XII.2.5
|
HAK DAN KEDUDUKAN
WANITA DALAM KELUARGA
|
KEDUDUKAN PEREMPUAN
DALAM ISLAM
ARTIKEL 5
Salah satu
tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara
manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan
keturunan.
Perbedaan
yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang
hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Wahai
seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki
dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling
bertakwa (QS 49: 13).
Kedudukan
perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau
dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan
perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.
Muhammad
Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir,
menulis: "Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun,
maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi
dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan
mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan
Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak
dijadikan bahan perbandingan."
Almarhum
Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di
Mesir, menulis: "Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir
dapat (dikatakan) sama.
Allah swt. telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana Allah swt.
menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua
dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung
jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan
aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus.
Karena itu,
hukum-hukum Syari'at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini
(lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum,
menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual
dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan
menyaksikan."
Banyak
faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan
tersebut. Salah satu di antaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan,
sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan
yang tidak dibenarkan itu.
Berikut ini
akan dikemukakan pandangan sekilas yang bersumber dari pemahaman ajaran Islam menyangkut
perempuan, dari segi asal kejadiannya dan hak-haknya dalam berbagai bidang.
1.
Perempuan
Dari Asal Kejadiannya
Berbedakah asal kejadian perempuan dari
lelaki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan kejahatan ataukah mereka
merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda
dan diperalat oleh setan hanya perempuan dan benarkah mereka yang menjadi
penyebab terusirnya manusia dari surga?
Demikian sebagian pertanyaan yang
dijawab dengan pembenaran oleh sementara pihak sehingga menimbulkan pandangan
atau keyakinan yang tersebar pada masa pra-Islam dan yang sedikit atau banyak
masih berbekas dalam pandangan beberapa masyarakat abad ke-20 ini.
Pandangan-pandangan tersebut secara
tegas dibantah oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa':
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ
Artinya
: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu
yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan
pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan
yang banyak.
Demikian Al-Quran menolak
pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan
bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara
bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang
perempuan.
Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang
dinilai shahih (dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya) yang berbunyi:
Saling pesan-memesanlah untuk
berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu
Hurairah).
Benar ada hadis yang berbunyi demikian
dan yang dipahami secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk
Adam, yang kemudian mengesankan kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan
dengan lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah menjelaskan makna
sesungguhnya dari hadis tersebut.
Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir
Al-Manar, menulis: "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan
Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi yang mengarah
kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan
terlintas dalam benak seorang Muslim."
Tulang rusuk yang bengkok harus
dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut
memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena
ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki,
hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap
tidak wajar.
Mereka tidak akan mampu mengubah
karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan
fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Memahami
hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di atas, justru mengakui
kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir.
Dalam Surah Al-Isra' ayat 70 ditegaskan
:
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم
مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا
تَفْضِيلًا
Artinya
: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan
Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup
lelaki dan perempuan, demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu,
mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki.
Pemahaman ini dipertegas oleh ayat 195
surah Ali 'Imran
yang menyatakan:
فَاسْتَجَابَ
لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ
أُنثَىٰ ۖ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۖ
Artinya
: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
adalah turunan dari
sebagian yang lain.
Maka orang-orang yang berhijrah, yang
diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan
yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah
Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya,
sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik".
Sebagian kamu adalah bagian dari
sebagian yang lain, dalam arti bahwa "sebagian kamu (hai umat manusia
yakni lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan
sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya." Kedua jenis
kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal
kejadian dan kemanusiaannya.
Dengan konsideran ini, Tuhan
mempertegas bahwa: Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS 3:195).
Pandangan masyarakat yang mengantar
kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis oleh Al-Quran. Karena itu,
dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi
bersedih bila memperoleh anak perempuan: Dan apabila seorang dari mereka diberi
kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat
bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan
"buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir)
apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya
ke dalam tanah (hidup-hidup).
Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang
mereka tetapkan itu (QS 16:58-59). Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam
rangka usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala macam pandangan yang
membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Dari
ayat-ayat Al-Quran juga ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis tidak hanya
tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki.
Ayat-ayat yang membicarakan godaan,
rayuan setan serta ketergelinciran Adam dan Hawa dibentuk dalam kata yang
menunjukkan kebersamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti: Maka setan
membisikkan pikiran jahat kepada keduanya ... (QS 7:20). Lalu keduanya
digelincirkan oleh setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari keadaan
yang mereka (nikmati) sebelumnya ... (QS 2:36).
Kalaupun ada yang berbentuk tunggal,
maka itu justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai
pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah: Kemudian setan
membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: "Hai Adam, maukah
saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?"
(QS 20:120).
Demikian terlihat bahwa Al-Quran
mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala
pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal
kejadiannya.
2.
Hak-Hak
Perempuan Dalam Berbagai Bidang.
Al-Quran berbicara tentang perempuan
dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi
kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang
menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama
atau kemanusiaan.
Secara umum surah Al-Nisa' ayat 32,
menunjuk kepada hak-hak perempuan:
لِّلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ
Artinya
: Bagi lelaki hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan
kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan
kepadanya.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa
hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam.
a.
Hak-hak Perempuan dalam Bidang Politik
Salah satu ayat yang seringkali
dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum
perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah ayat 71:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ
الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ
اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya : Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya' bagi sebagian
yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.
Secara umum, ayat di atas dipahami
sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antar lelaki dan
perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat
menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar. Kata awliya', dalam
pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian
yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala
segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik)
kepada penguasa.
Dengan demikian, setiap lelaki dan
perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar
masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai
bidang kehidupan.193
Keikutsertaan perempuan bersama dengan
lelaki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana tidak
pula dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari kandungan sabda Nabi Muhamad
saw.: Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim,
maka ia tidak termasuk golongan mereka.
Kepentingan (urusan) kaum Muslim
mencakup banyak sisi yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar
belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya. Dengan demikian, kalimat
ini mencakup segala bidang kehidupan termasuk bidang kehidupan politik.194
Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak
umatnya (lelaki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada
mereka yang selalu melakukannya. Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan
musyawarah (QS 42:38).
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
Artinya : Dan (bagi) orang-orang
yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan
sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Ayat
ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap
lelaki dan perempuan.
Syura (musyawarah) telah merupakan
salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik,
dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk
senantiasa mengadakan musyawarah. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap
lelaki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu
ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan
dalam bidang kehidupan bermasyarakat termasuk dalam bidang politik.
Bahkan
sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam
berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali. Al-Quran juga menguraikan permintaan
para perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan bay'at (janji setia kepada Nabi
dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 12.
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَىