XII.1.4
|
HAK DAN KEDUDUKAN
WANITA DALAM KELUARGA
|
ARTIKEL 2
MEMPERTEGAS KEDUDUKAN
PEREMPUAN DALAM ISLAM
Sumber :http://alislamiyah.uii.ac.id/2013/08/23/mempertegas-kedudukan-perempuan-dalam-islam/
Oleh: Aang Kunaepi, MA
Muqaddimah
Seiring dengan pesatnya gerakan
feminisme, muncul wacana adanya gugatan terhadap hukum-hukum agama, terutama
hukum Islam. Hukum Islam oleh kaum feminis dipandang sebagai salah satu basis
yang menjadi akar pandangan diskriminatif terhadap perempuan. Gugatan tersebut
pada gilirannya dialami juga oleh al-Qur’ân sebagai sumber hukum tertinggi dari
hukum Islam. Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab
antara pria dan perempuan telah semarak di panggung modernisasi dewasa ini.
Sebagai peluang buat musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan aktivis perempuan
anti Islam untuk menyebarkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”,
“kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” adalah sebagai propaganda
yang tiada henti dijejalkan di benak-benak perempuan Islam.
Dikesankan bahwa perempuan-perempuan
muslimah yang menjaga kehormatan dan kesuciannya dengan tinggal di rumah adalah
perempuan-perempuan pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab
atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya,
direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan
budaya. Sehingga teropinikan perempuan muslimah itu tak lebih dari sekedar
calon ibu rumah tangga yang tahunya hanya dapur, sumur, dan kasur. Oleh karena
itu agar perempuan bisa maju, harus direposisi ke ruang publik yang
seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara
apapun seperti halnya kaum lelaki di masa modern dewasa ini.
Karena gencarnya arus feminisme
tersebut, para pemikir muslim kontemporer kemudian menelaah kembali hukum
Islam. Dari penelaahan tersebut akhirnya tersimpulkan bahwa yang salah bukanlah
al-Qur’ânnya, akan tetapi penafsiran atasnya lah yang keliru. Mereka pun lalu
berusaha untuk menafsirkan ulang ayat-ayat al-Qur’ân yang berkaitan dengan
perempuan.
Dari situlah kemudian muncul berbagai
macam produk penafsiran baru yang sangat beragam. Produk-produk tafsir baru ini
memang rata-rata sangat emansipatoris, humanis dan populis. Namun sayangnya,
penafsiran yang mereka lakukan sering kali tidak ditopang oleh metode dan
kaidah penafsiran yang benar sebagaimana yang telah disepakati para ulama. Atau
dengan bahasa yang lebih ekstrem, mereka seringkali menyeret maksud al-Qur’ân
dari maksudnya yang sebenarnya hanya demi tujuan agar al-Qur’ân bisa tampil
populer di era emansipasi ini dan tidak terkesan ketinggalan jaman.[3]
Akibatnya, bagaimana sebenarnya
al-Qur’ân berbicara tentang kedudukan perempuan pun menjadi kabur. Oleh
karena itulah maka perlu kiranya menggali kembali dari ayat-ayat al-Qur’ân yang
berbicara tentang perempuan tanpa melupakan kondisi yang ada saat ini dengan
mempertimbangkan secara seimbang dan proporsional tiga hal yang sangat penting
dalam penafsiran, yaitu teks, konteks (kondisi sosio-kultural pada saat
turunnya al-Qur’ân dan masa kini) serta kontekstualisasi.[4]
Al-Qur’ân sendiri sebenarnya sangat
banyak dalam membicarakan perempuan. Perempuan dalam al-Qur’ân diekspresikan
dengan kata al-Nisa’, al-Zaujah, al-Umm, al-Bint, al-Untsâ,
kata sifat yang disandarkan pada bentuk mu’annats dan berbagai kata
ganti (pronoun) yang menunjuk jenis kelamin perempuan. Khusus mengenai
kata al-Nisâ’, kata ini adalah bentuk jamak dan kata al-Mar’ah
yang dalam al-Qur’ân berarti manusia yang berjenis kelamin perempuan (QS
al-Nisâ’ [4]: 7) dan istri-istri (QS al-Baqarah [2]: 222).
Kata al-Nisâ’ dengan berbagai bentuknya
disebutkan dalam al-Qur’ân sebanyak 59 kali. Sehingga jelaslah bahwa al-Qur’ân
sebenarnya sangat peduli dengan makhluk bernama perempuan ini. [5]
Lalu bagaimana sebenarnya al-Qur’ân
berbicara mengenai kedudukan perempuan dalam konteks saat ini?
1.
Asal Kejadian Perempuan
Berbicara tentang kedudukan perempuan dalam al-Qur’ân, perlu
terlebih dulu mengetahui asal kejadian makhluk bernama perempuan dan hikmah
dibalik itu menurut pandangan al-Qur’ân. Hal ini menjadi penting karena
penafsiran yang salah atasnya biasanya menjadi pemicu awal anggapan yang rendah
terhadap perempuan.
Ayat yang berbicara tentang awal kejadian/penciptaan
perempuan adalah firman Allâh dalam surat al-Nisâ’ ayat 1:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya : “Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama) dan darinya Allâh menciptakan
pasangannya dan dari keduanya Allâh memperkembangkan lelaki dan perempuan yang
banyak.” (QS al-Ni’â’ [4]: 1)
Tokoh tafsir bi al-Ra’yi, yaitu Imam Zamakhsyari mengartikan
kata “nafs” dengan Adam.[6] Begitu juga tokoh tafsir bi al-Ma’tsur,
yaitu Ibnu Katsîr dan al-Qurthubi. Para pakar tafsir lain yang mengartikan kata
nafs dengan Adam di antaranya adalah Jalaluddin al-Suyuthi, Ibn ‘Abbas,
al-Biqa’i, Abu Al-Su’ud, al-Baidhawiy, dan lain-lain.[7]
Memang banyak sekali para mufassirin klasik yang berpendapat
demikian sehingga tidaklah berlebihan kiranya apabila al-Tabarsi, salah seorang
ulama tafsir bermazhab Syi’ah (abad 6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa
seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.[8] Bahkan lebih tegas lagi, al-Razy
berani mengatakan, seluruh orang Islam sepakat bahwa yang dimaksud oleh kata nafs
di sini adalah Adam.
