MUNAKAHAH
PERNIKAHAN
DALAM ISLAM
KOMPETENSI INTI
KI 2 : Mengembangkan
perilaku (jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah
lingkungan, gotong royong, kerjasama,
cinta damai, responsif dan pro- aktif)
dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan
bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai
cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
KI 3 : Memahami
dan menerapkan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait
fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang
kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan
ranah abstrak terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
KOMPETENSI DASAR
3.6 Memahami ketentuan pernikahan dalam Islam.
Indikator Pencapaian Kompetensi
3.6.1 Menjelaskan ketentuan hukum Islam tentang nikah
3.6.2 Menjelaskan tujuan nikah
3.6.3 Menjelaskan
kewajiban suami istri
3.6.4 Menjelaskan
ketentuan hukum Islam tentang talak., iddah dan rujuk
3.6.5 Menjelaskan Ila’,
Li’an, Dhihar, Khulu’, Fasah dan Hadanah.
3.6.6 Menjelaskan hikmah
nikah, hikmah talak dan hikmah ruju’
3.6.7 Menjelaskan ketentuan perkawinan menurut perundang-undangan tentang
perkawinan di Indonesia.
3.6.8 Menguraikan
kompilasi hukum tentang perkawinan di Indonesia
4.6 Memperagakan tata cara pernikahan dalam Islam.
Indikator Pencapaian Kompetensi
4.6.1 Menjelaskan rukun nikah
4.6.2 Menjelaskan tata cara prosesi
pernikahan
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Siswa dapat menjelaskan ketentuan hukum perkawinan dalam Islam
2. Siswa dapat menjelaskan hikmah perkawinan, Tidak terjadi kdrt
3. Siswa dapat menjelaskan ketentuan perkawinan menurut
perundang-undangan di Indonesia
4. Siswa dapat pemperagakan prosesi Walimatul Urusy
KEGIATAN PEMBELAJARAN
·
Mengamati
-
Menyimak bacaan al-Qur’an
yang terkait dengan pernikahan dalam Islam secara individu maupun kelompok.
-
Mengamati tayangan video
pernikahan dalam Islam. atau mengamati langsung
proses pernikahan.
·
Menanya
-
Mengajukan pertanyaan
tentang pernikahan dalam Islam, misalnya; apa syarat dan rukun nikah,
apa hikmah pernikahan dalam Islam, dan bagaimana kedudukan wanita dalam
keluarga
·
Eksperimen/eksplor
-
Menelaah ketentuan pernikahan
dalam Islam (syarat dan rukun nikah)
-
Diskusi tentang hikmah
pernikan dalam Islam
·
Assosiasi
-
Menyimpulkan ketentuan
pernikahan dalam Islam (syarat dan rukun nikah)
-
Menyimpulkan hikmah
pernikhaan dalam Islam
·
Komunikasi
-
Menyajikan/melaporkan hasil
diskusi tentang ketentuan pernikahan dalam Islam.
-
Menanggapi hasil presentasi
(melengkapi, mengkonformasi, dan menyanggah).
-
Membuat resume pembelajaran
di bawah bimbingan guru.
Mengadakan simulasi prosesi penikahan.
A. MEMBUJANG
Yang
pasti ISLAM melarang melepas kendali gharizah (instink) tanpa batas dan tanpa
ikatan, maka ISLAM mengharamkan zina dan seluruh aktifitas yang tergolong
mendekati zina.
AKAN
TETAPI, Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah
ini, oleh sebab itu maka setiap muslim/muslimah disunnatkan menikah dan
melarang hidup membujang. Dalam Islam tidak ada anjuran hidup membujang karena
alasan demi berbakti kepada Allah, sementara ia mampu menikah.
Kalaupun
ada sebagian ajaran agama yang membolehkan atau bahkan melarang tokoh agamanya
untuk menikah, maka ajaran ini sangat bertentangan dengan Islam yang
menfasilitasi kecendrungan dasar (fitroh) manusia.
Nabi
saw. mengingatkan:
"Sesungguhnya
orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat
terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu
akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu
menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah
pun akan meluruskan kepadamu.'"
Dalam Al
Qur’an ditegaskan:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ
لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ [٥:٨٧]
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang
telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. QS
al-Maidah: 87
Dikatakan
oleh Imam Mujahid: Ada beberapa orang laki-laki, di antaranya Usman bin Madh'un
dan Abdullah bin Umar bermaksud untuk hidup membujang dan berkebiri serta
memakai kain karung goni. Kemudian turunlah ayat di atas.6
B. MEMINANG (TUNANGAN)
Meminang
adalah menyatakan, mengungkapkan permintaan perjodohan dari pihak seorang
laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya atau pinangan tersebut
disampaikan oleh perantara yang terpercaya. Meminang dengan cara begini
diperbolehkan dalam syariat Islam, sedangkan bila si perempuan masih dalam masa
iddah bain sebaiknya dengan cara sindiran.
Tidak
boleh meminanng perempuan yang masih dalam masa iddah raj’i, atau telah
dipinang (menjadi tunangan) seseorang.
Dinyatakan
oleh Nabi saw.:
أَلْمُؤْمِنُ أَخُوالْمُؤمِنِ
فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَخْطُبَ عَلى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذِرَ
Artinya
: Seorang mukmin merupakan saudara dari mukmin lainnya, maka tidak halal (tidak
boleh) bagi seorang mukmin meminang seorang perempuan yang telah menjadi
tunangan saudaranya, sampai nyata telah ditinggalkannya (diputus). HR. Ahmad
dan Muslim.
Seorang
mukmin apabila berkehendak untuk menikah dan berkeinginan untuk meminang
seorang perempuan tertentu, diperbolehkan melihat perempuan tersebut sebelum ia
mulai melangkah ke jenjang perkawinan, supaya dia dapat menghadapi perkawinannya
itu dengan jelas dan terang, dan supaya tidak tertipu. Sehingga dengan
demikian, dia akan dapat selamat dari berbuat salah dan jatuh ke dalam sesuatu
yang tidak diinginkan.
Ini,
adalah justru karena mata merupakan duta hati; dan kemungkinan besar bertemunya
mata dengan mata itu menjadi sebab dapat bertemunya hati dan berlarutnya jiwa.
Abu
Hurairah mengatakan:
"Saya
pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang
memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka
Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi
mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu
ada sesuatu." (Riwayat Muslim)
C. KRITERIA
MEMILIH PASANGAN HIDUP (SUAMI ISTRI}
Terdapat
banyak kriteria yang dituntut dari diri wanita, dan dianjurkan menikahi wanita
yang memiliki berbagai kriteria tersebut, diantara kriteria-kriteria
terpenting.
PERTAMA:
MENTAATI AGAMA DAN SANGAT MENCINTAI-NYA.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ
اللهِ أَتْقَاكُمْ
“…
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu…” [Al-Hujuraat/49: 13].
Dia
berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ
حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
“… Sebab
itu maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…”
[An-Nisaa’/4: 34].
Imam Bukhari
meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ:
لِمَـالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ
الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.
“Wanita
dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya,
dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau
beruntung.”[1]
Anjuran
memilih agamanya, ini bukan berarti bahwa kecantikan (kegantengan) itu tidak
diperlukan. Tetapi yang dimaksud ialah jangan membatasi pada kecantikan atau
kegantengannya, karena itu bukan prinsip dalam memilih isteri atau suami.
Pilihlah karena agamanya; dan jika tidak, maka engkau tidak akan bahagia.
Yakni, berlumuran dengan tanah berupa aib yang bakal terjadi padamu setelah itu
disebabkan isteri atau suami tidak mempunyai agama.
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr secara marfu’, ia mengatakan: “Jangan menikahi wanita karena
kecantikannya, karena bisa jadi kecantikannya itu akan memburukkannya; dan
jangan menikahi wanita karena hartanya, bisa jadi hartanya membuatnya melampui
batas. Tetapi, nikahilah wanita atas perkara agamanya. Sungguh hamba sahaya
wanita yang sebagian hidungnya terpotong lagi berkulit hitam tapi taat beragama
adalah lebih baik.”[2]
Syaikh
al-‘Azhim Abad berkata: “Makna ‘fazhfar bidzaatid diin (ambillah yang mempunyai
agama)’ bahwa yang pantas bagi orang yang mempunyai agama dan adab yang baik
ialah agar agama menjadi pertimbagannya dalam segala sesuatu, terutama
berkenaan dengan pendamping hidup.
Oleh
karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya mencari
wanita beragama yang merupakan puncak pencarian. Taribat yadaaka, yakni
menempel dengan tanah.” Abu Dawud
Ibnu
Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau
bersabda:
مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ
بَعْدَ تَقْوَى اللهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ، إِنْ أَمَرَهَـا
أَطَاعَتْهُ، وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا
أَبَرَّتْهُ، وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِهِ.
“Seorang
mukmin tidak mengambil manfaat sesudah takwa kepada Allah, yang lebih baik
dibandingkan wanita yang shalihah: Jika memerintahnya, ia mentaatinya; jika
memandang kepadanya, ia membuatnya senang; jika bersumpah terhadapnya, ia
memenuhi sumpahnya; jika bepergian meninggalkannya, maka ia tulus kepadanya
dengan menjaga dirinya dan harta suaminya.” Ibnu Majah
Imam
Ahmad meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مِنْ سَعَـادَةِ ابْنُ آدَمَ
ثَلاَثَةٌ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْـكَنُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ
الصَّالِحُ، وَمِنْ شَقَاوَةِ ابْنُ آدَمَ: اَلْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ
السُّوْءُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ.
“Kebahagiaan
manusia ada tiga: Wanita yang shalihah, tempat tinggal yang baik, dan kendaraan
yang baik. Sedangkan ke-sengsaraan manusia ialah: Wanita yang buruk
(perangainya), tempat tinggal yang buruk, dan kendaraan yang buruk.” Hr. Ahmad
Ketika
turun (ayat al-Qur-an) mengenai perak dan emas, mereka bertanya: ‘Lalu harta
apakah yang harus digunakan?’ ‘Umar berkata: ‘Aku akan memberitahu kepadamu
mengenai hal itu.’ Lalu dia mengendarai untanya hingga menyusul Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan aku mengikutinya dari belakang. Lalu
dia bertanya: ‘Wahai Rasulullah, harta apakah yang akan kita gunakan?’ Beliau
menjawab: ‘Hendaklah salah seorang dari kalian mempunyai hati yang bersyukur,
lisan yang berdzikir, dan isteri beriman yang dapat mendukung (me-motivasi)
salah seorang dari kalian atas perkara akhirat. HR. Ibnu Majah
Ini
Adalah Perumpamaan Hidup Tentang Wanita Yang Taat Beragama, Dan Banyak Bertanya
Tentangnya (Juru Bicara Kaum Wanita).
Dari
Asma’ binti Yazid al-Anshariyyah, ia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam saat beliau berada di tengah-tengah sahabatnya seraya mengatakan: “Ayah
dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah. Aku utusan para wanita kepadamu.
Ketahuilah diriku sebagai tebusanmu, bahwa tidak seorang wanita pun yang berada
di timur dan barat yang mendengar kepergianku ini melainkan dia sependapat
denganku.
Sesungguhnya
Allah mengutusmu dengan kebenaran kepada kaum pria dan wanita, lalu kami
beriman kepadamu dan kepada Rabb-mu yang mengutusmu. Kami kaum wanita dibatasi;
tinggal di rumah-rumah kalian, tempat pelampiasan syahwat kalian, dan
mengandung anak-anak kalian. Sementara kalian, kaum pria, dilebihkan atas kami
dengan shalat Jum’at dan berjama’ah, menjenguk orang sakit, menyaksikan
jenazah, haji demi haji, dan lebih utama dari itu ialah jihad fii sabiilillaah.
Jika seorang pria dari kalian keluar untuk berhaji, berumrah atau berjihad,
maka kami memelihara harta kalian, membersihkan pakaian kalian, dan merawat
anak-anak kalian. Lalu apa yang bisa membuat kami mendapatkan pahala seperti
apa yang kalian dapatkan, wahai Rasulullah?”
Mendengar
hal itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada para
Sahabatnya, kemudian bertanya: “Apakah kalian pernah mendengar perkataan
seorang wanita yang lebih baik daripada wanita ini dalam pertanyaannya tentang
urusan agamanya?”
Mereka
menjawab: “Wahai Rasulullah, kami tidak menyangka ada seorang wanita yang mendapat
petunjuk seperti ini.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh
kepadanya seraya berkata kepadanya: “Pergilah wahai wanita, dan beritahukan
kepada kaum wanita di belakangmu bahwa apabila salah seorang dari kalian
berbuat baik kepada suaminya, mencari ridhanya dan menyelarasinya, maka
pahalanya menyerupai semua itu.” Kemudian wanita ini berpaling dengan bertahlil
dan bertakbir karena gembira dengan apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.HR. ‘Abdurrazzaq
Ilustrasi
Mengenai Wanita Yang Rasa Malunya Tidak Menghalanginya Untuk Bertanya Tentang
Agamanya.
Al-Bukhari
dan Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan:
“Ummu Sulaim datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
bertanya: ‘Wahai Rasulullah, Allah tidak malu dalam hal kebenaran. Apakah
wanita wajib mandi jika bermimpi?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
‘Jika dia melihat air.’” Ummu Salamah menutupi wajahnya dan bertanya: “Wahai
Rasulullah, apakah wanita bermimpi?” Beliau menjawab: “Ya, semoga engkau
beruntung, lantas dari mana anaknya dapat mirip dengannya?”
Mereka
Adalah Kaum Wanita Yang Mengetahui Keutamaan Ilmu Dan Mencarinya.
Al-Bukhari
meriwayatkan bahwa ketika kaum wanita merasakan keutamaan ilmu, mereka pergi
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau suatu majelis yang
khusus untuk mereka. Abu Sa’id menuturkan: “Seorang wanita datang kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan: ‘Wahai Rasulullah,
kaum pria pergi dengan membawa haditsmu, maka berikan untuk kami sehari dari
waktumu di mana kami datang kepadamu pada hari itu agar engkau mengajarkan
kepada kami dari apa yang Allah ajarkan kepadamu.’ Beliau bersabda: ‘Berkumpullah
kalian pada hari ini dan hari itu di tempat demikian dan demikian.’ Mereka pun
berkumpul, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada mereka
untuk mengajarkan kepada mereka apa yang Allah ajarkan kepada beliau. Kemudian
beliau bersabda: ‘Tidaklah seorang wanita dari kalian mendahulukan tiga perkara
dari anaknya, melainkan itu menjadi hijab baginya dari api Neraka.’ Maka
seorang wanita dari mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, dua?’ Ia mengulanginya
dua kali. Kemudian beliau bersabda: ‘Dua, dua, dua.'”
Dalam
riwayat an-Nasa-i disebutkan: “Dikatakan kepada mereka: ‘Masuklah ke dalam
Surga.’ Mereka mengatakan: ‘Hingga bapak-bapak kami masuk.’ Maka diperintahkan:
‘Masuklah kalian beserta ayah-ayah kalian.'”
KEDUA: TIDAK
MENGENAL KATA-KATA YANG TERCELA.
Ditanyakan
kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma: “Siapakah wanita yang paling
utama?” Ia menjawab: “Yaitu wanita yang tidak mengenal kata-kata yang tercela
dan tidak berfikir untuk menipu suami, serta hatinya kosong kecuali berhias
untuk suaminya dan untuk tetap memelihara keluarganya.”
Seorang
Arab mengabarkan kepada kita tentang wanita yang sebaiknya dijauhi, ketika
berfikir untuk menikah.
Ia
mengatakan: “Jangan menikahi enam jenis wanita, yaitu yang annanah, mannanah,
hannanah, dan jangan pula menikahi haddaqah, barraqah, dan syaddaqah.”
1.
Annanah ialah wanita yang
banyak merintih, mengeluh serta memegang kepalanya setiap saat. Sebab, menikah
dengan orang yang sakit atau pura-pura sakit tidak ada manfaatnya.
2.
Mannanah ialah wanita yang
suka mengungkit-ungkit (kebaikan) di hadapan suaminya, dengan mengatakan: “Aku
telah melakukan demikian dan demikian karenamu.”
3.
Hannanah ialah wanita yang
senantiasa rindu kepada suaminya yang lain (yang terdahulu) atau anaknya dari
suami yang lain. Ini pun termasuk jenis yang harus dijauhi.
4.
Haddaqah ialah wanita yang
memanah segala sesuatu dengan kedua matanya lalu menyukainya dan membebani
suami untuk membelinya.
Barraqah
mengandung dua makna:
a.
Wanita yang sepanjang hari
merias wajahnya agar wajahnya menjadi berkilau yang diperoleh dengan cara
meriasnya.
b.
Marah terhadap makanan. Ia
tidak makan kecuali sendirian dan menguasai bagiannya dari segala sesuatu. Ini
bahasa Yaman. Mereka mengatakan: “Bariqat al-Mar-ah wa Bariqa ash-Shabiyy
ath-Tha’aam,” jika marah pada makanan itu.
Dan syaddaqah ialah wanita yang banyak bicara.[10]
Dan syaddaqah ialah wanita yang banyak bicara.[10]
KETIGA: DI
ANTARA SIFATNYA IALAH BERSABAR DAN TIDAK BERSEDIH.
Al-Bukhari
meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ
الْخُدُوْدَ وَشَقَّ الْجُيُوْبَ وَدَعَـا بَدُعَـاءِ الْجَـاهِلِيَّةِ.
‘Bukan
termasuk golonganku orang yang menampar pipi dan merobek saku baju serta
berseru dengan seruan Jahiliyyah (ketika mendapat musibah).'”
Seruan
Jahiliyah, sebagaimana kata al-Qadhi: “Ialah meratapi mayit dengan mengutuk.”
Dalam
kitab ash-Shahiihain, dari Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata: “Abu Musa sakit
keras, lalu dia pingsan dan kepalanya berada di pangkuan salah seorang
isterinya, maka isterinya berteriak dan Abu Musa tidak mampu mencegahnya
sedikit pun. Ketika siuman, dia berkata: ‘Aku berlepas diri dari orang yang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Sebab,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri shaliqah, haliqah, dan
syaqqah. HR. Imam Bukhari
(haliqah
wanita yang mengeraskan suaranya dan meraung-raung ketika mendapatkan musibah,
haaliqah ialah wanita yang menggunting rambutnya ketika mendapat musibah, dan
syaaqqah ialah wanita yang merobek bajunya (ketika mendapat musibah)
“Ketika
Abu Salamah meninggal, aku mengatakan: ‘Ia asing dan di bumi asing.’ Sungguh
aku akan menangisinya dengan tangisan yang akan terus dibicarakan orang. Aku
telah siap untuk menangisinya. Tiba-tiba datang seorang wanita dari dataran
tinggi bermaksud menyertaiku (dalam tangisan). Lalu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menghadangnya seraya bertanya: ‘Apakah engkau ingin
memasukkan syaitan ke dalam rumah yang telah Allah bebaskan darinya?’
Diucapkannya dua kali. Lalu aku menahan tangisan, sehingga aku tidak menangis.”
HR. Muslim
KEEMPAT:
DIA TIDAK MEREMEHKAN DOSA.
Imam Ahmad
meriwayatkan dari Suhail bin Sa’ad, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:
إِيَّاكُمْ
وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوْبِ، كَقَوْمٍ نَزَلُوا فِي بَطْنِ وَادٍ فَجَاءَ ذَا
بِعُوْدٍ وَجَـاءَ ذَا بِعُوْدٍ، حَتَّـى انْضَجُوْا خُبْزَتَهُمْ، وَإِنَّ
مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوْبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكُهُ.
‘Janganlah
kalian meremehkan dosa-dosa kecil, seperti kaum yang berada di perut lembah
lalu masing-masing orang membawa sepotong kayu sehingga dapat menanak roti
mereka. Sesungguhnya bila dosa-dosa kecil itu pelakunya dihukum, maka dosa-dosa
tersebut akan mencelakakannya.'”
KELIMA: IA
BERAKHLAK MULIA.
Inilah
wanita yang senantiasa mempergauli suaminya dengan akhlak mulianya.
Ibnu Ja’dabah berkata: “Di tengah kaum Quraisy ada seorang pria yang berakhlak buruk. Tetapi tangannya suka berderma, dan dia orang yang berharta. Bila dia menikahi wanita, dipastikan dia akan menceraikannya karena akhlaknya yang buruk dan kurangnya ketabahan isterinya.
Ibnu Ja’dabah berkata: “Di tengah kaum Quraisy ada seorang pria yang berakhlak buruk. Tetapi tangannya suka berderma, dan dia orang yang berharta. Bila dia menikahi wanita, dipastikan dia akan menceraikannya karena akhlaknya yang buruk dan kurangnya ketabahan isterinya.
Kemudian
dia meminang seorang wanita Quraisy yang berkedudukan mulia. Ia telah
mendapatkan kabar tentang keburukan akhlaknya. Ketika mahar diputuskan di
antara keduanya, pria ini berkata: ‘Wahai wanita, sesungguhnya pada diriku
terdapat akhlak yang buruk dan itu tergantung pada ketabahan, jika engkau
bersabar terhadapku (maka kita lanjutkan pernikahan ini), namun jika tidak,
maka aku tidak ingin memperdayamu terhadapku.’
Wanita
ini mengatakan: ‘Sesungguhnya orang yang akhlaknya lebih buruk darimu ialah
orang yang membawamu kepada akhlak yang buruk.’ Akhirnya wanita ini menikah
dengannya, dan tidak pernah terjadi di antara keduanya kata-kata (cerai) hingga
kematian memisahkan di antara keduanya.”
KEENAM:
DI ANTARA SIFATNYA IALAH TIDAK MENCERITAKAN TENTANG WANITA LAINNYA KEPADA
SUAMINYA.
Al-Bukhari
meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ
تُبَاشِرُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا، كَأَنَّهُ يَنْظُرُ
إِلَيْهَا.
“Janganlah
wanita bergaul dengan wanita lainnya lalu menceritakannya kepada suaminya,
seolah-olah suaminya melihatnya.”
KETUJUH:
IA TIDAK MEMAKAI PARFUM (MINYAK WANGI) KETIKA KELUAR DARI RUMAHNYA DAN
MEMELIHARA HIJABNYA.
Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menutur-kan: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ اْلآخِرَ.
‘Siapa
pun wanita yang mengasapi dirinya dengan pedupaan (sebagai parfum), maka
janganlah ia mengikuti shalat ‘Isya’ yang terakhir bersama kami.'”
Hal ini
dalam hubungannya dengan shalat; maka bagaimana halnya dengan wanita yang
keluar rumah dengan berhias serta memakai parfum untuk selain shalat?!
Bahkan,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita bahwa
shalatnya ini tidak diterima, sekiranya dia pergi ke masjid dengan keadaan
seperti ini. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa dia bertemu seorang
wanita yang memakai parfum hendak menuju ke masjid, maka dia berkata: “Wahai
hamba Allah Yang Mahaperkasa, engkau hendak ke mana?” Ia menjawab: “Ke masjid.”
Abu Hurairah bertanya: “Untuk ke masjid engkau memakai parfum?” Ia menjawab:
“Ya.” Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَـا
امْرَأَةٍ تَطَيَبَّتْ ثُمَّ خَرَجَتْ إِلَى الْمَسْجِدِ لَمْ تُقْبَلْ لَهَا
صَلاَةٌ حَتَّى تَغْتَسِلَ.
‘Wanita
mana saja yang memakai parfum kemudian keluar menuju masjid, maka tidak
diterima shalatnya hingga ia mandi.'”[20]
Dalam
riwayat Ahmad:
فَتَغْتَسِلُ
مِنْ غَسْلِهَا مِنَ الْجَنَابَةِ.
“Maka
dia harus mandi seperti dia mandi dari janabah.”
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa jika wanita memakai wewangian
di rumahnya lalu keluar sehingga orang-orang mencium aromanya, maka dia adalah
pezina. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لَيَجِدُوْا مِنْ رِيْحِهَا
فَهِيَ زَانِيَةٌ.
“Wanita
mana saja yang memakai parfum lalu melintas di hadapan orang-orang agar mereka
mencium aromanya, maka dia adalah pezina.”[21]
C. HUKUM
NIKAH
Nikah
atau perkawinan adalah akad (ijab dan qobul) yang menghalalkan pergaulan antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrim, yang kemudian
menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Pernikahan
harus dilakukan untuk membina kehidupan rumah tangga (suami istri) yang sah,
dalam kaitan ini terdapat persyaratan dan rukun yang harus dipenuhi oleh kedua
belah pihak. Keabsahan perkawinan merupakan azas pokok terciptanya masyarakat
yang baik dan sempurna, oleh karena sebenarnya perkawinan merupakan pertalian
yang sangat kokoh dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami
istri dan anak turunnya, tetapi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya,
bahkan antara satu suku/bangsa dengan suku/bangsa lainnya. Hubungan yang baik
dalam setiap keluarga dan juga dengan keluarga lainnya, merupakan landasan terciptanya suatu masyarakat yang baik dan
saling bekerja sama, hidup tenteram dan aman, sejahtera dan bahagia lahir
bathin di dunia maupun di akhirat.
Dilihat
dari motif terjadinya pernikahan, maka dalam Islam ada lima
hukum nikah, yaitu :
a. Jaiz, artinya boleh kawin dan
boleh juga tidak, jaiz ini merupakan hukum dasar dari pernikahan. Perbedaan
situasi dan kondisi serta motif yang mendorong terjadinya pernikahan menyebabkan
adanya hukum-hukum nikah berikut.
b. Sunat, yaitu apabila seseorang
telah berkeinginan untuk menikah serta memiliki kemampuan untuk memberikan
nafkah lahir maupun bathin.
c. Wajib, yaitu bagi yang memiliki
kemampuan memberikan nafkah dan ada kekhawatiran akan terjerumus kepada
perbuatan zina bila tidak segera melangsungkan perkawinan. Atau juga bagi
seseorang yang telah memiliki keinginan yang sangat serta dikhawatirkan akan
terjerumus dalam perzinahan bila tidak segera kawin.
d. Makruh, yaitu bagi yang tidak
mampu memberikan nafkah. Allah swt. berfirman :
e. Haram, yaitu apabila motivasi
untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti untuk menyakiti istrinya,
keluarganya serta niat-niat jelek lainnya.
D. TUJUAN
NIKAH
Pernikahan
dalam Islam bukanlah sekedar penyaluran nafsu (libido) dan usaha melestarikan
keberadaan manusia di muka bumi, akan tetapi memiliki tujuan yang sangat
esensial dalam hidup dan kehidupan manusia, tujuan dimaksud adalah :
a.
