Tuesday 9 June 2015

KUR 2013.XII.1.3 MUNAKAHAH, bagian 1


MUNAKAHAH
PERNIKAHAN DALAM ISLAM
KOMPETENSI INTI
KI 1 :  Menghayati dan mengamalkan  ajaran agama yang dianutnya
KI 2 :  Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun, ramah lingkungan,  gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan pro-  aktif) dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan  alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
KI 3 :  Memahami dan menerapkan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan  wawasan kemanusiaan,  kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
KI 4 :  Mengolah,  menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak  terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
KOMPETENSI DASAR
3.6 Memahami ketentuan pernikahan dalam Islam.
Indikator Pencapaian Kompetensi
3.6.1 Menjelaskan ketentuan hukum Islam tentang nikah
3.6.2 Menjelaskan tujuan nikah
3.6.3 Menjelaskan kewajiban suami istri
3.6.4 Menjelaskan ketentuan hukum Islam tentang talak., iddah dan rujuk
3.6.5 Menjelaskan Ila’, Li’an, Dhihar, Khulu’, Fasah dan Hadanah.         
3.6.6 Menjelaskan hikmah nikah, hikmah talak dan hikmah ruju’
3.6.7 Menjelaskan ketentuan perkawinan menurut perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia.
3.6.8 Menguraikan kompilasi hukum tentang perkawinan di Indonesia
4.6 Memperagakan tata cara pernikahan dalam Islam.
Indikator Pencapaian Kompetensi
4.6.1 Menjelaskan rukun nikah
4.6.2 Menjelaskan tata cara prosesi pernikahan
TUJUAN PEMBELAJARAN
1.  Siswa dapat menjelaskan  ketentuan hukum  perkawinan dalam Islam
2.  Siswa dapat menjelaskan  hikmah perkawinan, Tidak terjadi kdrt
3.  Siswa dapat menjelaskan  ketentuan perkawinan menurut perundang-undangan di Indonesia
4.  Siswa dapat pemperagakan prosesi Walimatul Urusy

KEGIATAN PEMBELAJARAN
·     Mengamati
-      Menyimak bacaan al-Qur’an yang terkait dengan pernikahan dalam Islam secara individu maupun kelompok.
-      Mengamati tayangan video pernikahan dalam Islam. atau mengamati langsung  proses pernikahan.
·     Menanya
-      Mengajukan  pertanyaan  tentang pernikahan dalam Islam, misalnya; apa syarat dan rukun nikah, apa hikmah pernikahan dalam Islam, dan bagaimana kedudukan wanita dalam keluarga
·     Eksperimen/eksplor
-      Menelaah ketentuan pernikahan dalam Islam (syarat dan rukun nikah)
-      Diskusi tentang hikmah pernikan dalam Islam
·     Assosiasi
-      Menyimpulkan ketentuan pernikahan dalam Islam  (syarat dan  rukun nikah)
-      Menyimpulkan hikmah pernikhaan dalam Islam
·     Komunikasi
-      Menyajikan/melaporkan hasil diskusi tentang ketentuan pernikahan dalam Islam.
-      Menanggapi hasil presentasi (melengkapi, mengkonformasi, dan menyanggah).
-      Membuat resume pembelajaran di bawah bimbingan guru.
Mengadakan simulasi prosesi penikahan.
A.  MEMBUJANG
Yang pasti ISLAM melarang melepas kendali gharizah (instink) tanpa batas dan tanpa ikatan, maka ISLAM mengharamkan zina dan seluruh aktifitas yang tergolong mendekati zina.
AKAN TETAPI, Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini, oleh sebab itu maka setiap muslim/muslimah disunnatkan menikah dan melarang hidup membujang. Dalam Islam tidak ada anjuran hidup membujang karena alasan demi berbakti kepada Allah, sementara ia mampu menikah.
Kalaupun ada sebagian ajaran agama yang membolehkan atau bahkan melarang tokoh agamanya untuk menikah, maka ajaran ini sangat bertentangan dengan Islam yang menfasilitasi kecendrungan dasar (fitroh) manusia.
Nabi saw. mengingatkan:
"Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.'"