Tentunya pernyataan al-Tabarsi dan al-Razi tersebut adalah
berdasarkan pengamatan mereka terhadap ulama tafsir yang hidup sebelum, atau
paling tidak sezaman dengan masing-masing keduanya. Meskipun banyak juga
mufassir modern yang masih mengikuti pendapat ulama klasik, seperti Wahbah al-Zuhailiy,
Muhammad ‘Ali Al-Shabuniy, dan Sa’id Hawwa, namun penilaian keduanya tidak
relevan lagi apabila kita berlakukan saat ini, karena ternyata banyak juga para
pemikir Islam modern yang tidak berpendapat seperti itu.[9]
Al-Thabaththabâ’i dalam tafsirnya menulis, “Perempuan (Hawa)
diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam dan ayat tersebut sedikit pun tidak
mendukung faham sementara mufassir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan
dari tulang rusuk Adam.” Begitu juga pendapat Rasyid Ridho dalam tafsir
al-Manarnya dan rekannya al-Qasimi. Mereka mengartikan kata nafs tidak sebagai
Adam, tapi mengartikannya dengan jenis. Artinya, Adam dan Hawa diciptakan dari
jenis yang sama, bukannya Hawa diciptakan dari Adam.[10]
Ide penafsiran kata nafs dengan Adam menurut Rasyid Ridho
adalah akibat adanya pengaruh dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama
(Kejadian II: 21-22) yang mengatakan bahwa ketika Adam tertidur lelap, maka
diambil oleh Allâh sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu
dengan daging, maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam tersebut,
dibuat Tuhan seorang perempuan. Selanjutnya dia mengatakan, seandainya tidak
tercantum kisah kejadian perempuan dalam Perjanjian Lama seperti redaksi di
atas, niscaya pendapat yang mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang
rusuk Adam tidak akan pernah terlintas dalam benak seorang Muslim.[11]
Pendapat penciptaan perempuan dari tulang rusuk ada agaknya
bersumber dari sebuah hadits Nabi,
“Saling berpesanlah untuk berbuat baik pada perempuan,
karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.”(HR. Tirmidzi dll.).
Ulama-ulama klasik memahami hadits tersebut secara harfiah
sehingga timbul pemahaman seperti itu. Sedangkan para ulama kontemporer banyak
yang memahami secara metafora, bahkan ada yang menolak keshahihan hadits
tersebut. Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadits tesebut berisi
peringatan untuk kaum laki-laki agar senantiasa bersikap hati-hati, bijaksana
dan tidak kasar dalam menghadapi perempuan karena mereka mempunyai sifat,
karakter dan kecenderungan yang tidak sama dengan laki-laki. Kaum laki-laki
tidak akan mampu merubah karakter dan sifat bawaan perempuan yang kadang membuat
mereka kesal, atau bahkan emosional tersebut. Kalaupun mereka berusaha, maka
akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang
bengkok.
Sebenarnya dalam masalah ini lebih cenderung pada pendapat
jumhur ulama. Alasannya adalah, Rasyid Ridho tidak bisa membuktikan secara
empiris pengaruh Perjanjian Lama terhadap penafsiran para ulama klasik.
Pernyataan Rasyid Ridho bahwa penafsiran terciptanya perempuan dari diri Adam
merupakan pengaruh dari “Israiliyyat” (Perjanjian Lama) adalah baru sebatas
hipotesa. Pada kenyataannya, tidak satu pun kitab tafsir yang berpendapat
demikian menjelaskan bahwa pengartian yang seperti itu bersumber pada cerita
ahli kitab atau Perjanjian Lama. Sehingga kalau ternyata sama, menurut hemat
penulis, persamaan itu adalah merupakan suatu kebetulan saja.
Seandainya pun dugaan adanya pengaruh Isarailiyyat
memang ternyata benar, hal itu tidak menjadi masalah dan tidak menyebabkan
penafsiran tersebut tidak layak diikuti. Dalam Ilmu Tafsir, Israiliyyat
dibenarkan untuk diadopsi selama tidak bertentangan dengan nash-nash al-Qur’ân
dan Sunnah. Pada kenyataannya tak ada satu pun ayat al-Qur’ân yang bertentangan
dengan pemahaman terciptanya perempuan dari Adam, justru ada hadits yang
mendukungnya apabila dilihat dzôhiril lafdzi-nya.
Perempuan memang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Namun yang perlu ditekankan
adalah, jangan sampai penafsiran tersebut mempunyai implikasi anggapan rendah
terhadap makhluk bernama perempuan. Karena yang berkembang selama ini,
pandangan tersebut seringkali dijadikan legitimasi pandangan minus terhadap
perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa
lelaki perempuan tidak pernah ada dan dia diciptakan adalah semata-mata untuk
melayani laki-laki.
Faidah diciptakannya perempuan pertama (Hawa) dari laki-laki
(Adam) adalah untuk menunjukkan kekuasaan Allâh yang mampu menciptakan sesuatu
yang hidup dari yang hidup dengan tanpa melalui proses reproduksi sebagaimana
Dia mampu menciptakan sesuatu yang hidup dari benda mati. Dengan demikian, Adam
diciptakan dari debu, Isa dari perempuan tanpa laki-laki, sedangkan Hawa
diciptakan dari laki-laki tanpa perempuan. Allâh berkuasa atas segala sesuatu.
Adapun hikmah dari disebutkannya hal itu dalam surat
al-Nisâ’ ayat 1 adalah agar manusia merasa mempunyai persamaan satu sama lain.
Manusia berasal dari nasab yang satu, bapak yang satu, yaitu Adam, sehingga
sudah seharusnyalah mereka hidup bersaudara, saling tolong-menolong dan
mengasihi, bukannya berseteru dan menindas satu sama lain.
Dengan demikian, anggapan rendah terhadap perempuan yang
didasarkan pada al-Nisâ’ ayat 1 adalah tidak tepat sama sekali. Diciptakannya
perempuan dan laki-laki sama sekali tidak bisa dijadikan legitimasi lebih
tingginya derajat kemanusiaan laki-laki atas perempuan, karena al-Qur’ân
berkali-kali menegaskan persamaan laki-laki dan perempuan. Dalam surat
Ali’Imrân ayat 195 Allâh berfirman, “Sebagian kamu adalah bagian dari
sebagian yang lain.”
Maksudnya adalah, laki-laki berasal dari laki-laki dan
perempuan, begitu juga perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. Kedua
jenis kelamin ini sama-sama manusia, tak ada kelebihan satu sama lain dalam
penilaian iman dan amalnya. Bahkan keduanya akan selalu saling membutuhkan,
terutama dalam proses reproduksi untuk mempertahankan eksistensinya mereka.
Atas dasar persamaan keduanya dalam kapasitasnya sebagai hamba Allâh itulah
Tuhan menegaskan: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal, baik dari laki-laki maupun permpuan).” (QS Ali’Imrân [3]:
195).
Maksud dari ayat-ayat semacam ini tidak lain adalah untuk
mengikis habis anggapan bahwa kaum pria adalah superior dan kaum perempuan
inferior. Islam memandang kedua jenis kelamin ini dalam posisi yang seimbang
karena pada hakikatnya semua manusia adalah sama derajat kemanusiaannya. Tidak
ada kelebihan satu dibanding yang lainnya disebabkan oleh suku, ras, golongan,
agama dan jenis kelamin mereka.
Menurut Islam, nilai kemuliaan manusia semata-mata hanya
terletak pada ketaqwaannya, sebagaimana firman Allâh, “Wahai seluruh
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dai lelaki dan
perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling
bertakwa.” (QS al-Hujurât [49]: 13).
2.
Kedudukan Perempuan Sebelum Islam
Panjang sudah zaman yang dilalui umat manusia yang berdiam
di bumi Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ ini. Sekian waktu mereka lalui
dalam memakmurkan bumi karena Allâh memang menjadikan manusia sebagai khalifah
di bumi-Nya. Dia Yang Maha Tinggi berfirman kepada para malaikat-Nya
sebagaimana diabadikan dalam Tanzil-Nya yang mulia:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً
Artinya : “Ingatlah ketika
Rabbmu berkata kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi” (QS Al-Baqarah [2]: 30).
Manusia pun membangun kehidupan dan peradaban mereka,
generasi demi generasi, silih berganti. Namun sejarah mencatat sisi gelap
perlakuan mereka terhadap makhluk Allâh yang bernama perempuan.
Kesewenang-wenangan dan penindasan mewarnai hari-hari kaum perempuan dalam
kegelapan alam jahiliyyah, baik di kalangan bangsa Arab maupun di kalangan ‘ajam
(non Arab). Perlakuan jahat dan ketidaksukaan orang-orang jahiliyyah terhadap
perempuan ini diabadikan dalam Al-Qur’ânul:
وَإِذَا
بُشِّرَ أَحَدُهُمْ
بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ
أَيُمْسِكُهُ
عَلَى
هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
Artinya : “Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan
kelahiran anak perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia
menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya
berita yang disampaikan kepadanya. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya
dengan menanggung kehinaan
ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah
buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS al-Nahl [16]: 58-59).
وَإِذَا
الْمَوْءُوْدَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
Artinya : “Dan apabila anak perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya
karena dosa apakah ia dibunuh?”
(QS al-Takwîr [81]: 8-9)
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullâhu menyatakan
bahwa anak perempuan itu dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyyah karena
mereka tidak suka dengan anak perempuan. Apabila anak perempuan itu selamat
dari tindakan tersebut dan tetap hidup maka ia hidup dalam keadaan dihinakan,
ditindas dan didzalimi, tidak diberikan hak waris walaupun si perempuan sangat
butuh karena fakirnya. Bahkan justru ia menjadi salah satu benda warisan bagi
anak laki-laki suaminya apabila suaminya meninggal dunia. Dan seorang pria
dalam adat jahiliyyah berhak menikahi berapa pun perempuan yang diinginkannya
tanpa ada batasan dan tanpa memerhatikan hak-hak para istrinya.[12]
Ini kenyataan di kalangan bangsa Arab sebelum diutusnya
Rasulullah, kenyataan buruk yang sama juga terdapat pada bangs-bangsa lain.
Kita tengok perlakuan bangsa Yunani dan Romawi yang dulunya dikatakan telah
memiliki “peradaban yang tinggi”. Mereka menempatkan perempuan tidak lebih dari
sekedar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran. Perempuan
di sisi mereka tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberi hak
waris.[13]
Bagi bangsa Yahudi, perempuan adalah makhluk terlaknat
karena sebabnyalah Nabi Adam melanggar larangan Allâh hingga dikeluarkan dari
surga. Sebagian golongan Yahudi menganggap ayah si perempuan berhak
memperjualbelikan putrinya. Perempuan juga dihinakan oleh para pemeluk agama
Nasrani. Sekitar abad ke-5 Masehi, para pemuka agama ini berkumpul untuk
membahas masalah perempuan; apakah perempuan itu sekedar tubuh tanpa ruh di
dalamnya, ataukah memiliki ruh sebagaimana lelaki? Keputusan akhir mereka
menyatakan perempuan itu tidak memiliki ruh yang selamat dari azab neraka
Jahannam, kecuali Maryam ibu ‘Isa.[14] Dalam tradisi Yahudi perempuan dianggap sebagai sumber
laknat, karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga. Anehnya,
anggapan semacam ini masih banyak orang yang mempercayainya dengan berujar,
walaupun terusirnya manusia dari surga adalah takdir, akan tetapi seandainya
tidak ada Hawa (perempuan) yang menyebabkan Adam makan buah khuldi, niscaya
manusia sampai saat ini tetap berada di surga. Di Hindustan, perempuan dianggap
jelek, sepadan dengan kematian, neraka, racun dan api. Bila seorang suami
meninggal dan jenazahnya diperabukan maka si istri yang jelas-jelas masih hidup
harus ikut dibakar bersama jenazah suaminya.[15]
Anggapan ini jelas sangat keliru, karena menurut al-Qur’ân,
godaan Iblis tidak hanya ditujukan pada perempuan (Hawa) yang kemudian
menyebabkan laki-laki (Adam) tergelincir bersamanya. Akan tetapi godaan dan
rayuan Iblis itu ditujukan pada keduanya. Hal ini bisa kita lihat misalnya dalm
firman Allâh: “Maka Setan membisikkan pikiran jahat pada keduanya.” (QS
al-A’râf [7]: 20).
