayat-ayat serupa,[2] menetapkan tentang keesaan Sang Pencipta. Karena apabila seseorang mencermati dan memikirkan tentang proses penciptaan langit-langit dan bumi, maka ia akan menemukan tanda-tanda terang atas kekuasaan Allah Swt; maha karya dan rahasia-rahasia yang menakjubkan yang akan menuntut para hamba kepada Allah Swt dan hari Kimaat serta menggiring mereka pada kekuasaan Ilahi yang tak terbatas.
Manusia apabila memikirkan tentang proses penciptaan langit dan bumi, akan menemukan bahwa seluruh ini tadinya tiada kini mengada (baca: hadits) dan memerlukan pencipta dan Khaliq. Pencipta mereka adalah Tuhan; karena pada sistem penciptaan yang menakjubkan, terdapat rahasia-rahasia dan ilmu yang tidak dapat dilakukan selain seorang yang Mahabijaksana. Karena itu, pencipta semesta ini tentulah seorang Pencipta Yang Mahabijak, Mahamengetahui dan tersifati dengan sifat-sifat sempurna dan agung.
Salah satu ayat dan tanda penciptaan-Nya yang dirasakan oleh setiap manusia adalah silih bergantinya siang dan malam yang berputar berdasarkan sistem yang akurat dan cermat serta memiliki pengaruh, keberkahan dan pengaruh yang dapat dirasaan oleh tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ayat-ayat ini dan ayat-ayat yang serupa berbicara tentang hal ini.
Tatkala orang-orang musyrik Mekkah datang kepada Rasulullah Saw dan meminta mukjizat untuk menetapkan keberadaan Tuhan dan kenabian Muhammad. Salah satu usulan mereka yang disampaikan kepada Rasululah Saw, “Ubahlah gunung Shafa menjadi emas.” Allah Swt menjawab permintaan mereka, “Penciptaan langit-langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, sangat penting untuk dapat menetapkan Sang Pencipta bagi orang-orang yang berakal; artinya apabila manusia menggunakan akal dan memberdayakan pikirannya maka hal itu akan membimbingnya kepada Sang Pencipta.
Apakah mungkin langit-langit dan bumi, segala ciptaan yang menakjubkan yang ada di dalamnya, dapat mengada tanpa ada yang mengadakannya? Apakah mungkin dapat diterima siang dan malam yang datang silih berganti secara teratur pada setiap bulan dan tahun bahkan sedetik pun tidak pernah menyelisih siklus perputarannya dapat sedemikian teratur tanpa pencipta yang berkuasa? Apakah penciptaan makhluk-makhluk seperti ini lebih penting atau gunung Shafa yang ingin dirubah menjadi emas?
Apa yang dapat dijadikan sebagai penafsiran ayat mulia ini secara global dapat dikatakan bahwa ayat ini menunjukkan tentang masalah tauhid dan menyatakan, “Langit-langit ini yang berada di atas kita dan menaungi kita, dengan segala kecermatan dalam penciptaannya dan bumi yang memeluk kita dan alas yang kita jejaki di atasnya, dengan segala keajaibannya, dengan segala keanehan dalam perubahan-perubahannya, misalnya silih bergantinya siang dan malam, segala sesuatunya memerlukan Sang Pencipta yang mengadakan dan menciptakannya. Hal ini merupakan salah satu argumen (burhân) yang dapat disuguhkan pada ayat ini terkait dengan masalah tauhid.
Argumen lainnya adalah sistem dan mekanisme yang berlaku di alam semeta; hasil dari argumen ini perut bumi dari sisi berat, kecil dan besarnya, jauh dan dekatnya masing-masing berbeda. Apabila manusia mencermatinya, maka ia akan menyimpulkan bahwa sedemikian menakjubkan dan indahnya sistem yang berlaku di alam semesta, alam dengan segala keluasaanya dari sisi mana pun memberikan pengaruh pada sisi lainnya, setiap bagian-bagiannya yang dapat mengada di setiap tempat, terpengaruh pada bagian-bagian lainnya, gravitasi umumnya yang satu sama lain saling bertautan, demikian juga cahaya dan panasnya, dengan pengaruhnya yang menggerakan gerak dan zaman.
Sistem umum dan general ini berada di bawah satu aturan yang permanen dan bahkan hukum relativitas pun memandang gerak umum di alam semesta ini senantiasa berubah. Hukum relativitas mau-tak mau mengakui bahwa ia juga didominasi oleh hukum lain, yaitu aturan yang permanen yaitu adanya perubahan dan pergantian.
Ringkasan makna  dua ayat ini: mereka yang memandang langit-langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam dengan pikiran dan perenungan maka perenungan ini akan melahirkan dzikir kepada Allah Swt sehingga dalam perbagai kondisi, berdiri, duduk, diam, menyaksikan dengan seksama seluruh makhluk yang ada di alam semesta yang akan membimbing mereka dari makhluk yang paling kecil pada keberadaan sosok Perencana dan Pelukis alam semesta.
Peta yang menarik yang nampak pada setiap sudut dan sisi penciptaan semesta, sedemikian menyedot perhatian orang-orang berakal sehingga pikiran-pikirannya dalam setiap kondisi, baik berdiri, duduk, diam dan seterusnya mengingat Tuhan Sang Pencipta.
Pada setiap fenomena yang disaksikan, ia belajar sebuah pelajaran tauhid yang baru dan dari sketsa indah alam semesta ia memahami pencipta-Nya yang sama sekali tidak menciptakan semesta yang menakjubkan ini dengan sia-sia dan tanpa tujuan.
Orang-orang berakal, hasil dari pikiran dan renungan seperti ini ia tidak akan melupakan Tuhan dalam setiap kondisi dan dengan perantara itu ia akan mengetahui bahwa Allah Swt akan segera memebangkitkan mereka dan atas dasar itu memohon rahmat Ilah dan memohon supaya janji Ilahi dapat segera terrealisir baginya.[3] [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh dalam hal ini silahkan lihat, Tafsir al-Mizan, terkait dengan ayat 164 surah al-Baqarah.
[1]. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’”
Nampaknya yang dimaksud sebagai “kha-lq” di sini adalah kualitas wujud, pengaruh, gerak dan diam, berubahnya langit dan bumi, bukan pengadaannya.  Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 4, hal. 87, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1417 H.
[2]. Seperti ayat 164 surah al-Baqarah, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan membawa apa yang berguna bagi manusia, air yang Allah turunkan dari langit, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering-kerontang), dan Dia tebarkan segala jenis hewan di atas bumi itu, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
[3]. Silahkan lihat, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 4, hal. 87; Sayid Abdul A’la, Mawâhib al-Rahman fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 7, hal. 17, Muasassah Ahlulbait As, Beirut, Cetakan Kedua, 1409; Muhammad Jawad Najafi Khomeini, Tafsir Âsân, jil. 3, hal. 106-107, Islamiyah, Tehran, 1398 H.  

