MUNAKAHAH
PERNIKAHAN
DALAM ISLAM
f. Hadanah
Hadanah adalah hak untuk mengasuh, memelihara, mendidik,
memimpin serta mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan anak kecil yang
belum mumayyiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya).
Diantara tugas suami istri adalah berkewajiban
untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, kemudian apabila terjadi perceraian
antara keduanya maka siapakah yang berhak untuk mendidik anak-anaknya ? Untuk
itu maka perhatikan terlebih dahulu beberapa hadits di bawah ini :
1. Dari
Abdullah bin Umar, bahwa seorang perempuan berkata : Wahai Raasulullah :
Sesungguhnya anakku ini, perutkulah yang mengandungnya, dan air susuku yang
menjadi minumannya, dan pangkuanku tempat perlindungannya, sedangkan bapaknya
telah menceraikanku dan hendak mengambil dia dariku, maka Rasulullah bersabda
:
انت
احـق فـيه مالـم تـَنـْكحـى رواه احمد و
ابو داود وصححه الحاكم
Artinya : “Engkau lebih berhak dengannya (anak itu), selama kamu
belum menikah (lagi). HR. Ahmad dan Abu Daud (disahkan oleh hakim)
2. Dari
Abu Hurairah, bahwa seorang perempuan telah berkata : Wahai Rasulullah : Bahwa
(bekas) suami saya ingin mengambil anak saya, padahal ia (anak) berguna bagiku
dan ia mengambil air untukku dari sumur Abi Inabah, lalu datang (bekas)
suaminya; maka bersabda Rasulullah saw :
يا
غـلامُ هـذا ابُـوك وهـذه امـكَ فـخـذْ بـيـدايّـهـمَا شئتَ
فأخــذ بـيـد امــه فانـطلقَ بــه
رواه احمد و الاربـعـه وصححه
الترمـذى
Artinya : “Hai anak :
ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan siapa yang engkau kehendaki dari
keduanya” lalu anak itu memegang tangan ibunya, lalu ajak dia pergi”. HR.
Ahmad.
3. Hadits
Nabi saw, yang lain :
ان
رسول لله صَلى الله عَلـيْه وَسَـلمَ خَـيَّـرَ
غُـلامًا مـا بـين ابـيه
وامــه رواه ابن ماجه
و الترمـذى
Artinya : “Sesungguhnya
Rasulullah saw. menyuruh memilih kepada anak yang sudah sedikit mengerti untuk
tinggal bersama ayah atau ibunya.” HR.
Ibnu Majah dan Tirmizi.
Berdasar tiga hadits tersebut dapat disimpulkan
bahwa :
a)
Ibu
lebih berhak mengasuh dan mendidik anaknya yang belum mumayyiz dan biaya tetap
menjadi tanggungan ayahnya.
b)
Bila ibu
telah menikah lagi, maka hak mengasuh
anak itu pindah kepada ayahnya.
c)
Bila
anak sudah besar, maka ia bebas memilih
untuk tetap tinggal bersama ibunya atau ikut dengan ayahnya. Atau pengadilan
dapat memutuskan untuk menyerahkan anak tersebut kepada yang lebih cakap untuk
mendidik dan mengatur kemaslahatan anak tersebut.
d)
Bila
yang akan mengasuh bukan ayah atau
ibunya, maka lebih didahulukan perempuan daripada laki-laki, bila keduanya
memiliki derajat kekeluargaan yang sama jauhnya dengan anak, akan tetapi bila
ada yang lebih dekat didahulukan yang lebih dekat.
Syarat-syarat menjadi pengasuh dan pendidik
anak, adalah : Berakal sehat, dapat menjaga kehormatan dirinya dan anaknya,
merdeka, terpercaya (tidak curang terhadap hak dan harta anak), taat beragama
dan berakhlak baik serta muukim di daerah atau kampung anak yang diasuhnya.
A. HIKMAH PERKAWINAN
Hidup menikah berarti hidup teratur dan
terencana serta memiliki tujuan yang pasti, sebab pernikahan juga mengandung
arti kesepakatan untuk hidup bersama guna menempuh cita-cita hidup dalam
aturan (hak dan kewajiban) yang telah digariskan oleh syari’at Islam. Oleh
karena itu, apabila merujuk pada tujuan diadakannya pernikahan dalam syari’at
Islam, maka hikmah perkawinan dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Menjauhkan diri dari perbuatan tercela
(zina).
Islam mengajarkan agar setiap manusia
mempertanggung jawabkan keberadaannya.
b. Ketenteraman dan ketenangan hidup
Terpenuhinya kebutuhan biologis secara tenang
dan aman akan semakin menyuburkan jalinan cinta kasih antara suami istri,
sehingga keduanya akan memperoleh ketentraman dan ketenangangan hidup, minimal
dalam kaitannya dengan kebutuhan biologis antara keduanya.
c. Terpelihara dari perbuatan tercela dan
maksiat
Ketentraman dan ketenangan hidup yang telah
diraih seperti tersebut di atas akan menumbuh suburkan kesadaran akan adanya
tanggung jawab masing-masing untuk menjaga dan melestarikannya. Masing-masing
akan berusaha untuk berbuat yang terbaik, sehingga kecil kemungkinannya untuk
melirik orang lain yang bukan suami/ istrinya, dan menjurus pada perbuatan
zina atau maksiat lainnya.
Untuk dapat menjaga keutuhan jalinan cinta
kasih antara suami istri perhatikanlah ayat berikut :
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا
وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya : “Dan
bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. QS. An Nisa’ : 19
Ayat di atas menegaskan bahwa di balik
kejelekan atau kekurangan suami/ istri akan tersem-bunyi kebaikan yang banyak,
oleh karena itu sebaiknya bersabarlah dan lihatlah dari mereka kebaikan dan
kelebihannya.
d. Melestarikan dan memelihara keturunan.