Juga firman Allâh, “Janganlah kalian (Adam dan Hawa)
dekati pohon ini” (QS al-Baqarah [2]: 35). Dan di ayat yang lain, “Lalu
keduanya digelincirkan oleh Setan dari surga itu.”(QS Al-Baqarah [2]: 36).
Ayat-ayat al-Qur’ân yang membicarakan kisah ini tidak ada
yang menggunakan kata ganti perempuan kedua tunggal, akan tetapi menggunakan
kata ganti (dhamir) tatsniyyah yang berarti menunjuk pada Adam
dan Hawa sekaligus, bukan hanya Hawa. Bahkan, dalam ayat yang bercerita tentang
kisah ini dengan bentuk kata ganti tunggal, maka ayat tersebut justru menunjuk
pada kaum laki-laki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya,
seperti firman Allâh: “Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya
(Adam) dan berkata: Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan
kerajaan yang tak pernah punah?” (QS Thâha [20]: 20).
Redaksi ayat-ayat Al-Qur’ân yang seperti itu tadi jelas
sangat bertentangan dengan anggapan perempuan sebagai sumber petaka. Karena
menurut Al-Qur’ân, keduanya sama-sama digoda oleh syaitan, sama-sama
tergelincir dan bersama-sama mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.
Sekali lagi, walaupun anggapan seperti ini masih
dipercayai banyak orang, termasuk orang-orang Islam sendiri, anggapan tersebut
adalah merupakan upaya untuk mendiskreditkan perempuan dan sangat bertentangan
dengan nash-nash al-Qur’ân. Al-Qur’ân tidak pernah menganggapnya sebagai sumber
bencana dan petaka, namun justru berusaha meluruskan pandangan keliru yang
terkait dengan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.[16]
3.
Kodrat Kedudukan Perempuan
Islam datang dengan cahayanya yang menerangi dunia.
Kedzaliman terhadap perempuan pun terangkat. Islam menetapkan insaniyyah
(kemanusiaan) seorang perempuan layaknya seorang lelaki, di mana Allâh
berfirman:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
Artinya : “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang
laki-laki dan perempuan…” (QS al-Hujurât [49]: 13).
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً
Artinya : “Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah
menciptakan kalian dari jiwa yang satu, kemudian Dia ciptakan dari jiwa yang
satu itu pasangannya. Lalu dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak.” (QS al-Nisâ` [4]: 1).
Sebagaimana perempuan berserikat dengan lelaki dalam
memperoleh pahala dan hukuman atas amalan yang dilakukan. Allâh berfirman:
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُوْنَ
Artinya : “Siapa yang beramal shalih dari kalangan laki-laki ataupun
perempuan sedangkan ia dalam keadaan beriman maka Kami akan menganugerahkan
kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan memberikan balasan pahala kepada
mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (QS al-Nahl
[16]: 97).
Dan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:
لِيُعَذِّبَ
اللهُ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَالْمُشْرِكَاتِ
وَيَتُوْبَ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
Artinya : “Agar Allâh mengazab orang-orang munafik, baik dari kalangan
laki-laki maupun perempuan, dan orang-orang musyrik, baik dari kalangan
laki-laki maupun perempuan. Dan agar Allâh mengampuni orang-orang yang beriman,
baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan…” (QS al-Ahzâb [33]: 73).
Allâh mengharamkan perempuan dijadikan barang warisan
sepeninggal suaminya.
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kalian mewarisi
para perempuan secara paksa.” (QS al-Nisâ`[4]: 19)
Bahkan perempuan dijadikan sebagai salah satu ahli waris
dari harta kerabatnya yang meninggal. Allâh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
لِلرِّجَالِ
نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُوْنَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ
مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ
Artinya : “Bagi para lelaki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua
orang tua dan kerabat-kerabatnya. Dan bagi para perempuan ada hak bagian dari
harta peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit ataupun
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS al-Nisâ` [4]: 7)
Dalam masalah pernikahan, Allâh membatasi laki-laki hanya
boleh mengumpulkan empat istri, dengan syarat harus berlaku adil dengan sekuat
kemampuannya di antara para istrinya. Dan Allâh wajibkan bagi suami untuk
bergaul dengan ma’ruf terhadap istrinya. Firman Allâh:[17]
وَعَاشِرُوْهُنَّ
بِالْمَعْرُوْفِ
Artinya : “Dan bergaullah kalian dengan para istri dengan cara yang
ma’ruf.” (QS al-Nisâ` [4]: 19).
Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ menetapkan adanya
mahar dalam pernikahan sebagai hak perempuan yang harus diberikan secara
sempurna kecuali bila si perempuan merelakan dengan kelapangan hatinya. Dia
Yang Maha Tinggi Sebutan-Nya berfirman:
وَآتُوا
النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ
نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
Artinya : “Dan berikanlah mahar kepada para perempuan yang kalian nikahi
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu sebagai sesuatu yang baik.” (QS al-Nisâ` [4]: 4).
4.
Kedudukan Perempuan dalam Kehidupan Rumah Tangga
Perempuan pun dijadikan sebagai penanggung jawab dalam rumah
tangga suaminya, sebagai pemimpin atas anak-anaknya. Nabi SAW kabarkan
hal ini dalam sabdanya:
الْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ
Artinya : “Perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak
suaminya, dan ia akan ditanya tentang mereka.” (HR Bukhari dan Muslim).
Diatas telah dijelaskan bahwa al-Qur’ân menempatkan
perempuan pada posisi yang setara dengan pria dalam derajat kemanusiaan. Namun,
berdasar pada kesadaran akan adanya perbedaan-perbedaan keduanya baik
yang menyangkut masalah fisik maupun psikis, Islam kemudian membedakan keduanya
dalam berapa persoalan, terutama yang menyangkut fungsi dan peran
masing-masing. Pembedaan ini dapat dikategorikan ke dalam dua hal, yaitu dalam
kehidupan keluarga dan kehidupan publik. Ayat yang sering kali dijadikan dasar
untuk memandang kedudukan masing-masing laki-laki dan perempuan adalah Firman
Allâh pada surat al-Nisâ’ [4]: 34, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
perempuan, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian harta mereka”
Semua ulama sepakat bahwa ayat ini punya daya berlaku dalam
konteks keluarga. Perbedaan di antara mereka baru muncul ketika ayat ini dibawa
untuk dijadikan legitimasi pembedaan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
publik. Akan tetapi, kesepakatan mereka dalam mengakui berlakunya ayat ini
dalam konteks keluarga tidak kemudian berarti mereka seragam juga dalam
menafsirkannya. Para ahli tafsir mengajukan penjelasan yang sangat beraneka
ragam terhadap ayat tersebut.
