Tuesday, 9 June 2015

KUR 2013.XII.1.3 MUNAKAHAH, bagian 4



MUNAKAHAH
PERNIKAHAN DALAM ISLAM
f.     Hadanah
Hadanah adalah hak  untuk mengasuh, memelihara, mendidik, memimpin serta mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan anak kecil yang belum mumayyiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya).

Diantara tugas suami istri adalah berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, kemudian apabila terjadi perceraian antara keduanya maka siapakah yang berhak untuk mendidik anak-anaknya ? Untuk itu maka perhatikan terlebih dahulu beberapa hadits di bawah ini :
1.    Dari Abdullah bin Umar, bahwa seorang perempuan berkata : Wahai Raasulullah : Sesungguhnya anakku ini, perutkulah yang mengandungnya, dan air susuku yang menjadi minumannya, dan pang­kuanku tempat perlindungannya, sedangkan bapaknya telah mencerai­kanku dan hendak mengambil dia dariku, maka Rasulullah bersabda :
انت احـق فـيه مالـم تـَنـْكحـى  رواه احمد و ابو داود  وصححه   الحاكم
Artinya : “Engkau lebih berhak dengannya (anak itu), selama kamu belum menikah (lagi). HR. Ahmad dan Abu Daud (disahkan oleh hakim)
2.    Dari Abu Hurairah, bahwa seorang perempuan telah berkata : Wahai Rasulullah : Bahwa (bekas) suami saya ingin mengambil anak saya, padahal ia (anak) berguna bagiku dan ia mengambil air untukku dari sumur Abi Inabah, lalu datang (bekas) suaminya; maka bersabda Rasulullah saw :

يا غـلامُ هـذا ابُـوك وهـذه امـكَ فـخـذْ بـيـدايّـهـمَا  شئتَ  فأخــذ  بـيـد  امــه فانـطلقَ  بــه     رواه احمد و الاربـعـه  وصححه الترمـذى
Artinya :     “Hai anak : ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan siapa yang engkau kehendaki dari keduanya” lalu anak itu memegang tangan ibunya, lalu ajak dia pergi”. HR. Ahmad.
3.    Hadits Nabi saw, yang lain :

ان رسول لله صَلى الله عَلـيْه وَسَـلمَ خَـيَّـرَ  غُـلامًا مـا بـين  ابـيه وامــه   رواه  ابن ماجه  و الترمـذى
Artinya :     “Sesungguhnya Rasulullah saw. menyuruh memilih kepada anak yang sudah sedikit mengerti untuk tinggal bersama ayah atau ibunya.”  HR. Ibnu Majah dan Tirmizi.
Berdasar tiga hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa :
a)       Ibu lebih berhak mengasuh dan mendidik anaknya yang belum mumayyiz dan biaya tetap menjadi tanggungan ayahnya.
b)       Bila ibu telah menikah lagi,  maka hak mengasuh anak itu pindah kepada ayahnya.
c)       Bila anak sudah besar,  maka ia bebas memilih untuk tetap tinggal bersama ibunya atau ikut dengan ayahnya. Atau pengadilan dapat memutuskan untuk menyerahkan anak tersebut kepada yang lebih cakap untuk mendidik dan mengatur kemaslahatan anak terse­but.
d)       Bila yang akan  mengasuh bukan ayah atau ibunya, maka lebih didahulukan perempuan daripada laki-laki, bila keduanya memiliki derajat kekeluargaan yang sama jauhnya dengan anak, akan tetapi bila ada yang lebih dekat didahulukan yang lebih dekat.
Syarat-syarat menjadi pengasuh dan pendidik anak, adalah : Berakal sehat, dapat menjaga kehormatan dirinya dan anaknya, merdeka, terpercaya (tidak curang terhadap hak dan harta anak), taat beragama dan berakhlak baik serta muukim di daerah atau kampung anak yang diasuhnya.
A.      HIKMAH PERKAWINAN
Hidup menikah berarti hidup teratur dan terencana serta memiliki tujuan yang pasti, sebab pernikahan juga mengandung arti kesepa­katan untuk hidup bersama guna menempuh cita-cita hidup dalam aturan (hak dan kewajiban) yang telah digariskan oleh syari’at Islam. Oleh karena itu, apabila merujuk pada tujuan diadakannya pernikahan dalam syari’at Islam, maka hikmah perkawinan dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.    Menjauhkan diri dari perbuatan tercela (zina).
Islam mengajarkan agar setiap manusia mempertanggung jawabkan keberadaannya.
b.    Ketenteraman dan ketenangan hidup
Terpenuhinya kebutuhan biologis secara tenang dan aman akan semakin menyuburkan jalinan cinta kasih antara suami istri, sehingga keduanya akan memperoleh ketentraman dan ketenangangan hidup, minimal dalam kaitannya dengan kebutuhan biologis antara keduanya.
c.    Terpelihara dari perbuatan tercela dan maksiat
Ketentraman dan ketenangan hidup yang telah diraih seperti terse­but di atas akan menumbuh suburkan kesadaran akan adanya tanggung jawab masing-masing untuk menjaga dan melestarikannya. Masing-masing akan berusaha untuk berbuat yang terbaik, sehingga kecil kemungkinannya untuk melirik orang lain yang bukan suami/ istrin­ya, dan menjurus pada perbuatan zina atau maksiat lainnya.
Untuk dapat menjaga keutuhan jalinan cinta kasih antara suami istri perhatikanlah ayat berikut :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya :     “Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. QS. An Nisa’ : 19
Ayat di atas menegaskan bahwa di balik kejelekan atau kekurangan suami/ istri akan tersem-bunyi kebaikan yang banyak, oleh karena itu sebaiknya bersabarlah dan lihatlah dari mereka kebaikan dan kelebihannya.
d.    Melestarikan dan memelihara keturunan.
Dengan adanya perkawinan maka terjaminlah kelangsungan hidup manusia secara sah dan manusiawi, dalam arti secara hukum maupun pertalian nasab dan silsilah keturunannya dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Seorang anak yang dilahirkan memiliki status yang sah dengan ayah ibunya, bukan anak yang baru memiliki status dan bahkan baru mengetahui orang tuanya setelah menginjak dewasa.
Seperti halnya binatang, manusia memang dapat berkembang tanpa adanya ikatan perkawinan, akan tetapi manusia diciptakan oleh Allah swt dengan predikat termulia diantara sesama mahkluq, dengan akal dan budinya tentu memiliki cara dan sifat hidup yang jauh berbeda dengan binatang. Oleh karena itulah, sejak manusia pertama  yaitu Nabi Adam dan Ibu Hawa telah manjalani hidup dalam ikatan perkawinan yang sah, bahkan tidak satu pun Agama Samawi yang tidak mensyari’atkan pernikahan.
e.    Hidup Bahagia Dunia Akhirat.
Kondisi keluarga yang tenang dan tentram, terhindar dari perbua­tan-perbuatan tercela serta memiliki keturunan yang sah dan shalih, merupakan modal dasar untuk terciptanya kehidupan bahagia sejahtera di dunia dan di akhirat apabila diimbangi dengan adanya kesadaran beragama yang baik.
Bahagia di dunia berarti dapat menikmati hidup dan kehidupan dalam kondisi bagaimanapun dan tidak terpana atau bahkan meratapi kenyataan dan pahitnya kehidupan, sedangkan bahagia di akhirat berarti mendapatkan kenikmatan yang maha besar kelak di surga.

PERKAWINAN MENURUT UU NO. I TAHUN 1974
Perawinan menurut UU. No. I Tahun 1974.
Undang-undang No. I Tahun 1974 tentang perkawinan terdiri dari 14 bab yang terbagi menjadi 67 pasal, yang secara garis besar seba­gai berikut .
1.   Bab I : Dasar Perkawinann, terdiri  dari 5 pasal.
2.   Bab II : Syarat-syarat perkawinan, terdiri dari 7 pasal.
3.   Bab III : Pencegahan Perkawinan, terdiri dari 9 pasal.
4.   Bab IV : Batalnya Perkawinan, terdiri dari 7 pasal.
5.   Bab V : Perjanjian Perkawinan, hanya 1 pasal.
6.   Bab VI : Hak dan Kewajiban suami istri, terdiri dari 5 pasal.
7.   Bab VII : Harta benda dalam perkawinan, terdiri dari 3 pasal.
8.   Bab VIII : Putusnya Perkawinan  serta Akibatnya, terdiri dari 4 pasal.
9.   Bab IX : Kedudukan anak, terdiri dari 3 pasal.
10. Bab X : Hak dan Kewajiban  antara orang tua dan anak, terdiri dari 5 pasal.
11. Bab XI : Perwalian terdiri dari 5 pasal.
12. Bab XII : Ketentuan-ketentuan lain, terdiri dari 9 pasal.
13. Bab XIII : Ketentuan Peralihan, terdiri dari 2 pasal.
14. Bab XIV : Ketentuaan Penutup, terdiri dari 2 pasal.
a.    Kewajiban Tentang Pencatatan Perkawinan.
UU No. I Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kompilasi Hukum Islam di Indonesia buku I Bab II pasal 5 dinyatakan bahwa :
1.  Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
2.    Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
3.    Setiap perkawinan harus  dilangsungkan  dihadapan  dan dibawah  pengawasan  Pegawai  Pencatat Nikah.
4.    Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
b.    Sahnya Perkawinan.
UU. No. I Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) menegasklan bahwa “Perkawi­nan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Kemudian dalam kompilasi hukum Islam Bab II disebutkan :
1.    Pasal 4, Perkawinan itu sah, apabila menurut Hukum Islam.
2.    Pasal 2, Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
c.    Tujuan Perkawinan
1.    Membentuk  keluarga  (rumah tangga)  yang   bahagia  dan kekal  berdasarkan   Ketuuhanan  Yang Maha Esa. (UU. No. 1 Th. 1974)
2.    “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.
d.    Peranan Pengadilan Agama dalam Penetapan Talak
Menurut UU No. I Tahun 1974 Bab VIII :
1.    Pasal 39 : Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2.    Pasal 40 : Gugatan perceraian diajukan dalam Pengadilan.
Tata cara perceraian dan pengajuan gugatan cerai diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Bab V pasal 14 sampai dengan pasal 36.
Sedangkan peranan Pengadilan Agama menurut UU RI No. 7 Tahun 1989, pada dasarnya sama dengan pasal 39 UU No. I Tahun 1974.  Kemudian untuk mendapatkan gambaran yang agak jelas, pelajarilah  pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989.
e.    Batasan-batasan Dalam Berpoligami
UU No. I Tahun 1974 pasal 3 menyebutkan bahwa :
1. Pada azasnya   dalam suatu  perkawinan    seorang  pria  hanya boleh   mempunyai   seorang   istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan dapat  memberi izin  kepada  seorang  suami  untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Kemudian dalam pasal 4 ditegaskan bahwa : Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permo­honan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuh kan, istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengaju­kan permohonan poligami kepada Pengadilan, seperti ditegaskan pada pasal 5 adalah : adanya persetujuan dari istri/ istri-istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keper­luan hidup istri-istri dan anak-  anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku  adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.  
Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil dalam kaitannya dengan masalah poligami ini, maka harus memenuhi beberapa ketentuan seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 45 Tahun 1990 pasal 4.


No comments:

Post a Comment