Dengan adanya perkawinan maka terjaminlah
kelangsungan hidup manusia secara sah dan manusiawi, dalam arti secara hukum
maupun pertalian nasab dan silsilah keturunannya dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya. Seorang anak yang dilahirkan memiliki status yang sah dengan ayah
ibunya, bukan anak yang baru memiliki status dan bahkan baru mengetahui orang
tuanya setelah menginjak dewasa.
Seperti halnya binatang, manusia memang dapat
berkembang tanpa adanya ikatan perkawinan, akan tetapi manusia diciptakan oleh
Allah swt dengan predikat termulia diantara sesama mahkluq, dengan akal dan
budinya tentu memiliki cara dan sifat hidup yang jauh berbeda dengan binatang.
Oleh karena itulah, sejak manusia pertama
yaitu Nabi Adam dan Ibu Hawa telah manjalani hidup dalam ikatan
perkawinan yang sah, bahkan tidak satu pun Agama Samawi yang tidak
mensyari’atkan pernikahan.
e. Hidup Bahagia Dunia Akhirat.
Kondisi keluarga yang tenang dan tentram,
terhindar dari perbuatan-perbuatan tercela serta memiliki keturunan yang sah
dan shalih, merupakan modal dasar untuk terciptanya kehidupan bahagia sejahtera
di dunia dan di akhirat apabila diimbangi dengan adanya kesadaran beragama yang
baik.
Bahagia di dunia berarti dapat menikmati hidup
dan kehidupan dalam kondisi bagaimanapun dan tidak terpana atau bahkan meratapi
kenyataan dan pahitnya kehidupan, sedangkan bahagia di akhirat berarti
mendapatkan kenikmatan yang maha besar kelak di surga.
PERKAWINAN
MENURUT UU NO. I TAHUN 1974
Perawinan menurut UU. No. I Tahun 1974.
Undang-undang No. I Tahun 1974 tentang
perkawinan terdiri dari 14 bab yang terbagi menjadi 67 pasal, yang secara garis
besar sebagai berikut .
1. Bab I : Dasar Perkawinann, terdiri dari 5 pasal.
2. Bab II : Syarat-syarat perkawinan, terdiri
dari 7 pasal.
3. Bab III : Pencegahan Perkawinan, terdiri
dari 9 pasal.
4. Bab IV : Batalnya Perkawinan, terdiri dari 7
pasal.
5. Bab V : Perjanjian Perkawinan, hanya 1
pasal.
6. Bab VI : Hak dan Kewajiban suami istri,
terdiri dari 5 pasal.
7. Bab VII : Harta benda dalam perkawinan,
terdiri dari 3 pasal.
8. Bab VIII : Putusnya Perkawinan serta Akibatnya, terdiri dari 4 pasal.
9. Bab IX : Kedudukan anak, terdiri dari 3
pasal.
10. Bab
X : Hak dan Kewajiban antara orang tua
dan anak, terdiri dari 5 pasal.
11. Bab
XI : Perwalian terdiri dari 5 pasal.
12. Bab
XII : Ketentuan-ketentuan lain, terdiri dari 9 pasal.
13. Bab
XIII : Ketentuan Peralihan, terdiri dari 2 pasal.
14. Bab
XIV : Ketentuaan Penutup, terdiri dari 2 pasal.
a. Kewajiban Tentang Pencatatan Perkawinan.
UU No. I Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) menyatakan
bahwa : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kompilasi Hukum Islam di Indonesia buku I
Bab II pasal 5 dinyatakan bahwa :
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
2. Pencatatan
perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
3. Setiap perkawinan harus dilangsungkan
dihadapan dan dibawah pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah.
4. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
b. Sahnya Perkawinan.
UU. No. I Tahun 1974 pasal 2 ayat (1)
menegasklan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Kemudian dalam kompilasi hukum Islam Bab II
disebutkan :
1. Pasal
4, Perkawinan itu sah, apabila menurut Hukum Islam.
2. Pasal 2, Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholiidhan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
c. Tujuan Perkawinan
1. Membentuk
keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuuhanan Yang Maha Esa. (UU.
No. 1 Th. 1974)
2. “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.
d. Peranan Pengadilan Agama dalam Penetapan
Talak
Menurut UU No. I Tahun 1974 Bab VIII :
1. Pasal 39 : Perceraian hanya dapat dilakukan
di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2. Pasal
40 : Gugatan perceraian diajukan dalam Pengadilan.
Tata cara perceraian dan pengajuan gugatan
cerai diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9
Tahun 1975 Bab V pasal 14 sampai dengan pasal 36.
Sedangkan peranan Pengadilan Agama menurut UU
RI No. 7 Tahun 1989, pada dasarnya sama dengan pasal 39 UU No. I Tahun
1974. Kemudian untuk mendapatkan
gambaran yang agak jelas, pelajarilah
pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989.
e. Batasan-batasan Dalam Berpoligami
UU No. I Tahun 1974 pasal 3 menyebutkan bahwa :
1. Pada
azasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami.
2.
Pengadilan dapat memberi izin kepada
seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Kemudian dalam pasal 4 ditegaskan bahwa : Dalam
hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila : istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuh kan, istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk dapat mengajukan permohonan poligami kepada Pengadilan, seperti
ditegaskan pada pasal 5 adalah : adanya persetujuan dari istri/ istri-istri,
adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
istri-istri dan anak- anak mereka,
adanya jaminan bahwa suami akan berlaku
adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil dalam
kaitannya dengan masalah poligami ini, maka harus memenuhi beberapa ketentuan
seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 45
Tahun 1990 pasal 4.
No comments:
Post a Comment