Ibnu Jarîr Al-Thabâri menjelaskan maksud “qowwâmun”
adalah penanggung jawab untuk mendidik dan membimbing istri agar mentaati
kewajibannya kepada Allâh dan suami. Ibnu Abbas mengartikan kata “qowwâmun”
sebagai pihak yang mempunyai kekuasaan untuk mendidik perempuan. Dalam tafsir al-kasysyâf,
al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa kaum laki-laki berkewajiban melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar kepada perempuan sebagai mana penguasa pada rakyatnya.[18]
Apabila keanekaragaman penafrsiran tersebut kita cermati
(baik yang dilakukan oleh mufassirin klasik maupun modern), maka akan kita
dapatkan benang merah berupa kelebihan laki-laki atas perempuan dan posisi
laki-laki yang berada di atas perempuan dalam kehidupan rumah tangga.
Kelebihan laki-laki atas perempuan terjadi karena beberapa
faktor, diantaranya karena sifat hakikinya dan hukum syara’ yang menetapkan
demikian. Sifat hakiki bersumber pada dua hal, yaitu pengetahuan dan kemampuan.
Tidak diragukan lagi bahwa akal dan ilmu laki-laki lebih banyak dan kemampuan
laki-laki untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang berat lebih sempurna.
Karena dua hal inilah laki-laki mempunyai kelebihan dari perempuan dalam
penalaran tekad yang kuat, kekuatan menulis dan keberanian.
Karena laki-laki lebih potensial dari perempuan, maka dari
laki-laki lah lahir para nabi, ulama, dan imam. Mereka berperan dalam jihad,
adzan, khotbah, persaksian dalam hudûd dan qishâs. Mereka Juga
menerima bagian lebih dalam waris, menjadi wali dalam nikah, menentukan talak,
rujuk dan lain sebagainya.[19]
Kelebihan laki-laki atas perempuan karena dua sebab, yaitu
fitri dan kasbi, laki-laki sejak penciptaannya sudah diberi kelebihan kekuatan
dan kemampuan. Akibat kelebihan sejak penciptaannya, laki-laki mempunyai
kesempurnaan akal dan kejernihan pandangan yang menyebabkan adanya kelebihan kasbi
sehingga laki-laki mampu berusaha, berinovasi dan kebebasan bergerak. Adapun
perempuan dilahirkan sejak penciptaannya diberi fitrah untuk mengandung
(hamil), melahirkan dan mendidik anak. Sebab jika perempuan dapat menjalankan
fungsinya seperti laki-laki sebagaimana pandangan pertama diatas, fitrah mereka
tetap menghalanginya.[20]
Agaknya apa yang diungkapkan oleh para ulama tadi masih
dapat kita rasakan relevansinya saat ini. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
para pemimpin, ilmuwan dan tokoh-tokoh masyarakat masih didominasi oleh kaum
pria meskipun jumlah perempuan lebih banyak dari pria. Bahkan di negara-negara
seperti Amerika dan Perancis di mana pria-perempuan diberi kesempatan yang sama
dalam belajar maupun mengaktualisasikan dirinya pun demikian adanya. Oleh
karena itu, anggapan bahwa laki-laki mempunyai kelebihan dari perempuan hanya
karena akibat dari konstruksi budaya yang memang masih mengkondisikan demikian
menjadi tidak tepat.
Memang harus juga diakui bahwa ternyata ada beberapa
perempuan yang punya kelebihan dari pria. Akan tetapi hal itu sangat bersifat
kasuistik dan tidak bisa digeneralisir untuk kemudian ditarik darinya suatu
hukum. Karena itulah, Islam menetapkan ketentuan berdasarkan pada lazimnya
kenyataan yang terjadi dengan menempatkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dari
perempuan dalam rumah tangga seperti dalam ayat tadi. Ketentuan ayat 34 surat
al-Nisâ diperkuat oleh firman Allâh: “Akan tetapi, para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan dari istrinya”.
Karena perbedaan itulah maka al-Qur’ân memberi hak dan
kewajiban masing-masing secara berbeda. Namun yang perlu ditekankan, pembedaan
tersebut bukanlah diskriminasi dan wujud ketidakadilan, tetapi justru agar
tercapai keseimbangan dan keharmonisan dalam menjalani bahtera rumah tangga.
Dalam membedakan hak dan kewajibannya,[21] Islam tidak memihak pada pihak laki-laki dengan menekan
pihak perempuan sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ân: “Dan para perempuan
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf”.
Sebagai yang dipimpin, perempuan wajib menaati pihak yang
memimpinnya, yaitu laki-laki. Dia wajib patuh dalam segala hal selama bukan
perintah yang sifatnya menyuruh terhadap kemaksiatan. Dia juga harus hormat,
patuh, dan tunduk pada suaminya sebagaimana yang tercermin dari haditst nabi,
seandainya aku memerintahkan seorang sujud pada orang lain, niscaya aku
memerintahkan istri sujud pada suaminya (HR Tirmidzi dll). Laki-laki sebagai
yang memimpin dan harus dipatuhi, dia tidak boleh menindas istrinya dan berbuat
semena-mena, tetapi harus bersikap baik kepadanya. Allâh berfirman: “Dan
gaulilah istri-istrimu dengan cara yang baik”
Dalam kehidupan rumah tangga, Islam sangat melindungi
perempuan, hal ini dapat kita lihat misalnya dalam haditst nabi: “Sebaik-baik
kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istri dan anak perempuan”
(HR Baihaqi dari Abi Hurairah). Bahkan dengan tegas Nabi menyatakan bahwa suami
yang semena-mena terhadap istrinya akan dibalas oleh Allâh dengan siksa
neraka. Nabi shallallâhu ‘alahi wa sallam, bersabda, “Ketahuilah, aku
kabarkan kepada kalian tentang ahli neraka, yaitu laki-laki yang keras hati,
kasar, sombong, suka menyakiti Istrinya, yang bakhil, yang terlalu banyak
melakukan hubungan seks”.