PENJELASAN QS ALI IMRON 159
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Ali 'Imran 159

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159

Meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin pada peperangan Uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita kekalahan, tetapi beliau tetap bersikap lemah lembut dan tidak marah terhadap yang melanggar itu, bahkan memaafkannya, dan memohonkan untuk mereka ampunan di Allah SWT. Andaikata Nabi Muhammad saw bersikap keras, berhati kasar tentulah mereka akan menjauhkan din dan beliau. Di samping itu Nabi Muhammad saw selalu bermusyawarah dengan mereka dengan segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum mukmin bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum muslimin selain Allah.
Di samping itu Nabi Muhammad saw selalu bermusyawarah dengan mereka dengan segala hal, apalagi dalam urusan peperangan. Oleh karena itu kaum muslimin patuh melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah karena keputusan itu merupakan keputusan mereka sendiri bersama Nabi. Mereka tetap berjuang dan berjihad di jalan Allah dengan tekad yang bulat tanpa menghiraukan bahaya dan kesulitan yang mereka hadapi. Mereka bertawakkal sepenuh kepada Allah, karena tidak ada yang dapat membela kaum muslimin selain Allah.
Keberhasilan dakwah Rasulullah SAW tak lepas dari akhlaq beliau yang sangat istimewa dan tak ada bandingnya. Betapa banyak orang beriman kepada beliau setelah menyaksikan sendiri akhlaq beliau yang sungguh mengagumkan.
Di antara akhlaq Nabi SAW adalah berlaku lembut dan bertutur kata yang sa­ngat baik yang menyenangkan setiap orang yang berhadapan dengan beliau. Hal ini dinyatakan dalam firman Allah ayat 159 surah Ali ‘Imran berikut ini. Ke­mudian dilanjutkan dengan ayat berikut­nya yang mengingatkan ihwal pertolong­an Allah bahwa, kalau Allah memberikan perto­long­an, tak ada yang dapat menga­lahkan, begitu pula sebaliknya. Marilah kita per­hatikan ayat-ayat tersebut dan penafsir­an­nya sebagaimana yang dise­butkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Allah SWT berfirman:
TAFSIR IBNU KASIR
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka men­jauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah am­pun bagi mereka, dan bermusyawarah­lah dengan mereka dalam urusan itu. Ke­mudian apabila kamu telah mem­bu­latkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.
Jika Allah menolong kalian, tak ada­lah orang yang dapat mengalahkan kali­an; jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan), siapakah gerang­an yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hen­daklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.
Allah Ta‘ala menujukan pembicara­an-Nya kepada Rasulullah SAW, meng­ingatkan beliau dan kaum mukmin akan ka­runia Allah, yaitu Allah telah melem­but­kan hati beliau dalam menghadapi umatnya yang mengikuti perintahnya dan meninggalkan larangannya serta tu­tur kata beliau yang baik kepada mereka. ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap me­reka.” Imam Hasan Al-Bashri berkata, “Ini merupakan akhlaq Nabi Muhammad SAW yang diutus Allah dengan mem­bawa akhlaq demikian.”
Ayat yang mulia ini seperti ayat yang artinya, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderita­anmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Tawbah: 128).