Dalam Al Qur’an ditegaskan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ [٥:٨٧]
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. QS al-Maidah: 87
Dikatakan oleh Imam Mujahid: Ada beberapa orang laki-laki, di antaranya Usman bin Madh'un dan Abdullah bin Umar bermaksud untuk hidup membujang dan berkebiri serta memakai kain karung goni. Kemudian turunlah ayat di atas.6
B.  MEMINANG (TUNANGAN)
Meminang adalah menyatakan, mengungkapkan permintaan perjodohan dari pihak seorang laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya atau pinangan tersebut disampaikan oleh perantara yang terpercaya. Meminang dengan cara begini diperbolehkan dalam syariat Islam, sedangkan bila si perempuan masih dalam masa iddah bain sebaiknya dengan cara sindiran.
Tidak boleh meminanng perempuan yang masih dalam masa iddah raj’i, atau telah dipinang (menjadi tunangan) seseorang.
Dinyatakan oleh Nabi saw.:
أَلْمُؤْمِنُ أَخُوالْمُؤمِنِ فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَخْطُبَ عَلى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذِرَ
Artinya : Seorang mukmin merupakan saudara dari mukmin lainnya, maka tidak halal (tidak boleh) bagi seorang mukmin meminang seorang perempuan yang telah menjadi tunangan saudaranya, sampai nyata telah ditinggalkannya (diputus). HR. Ahmad dan Muslim.
Seorang mukmin apabila berkehendak untuk menikah dan berkeinginan untuk meminang seorang perempuan tertentu, diperbolehkan melihat perempuan tersebut sebelum ia mulai melangkah ke jenjang perkawinan, supaya dia dapat menghadapi perkawinannya itu dengan jelas dan terang, dan supaya tidak tertipu. Sehingga dengan demikian, dia akan dapat selamat dari berbuat salah dan jatuh ke dalam sesuatu yang tidak diinginkan.
Ini, adalah justru karena mata merupakan duta hati; dan kemungkinan besar bertemunya mata dengan mata itu menjadi sebab dapat bertemunya hati dan berlarutnya jiwa.
Abu Hurairah mengatakan:
"Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu." (Riwayat Muslim)
C.  KRITERIA MEMILIH PASANGAN HIDUP (SUAMI ISTRI}
Terdapat banyak kriteria yang dituntut dari diri wanita, dan dianjurkan menikahi wanita yang memiliki berbagai kriteria tersebut, diantara kriteria-kriteria terpenting.
PERTAMA: MENTAATI AGAMA DAN SANGAT MENCINTAI-NYA.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
“… Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu…” [Al-Hujuraat/49: 13].
Dia berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
“… Sebab itu maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…” [An-Nisaa’/4: 34].
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَـالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.
“Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.”[1]
Anjuran memilih agamanya, ini bukan berarti bahwa kecantikan (kegantengan) itu tidak diperlukan. Tetapi yang dimaksud ialah jangan membatasi pada kecantikan atau kegantengannya, karena itu bukan prinsip dalam memilih isteri atau suami. Pilihlah karena agamanya; dan jika tidak, maka engkau tidak akan bahagia. Yakni, berlumuran dengan tanah berupa aib yang bakal terjadi padamu setelah itu disebabkan isteri atau suami tidak mempunyai agama.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr secara marfu’, ia mengatakan: “Jangan menikahi wanita karena kecantikannya, karena bisa jadi kecantikannya itu akan memburukkannya; dan jangan menikahi wanita karena hartanya, bisa jadi hartanya membuatnya melampui batas. Tetapi, nikahilah wanita atas perkara agamanya. Sungguh hamba sahaya wanita yang sebagian hidungnya terpotong lagi berkulit hitam tapi taat beragama adalah lebih baik.”[2]
Syaikh al-‘Azhim Abad berkata: “Makna ‘fazhfar bidzaatid diin (ambillah yang mempunyai agama)’ bahwa yang pantas bagi orang yang mempunyai agama dan adab yang baik ialah agar agama menjadi pertimbagannya dalam segala sesuatu, terutama berkenaan dengan pendamping hidup.
Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan supaya mencari wanita beragama yang merupakan puncak pencarian. Taribat yadaaka, yakni menempel dengan tanah.” Abu Dawud
Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ، إِنْ أَمَرَهَـا أَطَاعَتْهُ، وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ، وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ، وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِيْ نَفْسِهَا وَمَالِهِ.
“Seorang mukmin tidak mengambil manfaat sesudah takwa kepada Allah, yang lebih baik dibandingkan wanita yang shalihah: Jika memerintahnya, ia mentaatinya; jika memandang kepadanya, ia membuatnya senang; jika bersumpah terhadapnya, ia memenuhi sumpahnya; jika bepergian meninggalkannya, maka ia tulus kepadanya dengan menjaga dirinya dan harta suaminya.” Ibnu Majah
Imam Ahmad meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مِنْ سَعَـادَةِ ابْنُ آدَمَ ثَلاَثَةٌ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْـكَنُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الصَّالِحُ، وَمِنْ شَقَاوَةِ ابْنُ آدَمَ: اَلْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ السُّوْءُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ.
“Kebahagiaan manusia ada tiga: Wanita yang shalihah, tempat tinggal yang baik, dan kendaraan yang baik. Sedangkan ke-sengsaraan manusia ialah: Wanita yang buruk (perangainya), tempat tinggal yang buruk, dan kendaraan yang buruk.” Hr. Ahmad
Ketika turun (ayat al-Qur-an) mengenai perak dan emas, mereka bertanya: ‘Lalu harta apakah yang harus digunakan?’ ‘Umar berkata: ‘Aku akan memberitahu kepadamu mengenai hal itu.’ Lalu dia mengendarai untanya hingga menyusul Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan aku mengikutinya dari belakang. Lalu dia bertanya: ‘Wahai Rasulullah, harta apakah yang akan kita gunakan?’ Beliau menjawab: ‘Hendaklah salah seorang dari kalian mempunyai hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir, dan isteri beriman yang dapat mendukung (me-motivasi) salah seorang dari kalian atas perkara akhirat. HR. Ibnu Majah
Ini Adalah Perumpamaan Hidup Tentang Wanita Yang Taat Beragama, Dan Banyak Bertanya Tentangnya (Juru Bicara Kaum Wanita).
Dari Asma’ binti Yazid al-Anshariyyah, ia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berada di tengah-tengah sahabatnya seraya mengatakan: “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah. Aku utusan para wanita kepadamu. Ketahuilah diriku sebagai tebusanmu, bahwa tidak seorang wanita pun yang berada di timur dan barat yang mendengar kepergianku ini melainkan dia sependapat denganku.
Sesungguhnya Allah mengutusmu dengan kebenaran kepada kaum pria dan wanita, lalu kami beriman kepadamu dan kepada Rabb-mu yang mengutusmu. Kami kaum wanita dibatasi; tinggal di rumah-rumah kalian, tempat pelampiasan syahwat kalian, dan mengandung anak-anak kalian. Sementara kalian, kaum pria, dilebihkan atas kami dengan shalat Jum’at dan berjama’ah, menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah, haji demi haji, dan lebih utama dari itu ialah jihad fii sabiilillaah. Jika seorang pria dari kalian keluar untuk berhaji, berumrah atau berjihad, maka kami memelihara harta kalian, membersihkan pakaian kalian, dan merawat anak-anak kalian. Lalu apa yang bisa membuat kami mendapatkan pahala seperti apa yang kalian dapatkan, wahai Rasulullah?”
Mendengar hal itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada para Sahabatnya, kemudian bertanya: “Apakah kalian pernah mendengar perkataan seorang wanita yang lebih baik daripada wanita ini dalam pertanyaannya tentang urusan agamanya?”
Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah, kami tidak menyangka ada seorang wanita yang mendapat petunjuk seperti ini.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepadanya seraya berkata kepadanya: “Pergilah wahai wanita, dan beritahukan kepada kaum wanita di belakangmu bahwa apabila salah seorang dari kalian berbuat baik kepada suaminya, mencari ridhanya dan menyelarasinya, maka pahalanya menyerupai semua itu.” Kemudian wanita ini berpaling dengan bertahlil dan bertakbir karena gembira dengan apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.HR. ‘Abdurrazzaq
Ilustrasi Mengenai Wanita Yang Rasa Malunya Tidak Menghalanginya Untuk Bertanya Tentang Agamanya.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan: “Ummu Sulaim datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya: ‘Wahai Rasulullah, Allah tidak malu dalam hal kebenaran. Apakah wanita wajib mandi jika bermimpi?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Jika dia melihat air.’” Ummu Salamah menutupi wajahnya dan bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah wanita bermimpi?” Beliau menjawab: “Ya, semoga engkau beruntung, lantas dari mana anaknya dapat mirip dengannya?”
Mereka Adalah Kaum Wanita Yang Mengetahui Keutamaan Ilmu Dan Mencarinya.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ketika kaum wanita merasakan keutamaan ilmu, mereka pergi kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau suatu majelis yang khusus untuk mereka. Abu Sa’id menuturkan: “Seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, kaum pria pergi dengan membawa haditsmu, maka berikan untuk kami sehari dari waktumu di mana kami datang kepadamu pada hari itu agar engkau mengajarkan kepada kami dari apa yang Allah ajarkan kepadamu.’ Beliau bersabda: ‘Berkumpullah kalian pada hari ini dan hari itu di tempat demikian dan demikian.’ Mereka pun berkumpul, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada mereka untuk mengajarkan kepada mereka apa yang Allah ajarkan kepada beliau. Kemudian beliau bersabda: ‘Tidaklah seorang wanita dari kalian mendahulukan tiga perkara dari anaknya, melainkan itu menjadi hijab baginya dari api Neraka.’ Maka seorang wanita dari mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, dua?’ Ia mengulanginya dua kali. Kemudian beliau bersabda: ‘Dua, dua, dua.'”
Dalam riwayat an-Nasa-i disebutkan: “Dikatakan kepada mereka: ‘Masuklah ke dalam Surga.’ Mereka mengatakan: ‘Hingga bapak-bapak kami masuk.’ Maka diperintahkan: ‘Masuklah kalian beserta ayah-ayah kalian.'”
KEDUA: TIDAK MENGENAL KATA-KATA YANG TERCELA.
Ditanyakan kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma: “Siapakah wanita yang paling utama?” Ia menjawab: “Yaitu wanita yang tidak mengenal kata-kata yang tercela dan tidak berfikir untuk menipu suami, serta hatinya kosong kecuali berhias untuk suaminya dan untuk tetap memelihara keluarganya.”
Seorang Arab mengabarkan kepada kita tentang wanita yang sebaiknya dijauhi, ketika berfikir untuk menikah.
Ia mengatakan: “Jangan menikahi enam jenis wanita, yaitu yang annanah, mannanah, hannanah, dan jangan pula menikahi haddaqah, barraqah, dan syaddaqah.”
1.   Annanah ialah wanita yang banyak merintih, mengeluh serta memegang kepalanya setiap saat. Sebab, menikah dengan orang yang sakit atau pura-pura sakit tidak ada manfaatnya.
2.   Mannanah ialah wanita yang suka mengungkit-ungkit (kebaikan) di hadapan suaminya, dengan mengatakan: “Aku telah melakukan demikian dan demikian karenamu.”
3.   Hannanah ialah wanita yang senantiasa rindu kepada suaminya yang lain (yang terdahulu) atau anaknya dari suami yang lain. Ini pun termasuk jenis yang harus dijauhi.
4.   Haddaqah ialah wanita yang memanah segala sesuatu dengan kedua matanya lalu menyukainya dan membebani suami untuk membelinya.
Barraqah mengandung dua makna:
a.   Wanita yang sepanjang hari merias wajahnya agar wajahnya menjadi berkilau yang diperoleh dengan cara meriasnya.
b.   Marah terhadap makanan. Ia tidak makan kecuali sendirian dan menguasai bagiannya dari segala sesuatu. Ini bahasa Yaman. Mereka mengatakan: “Bariqat al-Mar-ah wa Bariqa ash-Shabiyy ath-Tha’aam,” jika marah pada makanan itu.