Dalam masalah hak, perempuan juga sangat dimanjakan dan
diperhatikan kesejahteraannya oleh al-Qur’ân. Dalam surat al-Baqarah [2] ayat
123 Allâh berfirman, “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya.”
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa seorang ibu
mempunyai hak-hak pribadi yang tidak berkaitan dengan statusnya sebagai istri.
Demikianlah, al-Qur’ân telah menempatkan posisi laki-laki
dan perempuan dalam rumah tangga serta menentukan hak dan kewajiban kepada
masing-masing secara adil, proporsional dan seimbang meski tidak sama.
Al-Qur’ân juga ternyata lebih dini dan lebih dulu dalam menghormati kedudukan
perempuan bila dibandingkan dengan hukum-hukum lain di berbagai negara,
terutama Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer) dimuat ketentuan bahwa seorang perempuan yang telah mempunyai
suami tidak boleh melakukan perjanjian tanpa izin suaminya.
Ketentuan ini sempat berlaku untuk waktu yang lama sampai
pada tahun 1963, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) No.03/1963. SEMA tersebut memfatwakan agar semua ketentuan KUHPer
tentang kedudukan perempuan tidak diberlakukan lagi. Bandingkanlah dengan al-Qur’ân
yang telah memberikan hak ini pada perempuan semenjak beberapa abad yang lalu
dimana sama sekali belum ada yang namanya gerakan emansipasi perempuan.[22]
5.
Kedudukan Perempuan dalam Kehidupan Publik
Al-Qur’ân dalam khitob-nya yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat secara umum dapat dikatakan telah menempatkan perempuan
pada posisi yang seimbang dengan laki-laki. Tidak seperti pada kehidupan rumah
tangga di mana hak dan kewajiban masing-masing dibedakan secara tajam, dalam
kehidupan bermasyarakat hak dan kewajiban keduanya tidaklah begitu berbeda.
Keduanya sama-sama dihormati kedudukannya oleh syara’, dilindungi, dan dibebani
kewajiban yang sama.
Sebagaimana laki-laki, perempuan berhak untuk mendapatkan
hasil usaha mereka, sesuai firman Allâh, “Bagi laki-laki dianugerahkan hak
(bagian) dari apa yang diusahakannya dan bagi perempuan dianugerahkan hak
(bagian) dari apa yang diusahakannya”. (QS al-Nisâ [4]: 32).
Perempuan juga mempunyai kewajiban yang sama dengan
laki-laki untuk mewujudkan kebaikan di masyarakat dengan cara amar ma’ruf nahi
munkar, meski caranya berbeda. Dalam surat Ali-Imrân [3] ayat 110, “Kamu
adalah sebaik-baiknya umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf dan mencegah dari yang munkar”.
Jadi, al-Qur’ân pada dasarnya memandang laki-laki dan
perempuan sebagai subyek hukum (penyandang hak dan kewajiban) dalam masyarakat
pada posisi yang setara. Pembedaan keduanya baru terjadi ketika
pembicaraan mengenai hak dan kewajiban mereka menginjak pada tatanan
bagaimana caranya masing-masing untuk mengaplikasikan dan mengaktualisasikannya
Al-Qur’ân menetapkan peraturan-peraturan yang membuat
laki-laki lebih leluasa bergerak dan berekspresi dibanding perempuan. Pada saat
berinteraksi dengan publik, perempuan lebih terikat oleh batasan-batasan
syara’. Dalam surat al-Ahzâb [33] ayat 33 misalnya, Allâh berfirman, “Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang jahiliyah terdahulu”.
Ayat ini sering kali dijadikan dasar pendapat pada ulama
yang mengatakan bahwa kehidupan perempuan adalah pada wilayah domestik
(keluarga) dan bukannya di wilayah publik (berinteraksi secara langsung dengan
masyarakat umum). Al-Qurthubi yang dikenal sebagai pakar tafsir
bidang hukum menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntutan-tuntutan agar
perempuan-perempuan tinggal di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali dalam
keadaan darurat. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibn Al-‘Arabi dan Ibn
Katsir meskipun Ibn Katsir sedikit lebih moderat, yaitu boleh keluar rumah jika
ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama.
Untuk konteks saat ini, pendapat yang kiranya paling relevan
adalah apa yang diungkapkan oleh Abu al-A’la al-Maudûdi. Perempuan boleh-boleh
saja keluar rumah jika ada keperluan sepanjang memperhatikan kesucian diri dan
memelihara rasa malu. Sayyid Quthb menyatakan bahwa perempuan tidak dilarang
oleh Islam untuk bekerja hanya saja Islam tidak senang (mendorong) hal
tersebut.
Berdasarkan ayat di atas dan beberapa ayat lain yang
berkaitan dengan perempuan seperti ayat tentang aurat, gerak perempuan menjadi
lebih terbatas bila dibanding pria. Apalagi kalau mengikuti pendapat sementara
ulama yang mengatakan bahwa suara perempuan di depan publik adalah aurat, peran
perempuan untuk tampil dalam kehidupan publik jelas sangat terbatasi.
Selain itu, masalah kepemimpinan perempuan sampai saat ini
masih menjadi perdebatan terus menerus. Berkaitan dengan masalah ini, ulama
terbagi kedalam tiga kelompok pendapat:
1.
Mereka yang tidak memperbolehkan peran perempuan dalam
jabatan-jabatan publik apapun bentuknya. Hujjah yang mereka kemukakan adalah
surat al-Nisâ [4]: 34, “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
perempuan, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) antar
sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian harta mereka”
Walaupun ayat ini diturunkan untuk konteks keluarga, namun
mereka menarik pemberlakuan ayat ini ke wilayah publik berdasar qôidah
mafhûm aulawiy. Dari situlah mereka lalu berkesimpulan: kalau untuk skala
kecil (keluarga, rumah tangga) saja perempuan harus dipimpin laki-laki, apalagi
untuk skala besar (urusan publik) yang mencakup wilayah tanggung jawab yang
lebih besar. Lalu mereka memperkuat hujjah dengan haditst, “Tidak akan
beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada perempuan”
Dalam menarik hukumnya, mereka tidak begitu mempertimbangkan
asbabun nuzul ayat maupun asbabul wurud hadits di atas, karena mereka memakai kaidah
ushul fiqh, “Penarikan hukum berdasarkan pada umumnya lafaz, bukan
khususnya sebab”
Pendapat ini adalah pendapat para ulama seperti al-Qurthubî,
al-Zamakhsyari, al-Râzi, Ibnu Katsîr, serta ulama-ulama salaf dan sampai
saat ini masih menjadi pendapat jumhur ulama.