Untuk memperoleh ketentraman
dan kebahagiaan hidup
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً, إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ. الروم : 21
Artinya : “Dan
diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikanNya diantaramu perasaan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” QS. Ar Rum : 21
Ayat di
atas memberikan pedoman bahwa dilaksanakannya pernikahan itu, guna mewujudkan
adanya ketenteraman dan kebahagiaan hidup khususnya dalam kehidupan keluarga,
dan untuk itulah maka Allah swt. menganugerahkan perasaan kasih dan sayang diantara
keduanya.
Dalam
Komplikasi Hukum Islam Buku I Bab II pasa 3, disebutkan bahwa : perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah,
yang mengandung arti suatu keluarga yang diliputi perasaan tenteram, aman dengan
jalinan kasih sayang diantara sesama anggota keluarganya, atau dengan kata lain
suatu keluarga yang bahagia sejahtera lahir dan bathin.
b.
Untuk membentengi diri dari
perbuatan tercela.
Setiap
manusia normal secara fitrah akan mengalami suatu masa puber, mulai merasa
tertarik terhadap lawan jenisnya. Islam sebagai Agama Fitroh memberikan jalan
keluar dengan disyari’atkannya pernikahan, sehingga perasaan yang selalu
menuntut pemenuhan ini tersalurkan dengan baik dan benar. Dengan menikah
manusia akan dapat terhindar dari perbuatan tercela berupa zina dan lain-lain.
Nabi saw. bersabda :
فانـه
اغـضُ للبـصـر واحـسن للـفـرْج رواه
البخارى و مسلم
Artinya : “Sesungguhnya dengan nikah itu, dapat menjaga pandangan mata dan
kehormatan (kemaluan)”. HR. Bukhari Muslim.
Perbuatan
zina merupakan sumber malapetaka bagi manusia, disamping akibatnya yang sangat
tercela dan berbahaya, biasanya bila seseorang terjerumus ke dalam perbuatan
zina maka akan terjerumus pula dalam perjudian dan minuman keras, sebab ketiga
jenis dosa ini sebenarnya merupakan satu paket.
c.
Untuk menjaga dan memperoleh
keturunan yang baik dan sah.
Setelah
terjadinya pernikahan kemudian pada gilirannya setiap manusia akan mengalami
kerinduan akan hadirnya anak, sebagai perwujudan adanya sifat kebapakan dan
keibuan yang timbul dari seorang laki-laki dan perempuan. Dalam kaitan ini
pernikahan lebih banyak diharapkan akan memberikan keturunan akan tetapi
keturunan yang baik dan sah secara hukum. Perhatikan firman Allah swt. berikut
:
رَبَّنَا
هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Artinya : “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada istri-istri
kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertaqwa”. QS. Al Furqon : 74
d.
Mengikuti sunnah Rasul dan
meningkatkan ketaqwaan.
Rasulullah
saw. pernah mencela terhadap seseorang yang bertekat untuk berpuasa, dan bangun
(tidak tidur) setiap hari guna konsentrasi beribadah serta bertekad tidak akan
menikah. Beliau bersabda :
لَكِنِّىْ
اَنَا اُصَلِّىْ وَاَنَامُ وَاَتَـزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُـنَّـتِىْ فَلَيْسَ مِـنَّا متفق عليه
Artinya : “Akan tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka serta aku
menikahi perempuan, maka barang siapa tidak suka akan sunnahku (caraku), maka
bukanlah ia golonganku”. HR. Muttafaq Alaih
Dengan
menikah maka berarti telah melaksanakan setengah dari agama, Nabi saw. bersabda
:
اذا
تز وجَ العبد فقداستكمَل نصفَ الدينِ فليتق الله فى النصف الباقى
Artinya : “Bila telah menikah seorang hamba Allah, maka sesungguhnya ia
menyem-purnakan separuh dari agamanya, maka bertaqwalah kepada Allah dalam
(untuk menyempurnakan) separuh yang tersisa”.
No comments:
Post a Comment