Dan syaddaqah ialah wanita yang banyak bicara.[10]
KETIGA: DI ANTARA SIFATNYA IALAH BERSABAR DAN TIDAK BERSEDIH.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia menuturkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُوْدَ وَشَقَّ الْجُيُوْبَ وَدَعَـا بَدُعَـاءِ الْجَـاهِلِيَّةِ.
‘Bukan termasuk golonganku orang yang menampar pipi dan merobek saku baju serta berseru dengan seruan Jahiliyyah (ketika mendapat musibah).'”
Seruan Jahiliyah, sebagaimana kata al-Qadhi: “Ialah meratapi mayit dengan mengutuk.”
Dalam kitab ash-Shahiihain, dari Abu Musa al-Asy’ari, ia berkata: “Abu Musa sakit keras, lalu dia pingsan dan kepalanya berada di pangkuan salah seorang isterinya, maka isterinya berteriak dan Abu Musa tidak mampu mencegahnya sedikit pun. Ketika siuman, dia berkata: ‘Aku berlepas diri dari orang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri shaliqah, haliqah, dan syaqqah. HR. Imam Bukhari
(haliqah wanita yang mengeraskan suaranya dan meraung-raung ketika mendapatkan musibah, haaliqah ialah wanita yang menggunting rambutnya ketika mendapat musibah, dan syaaqqah ialah wanita yang merobek bajunya (ketika mendapat musibah)
“Ketika Abu Salamah meninggal, aku mengatakan: ‘Ia asing dan di bumi asing.’ Sungguh aku akan menangisinya dengan tangisan yang akan terus dibicarakan orang. Aku telah siap untuk menangisinya. Tiba-tiba datang seorang wanita dari dataran tinggi bermaksud menyertaiku (dalam tangisan). Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadangnya seraya bertanya: ‘Apakah engkau ingin memasukkan syaitan ke dalam rumah yang telah Allah bebaskan darinya?’ Diucapkannya dua kali. Lalu aku menahan tangisan, sehingga aku tidak menangis.” HR. Muslim
KEEMPAT: DIA TIDAK MEREMEHKAN DOSA.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Suhail bin Sa’ad, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:
إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوْبِ، كَقَوْمٍ نَزَلُوا فِي بَطْنِ وَادٍ فَجَاءَ ذَا بِعُوْدٍ وَجَـاءَ ذَا بِعُوْدٍ، حَتَّـى انْضَجُوْا خُبْزَتَهُمْ، وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوْبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكُهُ.
‘Janganlah kalian meremehkan dosa-dosa kecil, seperti kaum yang berada di perut lembah lalu masing-masing orang membawa sepotong kayu sehingga dapat menanak roti mereka. Sesungguhnya bila dosa-dosa kecil itu pelakunya dihukum, maka dosa-dosa tersebut akan mencelakakannya.'”
KELIMA: IA BERAKHLAK MULIA.
Inilah wanita yang senantiasa mempergauli suaminya dengan akhlak mulianya.
Ibnu Ja’dabah berkata: “Di tengah kaum Quraisy ada seorang pria yang berakhlak buruk. Tetapi tangannya suka berderma, dan dia orang yang berharta. Bila dia menikahi wanita, dipastikan dia akan menceraikannya karena akhlaknya yang buruk dan kurangnya ketabahan isterinya.
Kemudian dia meminang seorang wanita Quraisy yang berkedudukan mulia. Ia telah mendapatkan kabar tentang keburukan akhlaknya. Ketika mahar diputuskan di antara keduanya, pria ini berkata: ‘Wahai wanita, sesungguhnya pada diriku terdapat akhlak yang buruk dan itu tergantung pada ketabahan, jika engkau bersabar terhadapku (maka kita lanjutkan pernikahan ini), namun jika tidak, maka aku tidak ingin memperdayamu terhadapku.’
Wanita ini mengatakan: ‘Sesungguhnya orang yang akhlaknya lebih buruk darimu ialah orang yang membawamu kepada akhlak yang buruk.’ Akhirnya wanita ini menikah dengannya, dan tidak pernah terjadi di antara keduanya kata-kata (cerai) hingga kematian memisahkan di antara keduanya.”
KEENAM: DI ANTARA SIFATNYA IALAH TIDAK MENCERITAKAN TENTANG WANITA LAINNYA KEPADA SUAMINYA.
