XII.1.4
|
HAK DAN
KEDUDUKAN WANITA DALAM KELUARGA
|
ARTIKEL 3
PERANAN WANITA DALAM ISLAM
Persamaan gender yang banyak didengung-dengungkan
oleh kaum barat, ternyata telah merasuk ke tubuh kaum muslimah umat ini. Mereka
telah tertipu dengan pemikiran kaum barat, bahkan tidak sedikit yang mengekor
pemikiran tersebut.
Lantas bagaimana sebenarnya peranan wanita islam
dalam membangun keluarga atau masyarakat? Mari kita simak tulisan berikut,
bagaimana seharusnya wanita membangun sebuah keluarga bahkan Negara?Peranan
Wanita Dalam Keluarga
A. PERANAN WANITA DALAM KELUARGA
Keluarga merupakan pondasi dasar penyebaran islam.
Dari keluarga lah, muncul pemimpin-pemimpin yang berjihad di jalan Allah, dan
akan datang bibit-bibit yang akan berjuang meninggikan kalimat-kalimat Allah.
Dan peran terbesar dalam hal tersebut adalah kaum wanita.
1. Pertama: Wanita Sebagai Seorang Istri
Ketika seorang laki-laki merasa kesulitan, maka
sang istri lah yang bisa membantunya. Ketika seorang laki-laki mengalami
kegundahan, sang istri lah yang dapat menenangkannya. Dan ketika sang laki-laki
mengalami keterpurukan, sang istri lah yang dapat menyemangatinya.
Sungguh, tidak ada yang mempunyai pengaruh
terbesar bagi seorang suami melainkan sang istri yang dicintainya.
Mengenai hal ini, contohlah apa yang dilakukan
oleh teladan kaum Muslimah, Khadijah Radiyallahu anha dalam mendampingi
Rasulullah di masa awal kenabiannya. Ketika Rasulullah merasa ketakutan
terhadap wahyu yang diberikan kepadanya, dan merasa kesulitan, lantas apa yang
dikatakan Khadijah kepadanya?
“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu
selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung silaturahmi, menanggung
kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu
dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan
kebenaran.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Tidak ada pangkat tertinggi melainkan pangkat
seorang Nabi, dan tidak ada ujian yang paling berat selain ujian menjadi
seorang Nabi. Untuk itu, tidak ada obat penenang bagi Rasulullah dalam
mengemban amanah nubuwahnya melainkan istri yang sangat dicintainya.
Sampai-sampai ketika Aisyah cemburu kepada Khadijah, dan berkata “Kenapa
engkau sering menyebut perempuan berpipi merah itu, padahal Allah telah
menggantikannya untukmu dengan yang lebih baik?” Lantas Rasulullah marah
dan bersabda: “Bagaimana engkau berkata demikian? Sungguh dia
beriman kepadaku pada saat orang-orang menolakku, dia membenarkanku ketika
orang-orang mendustakanku, dia mendermakan seluruh hartanya untukku pada saat
semua orang menolak mambantuku, dan Allah memberiku rizki darinya berupa keturunan.” (HR
Ahmad dengan Sanad yang Hasan)
Demikianlah kecintaan Rasulullah kepada Khadijah,
dan demikianlah seharusnya bagi seorang wanita muslimah di dalam keluarganya.
Tidak ada yang diinginkan bagi seorang suami melainkan seorang istri yang dapat
menerimanya apa adanya, percaya dan yakin kepadanya dan selalu membantunya
ketika sulitnya.
Inilah peran yang seharusnya dilakukan bagi
seorang wanita. Menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang perlu dilakukan
wanita, akan tetapi menjadi pendamping seorang pemimpin (pemimpin rumah tangga
atau lainnya) yang dapat membantu, mengarahkan dan menenangkan adalah hal yang
sangat mulia jika di dalamnya berisi ketaatan kepada Allah Ta’ala.
2. Wanita Sebagai Seorang Ibu
Tidak ada kemulian terbesar yang diberikan Allah
bagi seorang wanita, melainkan perannya menjadi seorang Ibu. Bahkan Rasulullah
pun bersabda ketika ditanya oleh seseorang:
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling
berhak untuk kuperlakukan dengan baik?” Beliau
berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian
siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”. Laki-laki itu bertanya
lagi, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, “Kemudian
siapa?” tanyanya lagi.“Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR.
Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Di dalam rumah, siapakah yang mempunyai banyak
waktu untuk anak-anak? Siapakah yang lebih mempunyai pengaruh terhadap
anak-anak? Siapakah yang lebih dekat kepada anak-anak? Tidak lain adalah
ibu-ibu mereka. Seorang ibu merupakan seseorang yang senantiasa diharapkan
kehadirannya bagi anak-anaknya. Seorang ibu dapat menjadikan anak-anaknya
menjadi orang yang baik sebagaimana seorang ibu bisa menjadikan anaknya menjadi
orang yang jahat. Baik buruknya seorang anak, dapat dipengaruhi oleh baik atau
tidaknya seorang ibu yang menjadi panutan anak-anaknya.
Pernahkah kita membaca kisah-kisah kepahlawanan
atau kemuliaan seseorang? Siapakah dalang di dalam keberhasilan mereka menjadi
seorang yang pemberani, ahli ilmu atau bahkan seorang imam? Tidak lain adalah
seorang ibu yang membimbingnya.
Mari kita simak perkataan seorang shahabiyah,
Khansa ketika melepaskan keempat anaknya ke medan jihad.
“Wahai anak-anakku, kalian telah masuk islam
dengan sukarela dan telah hijrah berdasarkan keinginan kalian. Demi Allah yang
tidak ada tuhan selain Dia, sesungguhnya kalian adalah putra dari ayah yang
sama dan dari ibu yang sama, nasab kalian tidak berbeda. Ketahuilah bahwa
seseungguhnya akhirat itu lebih baik dari dunia yang fana. Bersabarlah,
tabahlah dan teguhkanlah hati kalian serta bertaqwalah kepada Allah agar kalian
beruntung. Jika kalian menemui peperangan, maka masuklah ke dalam kancah
peperangan itu dan raihlah kemenangan dan kemuliaan di alam yang kekal dan
penuh kenikmatan”
Keesokan harinya, masuklah keempat anak tersebut
dalam medan pertempuran dengan hati yang masih ragu-ragu, lalu salah seorang
dari mereka mengingatkan saudara-saudaranya akan wasiat yang disampaikan oleh
ibu mereka. Mereka pun bertempur bagaikan singa dan menyerbu bagaikan anak
panah dengan gagah berani dan tidak pernah surut setapak pun hingga mereka
memperoleh syahadah fii sabilillah satu per satu. (Sirah Shahabiyah hal 742,
Pustaka As-Sunnah)
Inilah kekuatan seorang ibu yang diberikan kepada
anak-anaknya. Tatkala sang anak merasa ragu akan hal yang ingin diperbuatnya,
namun mereka teringat akan nasehat ibu mereka, maka semua keraguan itu menjadi
hilang, yang ada hanya semangat dan keyakinan akan harapan seorang ibu.
Demikianlah peran mulia seorang ibu, dan tidak ada
peran yang lebih mendatangkan pahala yang banyak melainkan peran mendidik
anak-anaknya menjadi anak yang diridhoi Allah dan rasulnya. Karena anak-anaknya
lah sumber pahala dirinya dan sumber kebaikan untuknya.
Ketahuilah, banyak dikalangan orang-orang besar,
bahkan sebagian para imam dan ahli ilmu merupakan orang-orang yatim, yang hanya
dibesarkan oleh seorang ibu. Dan lihatlah hasil yang di dapatkannya. Mereka
berkembang menjadi seorang ahli ilmu dan para imam kaum muslimin. Sebut saja,
Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Al-Bukhori dll adalah para ulama yang dibesarkan
hanya dari seorang ibu. Karena kasih sayang, pendidikan yang baik dan doa dari
seorang ibu merupakan kekuatan yang dapat menyemangati anak-anak mereka dalam
kebaikan.
Tahukah para pembaca dengan Imam Shalat Masjidil
Haram, Asy-Syaikh Sudais? Apa yang melatarbelakangi beliau menjadi Imam shalat
Masjidil Haram? Tidak lain adalah karena harapan dan doa dari ibu beliau.