2.
Mereka yang memperbolehkan perempuan memegang jabatan publik
tertentu asalkan bukan kepala negara. Hujjah mereka adalah surat al-Taubah [9]
ayat 71: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah yang munkar”.
Amar ma’ruf nahi munkar adalah sesuatu kewajiban yang
mencakup berbagai cara perjuangan, diantaranya dengan terlibat dalam kehidupan
politik masyarakat. Diantara ulama golongan kedua ini adalah Sa’id
Ramadhan al-Bûthi. Ulama yang dikenal serba bisa dan sangat teguh memegang
ajaran salaf ini berpendapat bolehnya perempuan menjadi anggota legislatif,
tetapi tidak boleh menjadi kepala negara (al-Imâmah al-Kubrô).
3.
Mereka yang membolehkan perempuan memegang jabatan publik
apapun secara mutlak asalkan memenuhi kualifikasi dan mampu menjaga kehormatan.
Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Said ‘Aqil al-Munawar, Quraisy
Shihab, Hussein Muhammad, dan semua pemikir-pemikir Islam Liberal.
Agaknya untuk saat ini pendapat yang paling kuat adalah
pendapat yang kedua, yaitu yang membolehkan perempuan memegang
jabatan-jabatan publik tertentu, tetapi tidak menjadi kepala negara. Alasannya
fakta di lapangan menunjukkan bahwa ternyata banyak para perempuan yang
mempunyai kelebihan dalam bidang tertentu melebihi kaum laki-laki. Selain itu,
bukti sejarah juga menunjukkan bahwa Umar bin Khaththâb pernah menugaskan
seorang perempuan untuk menjadi bendahara pasar, sebagaimana dikatakan Ibn
Hazm. Khusus untuk jabatan kepala negara perempuan tidak boleh memegangnya.
Alasannya bukan hanya kerena hadits Nabi saja, akan tetapi didukung juga oleh
analisis dari sudut pandang hukum dan psikologis.
Memang benar bahwa hampir di setiap negara modern saat ini
kepala negara bukanlah penentu segalanya dan satu-satunya pembuat keputusan
kenegaraan (decision maker). Kekuasaan dalam suatu negara telah
dibagi-bagi menurut azas pemisahan kekuasaan (separation of power) atau
pembagian kekuasaan (distribution of power). Yang perlu diingat, keadaan
seperti ini hanya berlangsung pada saat negara dalam keadaan normal. Akan
tetapi, apabila negara berada dalam keadaan yang sangat kritis, dan hal ini
sangat mungkin terjadi kapanpun, maka berlakulah hukum darurat negara (staatsnood
recht) yang membuat kepala negara akan meningkat perannya secara drastis.
Pada saat itulah, kepala negara sebagai orang nomor satu di negara bersangkutan
akan memiliki peran yang sangat vital dalam menentukan keselamatan negara.
Apalagi di negara seperti Indonesia di mana Kepala Negaranya secara otomatis
menjabat juga sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang (Pasal 10 Amandemen
Keempat UUD 1945), peran Kepala Negara jelas sangat menentukan dalam menangani
keadaan. Penanganan keadaan dalam kondisi yang seperti ini menuntut adanya
kepala negara yang berjiwa besar, punya ketegasan, keberanian dan kondisi
psikologis yang mantap serta stabil sehingga mampu berpikir jernih, cepat dan
tepat serta akurat. Secara psikologis, perempuan tidak akan mampu menyelesaikan
tugas berat itu dengan baik melihat kondisinya yang halus, lemah dan labil.
Begitulah, al-Qur’ân pada dasarnya memberikan hak dan
kewajiban pada perempuan dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat
sama dengan apa yang diberikan kepada laki-laki. Akan tetapi, karena
perbedaan kondisi mereka, maka cara mewujudkannya ditentukan berbeda oleh
Al-Qur’ân.
Oleh karena itu, perempuan tidak boleh untuk menarik diri,
acuh dan tidak mau berinteraksi dalam kehidupan publik dengan alasan dirinya
terikat oleh aturan-aturan. Dia tetap punya kedudukan sama dengan laki-laki
meski cara aktualisasinya berbeda. Perempuan juga tetap wajib peduli,
memikirkan dan respek dengan permasalahan sosial di sekitarnya. Hadits Nabi
mengatakan: “Barang siapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum
muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka”.
Haditst nabi ini tertuju untuk umum, laki-laki maupun
perempuan, sehingga keduanya harus mau terlibat urusan-urusan yang publik.
Selain itu, Al-Qur’ân juga mengajak agar umatnya selalu bermusyawarah dalam
memutuskan segala sesuatu, melalui pujian Tuhan pada mereka: “Urusan mereka
selalu diputuskan dengan musyawarah” (QS al-Syura [42]: 38).
Bukankah ayat ini ditujukan tidak hanya untuk golongan
laki-laki saja, tetapi perempuan juga termasuk? Oleh karena itulah, perempuan
jelas punya hak dan memang harus ikut memikirkan urusan-urusan publik.
4.
Ikhtitâm
Al-Qur’ân dalam masalah derajat kemanusiaan telah
mendudukkan perempuan dalam posisi yang setara dengan laki-laki. Kedudukan, hak
dan kewajibannya hampir bisa dikatakan sama. Namun karena keduanya diciptakan
oleh Tuhan dengan karakter fisik dan psikis yang berbeda, al-Qur’ân kemudian
membedakan fungsi, peran dan tugas masing-masing, baik dalam wilayah domestik
maupun publik.
Pembedaan ini dilakukan agar antara keduanya dapat bekerja
sama, saling melengkapi satu sama lain dan tolong menolong demi terciptanya
keharmonisan hidup. Berbedanya tugas, fungsi dan peran masing-masing
sebagaimana telah ditentukan oleh syara’ sama sekali tidak bisa dianggap
sebagai diskriminasi dan dan kemudian diartikan lebih mulianya salah satu
dibanding yang lainnya. Bukankah Rasûlullâh sendiri dengan tegas menyatakan
kesetaraan laki-laki dan perempuan dengan menyebut kaum perempuan sebagai
Syaqâ’iq al-Rijâl (saudara sekandung kaum laki-laki).