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ تُبَاشِرُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا، كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا.
“Janganlah wanita bergaul dengan wanita lainnya lalu menceritakannya kepada suaminya, seolah-olah suaminya melihatnya.”
KETUJUH: IA TIDAK MEMAKAI PARFUM (MINYAK WANGI) KETIKA KELUAR DARI RUMAHNYA DAN MEMELIHARA HIJABNYA.
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menutur-kan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ اْلآخِرَ.
‘Siapa pun wanita yang mengasapi dirinya dengan pedupaan (sebagai parfum), maka janganlah ia mengikuti shalat ‘Isya’ yang terakhir bersama kami.'”
Hal ini dalam hubungannya dengan shalat; maka bagaimana halnya dengan wanita yang keluar rumah dengan berhias serta memakai parfum untuk selain shalat?!
Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita bahwa shalatnya ini tidak diterima, sekiranya dia pergi ke masjid dengan keadaan seperti ini. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa dia bertemu seorang wanita yang memakai parfum hendak menuju ke masjid, maka dia berkata: “Wahai hamba Allah Yang Mahaperkasa, engkau hendak ke mana?” Ia menjawab: “Ke masjid.” Abu Hurairah bertanya: “Untuk ke masjid engkau memakai parfum?” Ia menjawab: “Ya.” Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَـا امْرَأَةٍ تَطَيَبَّتْ ثُمَّ خَرَجَتْ إِلَى الْمَسْجِدِ لَمْ تُقْبَلْ لَهَا صَلاَةٌ حَتَّى تَغْتَسِلَ.
‘Wanita mana saja yang memakai parfum kemudian keluar menuju masjid, maka tidak diterima shalatnya hingga ia mandi.'”[20]
Dalam riwayat Ahmad:
فَتَغْتَسِلُ مِنْ غَسْلِهَا مِنَ الْجَنَابَةِ.
“Maka dia harus mandi seperti dia mandi dari janabah.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa jika wanita memakai wewangian di rumahnya lalu keluar sehingga orang-orang mencium aromanya, maka dia adalah pezina. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لَيَجِدُوْا مِنْ رِيْحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ.
“Wanita mana saja yang memakai parfum lalu melintas di hadapan orang-orang agar mereka mencium aromanya, maka dia adalah pezina.”[21]
C.  HUKUM NIKAH
Nikah atau perkawinan adalah akad (ijab dan qobul) yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrim, yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Pernikahan harus dilakukan untuk membina kehidupan rumah tangga (suami istri) yang sah, dalam kaitan ini terdapat persyaratan dan rukun yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Keabsahan perkawinan merupakan azas pokok terciptanya masyarakat yang baik dan sempurna, oleh karena sebenarnya perka­winan merupakan pertalian yang sangat kokoh dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan anak tur­unnya, tetapi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya, bahkan antara satu suku/bangsa dengan suku/bangsa lainnya. Hubungan yang baik dalam setiap keluarga dan juga dengan keluarga lainnya, merupakan landasan  terciptanya suatu masyarakat yang baik dan saling bekerja sama, hidup tenteram dan aman, sejahtera dan bahagia lahir bathin di dunia maupun di akhirat.
Dilihat dari motif terjadinya pernikahan, maka dalam Islam  ada lima hukum nikah, yaitu :
a.   Jaiz, artinya boleh kawin dan boleh juga tidak, jaiz ini merupakan hukum dasar dari pernikahan. Perbedaan situasi dan kondisi serta motif yang mendorong terjadinya pernikahan menye­babkan adanya hukum-hukum nikah berikut.
b.   Sunat, yaitu apabila seseorang telah berkeinginan untuk meni­kah serta memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun bathin.
c.   Wajib, yaitu bagi yang memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zina bila tidak segera melangsungkan perkawinan. Atau juga bagi seseorang yang telah memiliki keinginan yang sangat serta dikhawatirkan akan terjerumus dalam perzinahan bila tidak segera kawin.
d.   Makruh, yaitu bagi yang tidak mampu memberikan nafkah. Allah swt. berfirman :
e.   Haram, yaitu apabila motivasi untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti untuk menyakiti istrinya, keluarganya serta niat-niat jelek lainnya.