Seorang ibu yang terus menerus memotivasi anaknya untuk menjadi imam masjidil
haram, telah membuat tekad Syaikh Sudais kecil menjadi besar dan membuatnya
bersemangat untuk menghafalkan quran dan selalu berusaha agar keinginannya dan
keinginan ibunya tercapai untuk menjadi Imam Masjidil Haram.
Pernahkan para pembaca membaca kisahnya seorang
tabi’in Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi? Seorang ulama yang ditinggalkan oleh ayahnya untuk
berjihad selama 30 tahun dan hidup bersama ibunya. Dengan bekal yang diberikan
oleh sang ayah, namun dihabiskan hanya untuk pendidikan anaknya oleh ibunya,
menjadikan sang anak berkembang menjadi seorang ulama dan pemuka Madinah, yang
bahkan Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah, An-Nu’man, Yahya
bin Sa’id Al-Anshari, Sufyan Tsauri, Abdurrahman bin Amru Al-Auza’I, Laits bin
Sa’id dan lainnya. Hal ini karena pengaruh dari seorang ibu yang sholehah yang
mendidik anaknya dengan sangat baik.
Ini adalah segelintir kisah-kisah yang mengagumkan
akan pengaruh yang amat besar dari seorang ibu, dan masih banyak kisah-kisah
lainnya jika kita mau mencari dan membacanya.
Karenanya, jika para wanita sadar akan pentingnya
dan sibuknya kehidupan di keluarga, niscaya mereka tidak akan mempunyai waktu
untuk mengurusi hal-hal di luar keluarganya. Apalagi berangan-angan untuk
menggantikan posisi laki-laki dalam mencari nafkah.
B. PERANAN WANITA DALAM MASYARAKAT DAN NEGARA
Wanita disamping perannya dalam keluarga, ia juga
bisa mempunyai peran lainnya di dalam masyarakat dan Negara. Jika ia adalah
seorang yang ahli dalam ilmu agama, maka wajib baginya untuk mendakwahkan apa
yang ia ketahui kepada kaum wanita lainnya. Begitu pula jika ia merupakan
seorang yang ahli dalam bidang tertentu, maka ia bisa mempunyai andil dalam
urusan tersebut namun dengan batasan-batasan yang telah disyariatkan dan
tentunya setelah kewajibannya sebagai ibu rumah tangga telah terpenuhi.
Banyak hal yang bisa dilakukan kaum wanita dalam
masyarakat dan Negara, dan ia punya perannya masing-masing yang tentunya
berbeda dengan kaum laki-laki. Hal ini sebagaimana yang dilakukan para
shahabiyah nabi.
Pada jaman nabi, para shahabiyah biasa menjadi
perawat ketika terjadi peperangan, atau sekedar menjadi penyemangat kaum
muslimin, walaupun tidak sedikit pula dari mereka yang juga ikut berjuang
berperang menggunakan senjata untuk mendapatkan syahadah fii sabilillah,
seperti Shahabiyah Ummu Imarah yang berjuang melindungi Rasulullah dalam
peperangan.
Sehingga dalam hal ini, peran wanita adalah
sebagai penopang dan sandaran kaum laki-laki dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
C. PENUTUP
Jika kita melihat akan keutamaan-keutamaan yang
diberikan Allah untuk kaum wanita, maka jelaslah bahwa wanita merupakan tumpuan
dasar kemuliaan suatu masyarakat bahkan Negara. Masyarakat atau Negara yang
baik dapat terlihat dari baiknya perempuan di dalam Negara tersebut dan
begitupun sebaliknya.
Karenanya, peran wanita baik dalam keluarga atau
masyarakat merupakan peran yang sangat agung yang tidak sepantasnya kaum wanita
untuk menyepelekannya.
Persamaan gender yang didengungkan oleh kaum
barat, tidak lain adalah untuk menghancurkan pondasi keislaman seorang
muslimah, sehingga ia meninggalkan kewajibannya sebagai seorang wanita.
Ingatlah, Pemimpin-pemimpin yang adil dan
generasi-generasi yang baik akan muncul seiring dengan baiknya kaum wanita pada
waktu tersebut.
Semoga tulisan
ini bermanfaat.
No comments:
Post a Comment