Jelaslah, al-Qur’ân ternyata sangat adil dalam memandang
perempuan. Al-Qur’ân juga sangat bijak dalam menempatkan posisi perempuan
sesuai tabiatnya dan sangat memanjakannya. Maka sangat tidak layak apabila
masih ada perasaan iri antara satu sama lain. Allâh berfirman dalam surat
al-Nisâ’ [4]: 32, “Dan janganlah kamu iri hari terhadap apa yang
dikaruniakan Allâh kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian kamu lebih
banyak dari sebagian mereka. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang
mereka usahakan dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan”.[]
Marâji’
Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyâf ‘an
Haqôiqi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil. Teheran: Intisyarat Avetab, t.t.
Al-Baidlowi, Nashiruddin. 1996. Anwaru
at-Tanzil waa Asraru at-Ta’wil. Beirut: Dâr Al-Fikr.
Al-Zuhaily, Wahbah. At-Tafsir
Al-Munîr fi Al-’aqîdah wa As-Syarî’ah. Damaskus: Dâr Al-Fikr, t.t.
Al-Thabaththabâ’i, Muhammad Husain. Al-Mîzân
fi Tafsîr Al-Qur’ân. Beirut: Dâr Al-Fikr, t,t.
Ridha, Muhammad Rayid. 1367 H.
Tafsir Al-Manâr. Kairo: Dâr Al-Manar.
Al-Razy, al-Fakhr. 1990. Mafâtih
al-Ghâib. Beirut: Dâr Al-Haya Al-Turâts Al-‘Arabi.
Qaththan, Manna’ Kholil. 1978. Mabâhits
Fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Muassasah Al-Risalah.
Yasir, Ali. 2001. Al-Nashrâniyyatul
Qur’aniyyah (Kristianologi Qur’ani), Yogyakarta: Ponpes UII.
Abdoerraoef. 1970. Al-Qur’ân dan
Ilmu Hukum. Jakarta: Bulan Bintang.
Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen
Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’ân. Jakarta: Paramadina.
Al-Fairuzabadiy, Abu Thahir. Tanwîrul
Miqyâs min Tafsîri Ibn Al-Abbâs, Beirut: Dâr Al-Fikr, t.t.
Al-Hamadzaniy. Al-Farîd Fi I’rôbi
al-Qur’ân al-Majîd. Qatar: Dâr al-Tsaqôfah, t.t.
Shihab, Quraisy. 2000. Wawasan
Al-Qur’ân, Bandung: Mizan.
Al-Shâbûniy, Muhammad ‘Ali. 2001. Rawâi’
al-Bayân Tafsîru Âyât al-Ahkâm min al-Qur’ân. Jakarta: Dâr al-Kutub
al-Islamiyyah.
Ma’had ad-Dirasat al-Islamiyyah. Mudzakkarât
fî Nidzômi al-Hukmi fî al-Daulah al-Islamiyyah. Kairo: Mustasyar ‘Umar
Syarif, t.t
Ath-Thabâriy, Ibnu Jarir. 1992. Jamî’ul-Bayan
fî Tafsîr al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah.
Jurnal Al-Mawarid Edisi Kelima
Fakultas Syari’ah UII
* Penulis adalah Dosen Universitas
Negeri Semarang.
[1] Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi
Al-Madkhali, Al-Huqûq wal Wâjibât ‘ala al-Rijâl wa al-Nisâ` fil Islam,
Beirut: Dar Al-Fikr, 1996.
[2]Mahmud Mahdi Al-Istambuli dan
Musthafa Abu An-Nashr Asy-Syalabi, Nisâ` Haular Rasûl,
Beirut: Dar Al-Fikr, 1996. Hlm 65.
[3] Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisîrul
Karîmirrahmân, Damaskus: Dar Al-Fikr. Hlm. 845
[4]Hambali, Membina Keharmonisan Berumah Tangga Menurut Al
Qur’an dan Sunnah dan Bahaya Emansipasi Wanit, Cahaya Tauhid Press, Malang,
hlm 15-22
[5] Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Tanbîhat ala Ahkam
Takhtashshu bil Mu`minat, Damaskus: Dar Al-Fikr. Hlm. 102
[6] Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf ‘an Haqoiqi at-Tanzil wa
‘Uyun al-Aqawil, Teheran: Intisyarat Avetab,
[7] Al-Baidlowi, Nashiruddin, Anwaru
at-Tanzil waa Asraru at-Ta’wil, Beirut: Dar Al-Fikr, 1996
[8] Al-Razy, al-Fakhr, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar
Al-Haya Al-Turats Al-Arabi, 1990
[9] Al-Zuhaily, Wahbah, At-Tafsir Al-Munir fi Al-’aqidah wa
As-Syari’ah, Damaskus: Dar Al-Fikr,
[10] Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Manar, Kairo: Dar
Al-Manar, 1367 H
[11] ibid
[12] Al-Thabariy, Ibnu Jarir, Jami’
al-Bayan fi Tafsir al-Qur’ân, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1992
[13] Umar, Nasaruddin, Argumen
Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’ân, Jakarta: Paramasina, 1999
[14] Yasir, Ali, An-Nashraniyyatul
Qur’aniyyah (Kristianologi Qur’ani), Yogyakarta: PP. UII, 2001
[15] ibid
[16] Al-Shabûniy, Muhammad ‘Ali, Rawai’ al-Bayan Tafsiru Ayat
al-Ahkam min al-Qur’ân, Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2001
[17] Al-Thabataba’i, Muhammad Husain, Al-Mizan fi Tafsir
Al-Qur’ân, Beirut: Dar Al-Fikr
[18] Al-Fairuzabadiy, Abu Thahir, Tanwirul Miqyas min Tafsiri
Ibn Al-Abbas, Beirut: Dar Al-Fikr
[19] Ma’had ad-Dirasat al-Islamiyyah, Mudzakkarat fi Nidzomi
al-Hukmi fi al-Daulah al-Islamiyyah, Kairo: Mustasyar ‘Umar Syarif,
[20] Shihab, Quraisy, Wawasan
Al-Qur’ân, Bandung: Mizan, 2000
[21] Abdoerraoef, Al-Qur’ân dan Ilmu
Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1970
[22] Ibid.
No comments:
Post a Comment