D.  TUJUAN NIKAH
Pernikahan dalam Islam bukanlah sekedar penyaluran nafsu (libido) dan usaha melestarikan keberadaan manusia di muka bumi, akan tetapi memiliki tujuan yang sangat esensial dalam hidup dan kehidupan manusia, tujuan dimaksud adalah :
a.     Untuk memperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً, إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ. الروم  : 21
Artinya :   “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia mencip­takan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya dia­ntaramu perasaan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” QS. Ar Rum : 21
Ayat di atas memberikan pedoman bahwa dilaksanakannya pernikahan itu, guna mewujudkan adanya ketenteraman dan kebahagiaan hidup khususnya dalam kehidupan keluarga, dan untuk itulah maka Allah swt. menganugerahkan perasaan kasih dan sayang diantara keduanya.
Dalam Komplikasi Hukum Islam Buku I Bab II pasa 3, disebutkan bahwa : perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah, yang mengandung arti suatu keluarga yang diliputi perasaan tenteram, aman dengan jalinan kasih sayang diantara sesama anggota keluarganya, atau dengan kata lain suatu keluarga yang bahagia sejahtera lahir dan bathin.
b.     Untuk membentengi diri dari perbuatan tercela.
Setiap manusia normal secara fitrah akan mengalami suatu masa puber, mulai merasa tertarik terhadap lawan jenisnya. Islam sebagai Agama Fitroh memberikan jalan keluar dengan disyari’atkannya pernikahan, sehingga perasaan yang selalu menuntut pemenuhan ini tersalurkan dengan baik dan benar. Dengan menikah manusia akan dapat terhindar dari perbuatan tercela berupa zina dan lain-lain. Nabi saw. bersabda :
فانـه اغـضُ للبـصـر واحـسن للـفـرْج   رواه البخارى و مسلم
Artinya :   “Sesungguhnya dengan nikah itu, dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan (kemaluan)”.  HR. Bukhari Muslim.
Perbuatan zina merupakan sumber malapetaka bagi manusia, disamp­ing akibatnya yang sangat tercela dan berbahaya, biasanya bila seseorang terjerumus ke dalam perbuatan zina maka akan terjerumus pula dalam perjudian dan minuman keras, sebab ketiga jenis dosa ini sebenarnya merupakan satu paket.
c.     Untuk menjaga dan memperoleh keturunan yang baik dan sah.
Setelah terjadinya pernikahan kemudian pada gilirannya setiap manusia akan mengalami kerinduan akan hadirnya anak, sebagai perwujudan adanya sifat kebapakan dan keibuan yang timbul dari seorang laki-laki dan perempuan. Dalam kaitan ini pernikahan lebih banyak diharapkan akan memberikan keturunan akan tetapi keturunan yang baik dan sah secara hukum. Perhatikan firman Allah swt. berikut :
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Artinya :   “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada  istri-istri  kami  dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. QS. Al Furqon : 74
d.     Mengikuti sunnah Rasul dan meningkatkan ketaqwaan.
Rasulullah saw. pernah mencela terhadap seseorang yang bertekat untuk berpuasa, dan bangun (tidak tidur) setiap hari guna konsen­trasi beribadah serta bertekad tidak akan menikah. Beliau bersabda :
لَكِنِّىْ اَنَا اُصَلِّىْ وَاَنَامُ وَاَتَـزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُـنَّـتِىْ فَلَيْسَ مِـنَّا    متفق عليه
Artinya :   “Akan tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka serta aku menikahi perempuan, maka barang siapa tidak suka akan sunnahku (caraku), maka bukanlah ia golonganku”. HR. Muttafaq Alaih
Dengan menikah maka berarti telah melaksanakan setengah dari agama, Nabi saw. bersabda :
اذا تز وجَ العبد فقداستكمَل نصفَ الدينِ فليتق الله فى النصف الباقى  

Artinya :   “Bila telah menikah seorang hamba Allah, maka sesung­guhnya ia menyem-purnakan separuh dari agamanya, maka bertaqwalah kepada Allah dalam (untuk menyempurnakan) separuh yang tersisa”.

No comments:

Post a Comment