Kemudian Allah Ta‘ala berfirman, ”Jika kamu bersikap keras dan berhati kasar, niscaya mereka men­jauhkan diri darimu.” Maksudnya, jika bahasamu buruk dan berkasar hati ke­pada mereka, niscaya mereka akan men­­jauhkan diri dan meninggalkanmu. Namun, Allah me­nyatukan mereka ke­padamu dan me­lem­butkan perilakumu untuk mengambil hati mereka.
Abdullah bin Umar berkata, “Se­sung­guhnya aku mendapati sifat Rasul­ullah SAW dalam kitab-kitab terdahulu itu de­mikian, ‘Sesungguhnya tutur kata­nya ti­dak kasar, hatinya tidak keras, tidak suka berteriak-teriak di pasar-pa­sar, dan tidak suka membalas kejahat­an orang dengan kejahatan lagi, melain­kan memaafkan dan mengampuninya’.”
Karena itu, Allah Ta‘ala berfirman, ”Maka maafkanlah me­reka, mohonkan­lah ampunan untuk me­reka, dan ber­musyawarahlah dengan mereka dalam suatu urusan.” Oleh ka­rena itu, Rasul­ullah SAW suka ber­musya­warah dengan para sahabatnya mengenai sua­tu per­soalan yang terjadi, guna menye­nang­kan mereka supaya mereka lebih giat da­lam melakukan tu­gasnya. Seba­gaimana Rasulullah ber­musyawarah de­ngan me­reka dalam Pe­rang Badar ihwal kebe­rangkatan meng­hadang kafilah kaum musyrikin. Maka para sahabat ber­kata, “Wahai Rasul­ullah, jika engkau me­minta kami meng­arungi lautan, niscaya kami akan me­nem­puhnya bersamamu. Jika eng­kau ber­jalan menuju daratan di ma­lam yang ge­lap, kami pun akan meng­ikutimu. Kami ti­dak akan berkata kepada engkau se­bagaimana Bani Israil berkata kepada Nabi Musa, ‘Pergilah kamu dan Tuhan­mu, lalu berperanglah. Kami mau tinggal di sini saja.’ Melainkan kami akan meng­atakan, ‘Pergilah dan kami akan ber­perang bersamamu, di depanmu, di ka­nanmu, dan di kirimu’.”
Nabi pun mengajak musyawarah para sahabat berkaitan dengan Perang Uhud, yaitu tetap tinggal di Madinah atau pergi menghadapi musuh. Kemudian mayoritas sahabat menyarankan untuk pergi meng­hadapi musuh, maka beliau pun pergi ber­sama mereka. Rasululah juga bermusya­warah dalam Perang Khan­daq untuk ber­damai dengan men­dapatkan sepertiga dari buah-buahan Madinah di tahun itu. Na­mun Sa‘ad bin Mu‘adz dan Sa‘ad bin Uba­dah menolak. Maka beliau pun me­ninggalkannya, tidak menyetujui.
Nabi SAW bermusyawarah dengan para sahabat dalam berbagai perang dan semacamnya. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, “Orang yang dimintai pendapat adalah orang yang dapat dipercaya.”
Allah kemudian berfirman, “Jika kamu telah bertekad bulat, ber­ta­wakallah ke­pada Allah.” Artinya, jika kamu telah ber­musyawarah dengan me­reka mengenai suatu persoalan dan kamu telah meyakini­nya, bertawakallah kepada Allah menge­nai persoalan itu. ”Sesung­guh­nya Allah mencintai orang-orang yang ber­tawakal.”
“Jika Allah menolong kalian, tak ada orang yang dapat mengalahkan kali­an; jika Allah membiarkan kalian, siapakah yang dapat menolong kalian (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hen­daklah kepada Allah saja orang-orang muk­min bertawakal.”
Ayat ini senada dengan ayat yang lalu, ”Pertolongan itu tiada lain kecuali dari sisi Allah, Yang Maha­perkasa lagi Mahabijak­sana.” Kemudian Allah me­nyuruh mereka su­paya ber­ta­wakal kepa­da Allah. Dia ber­firman, ”Ka­rena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin ber­tawakal.”
AY


No comments:

Post a Comment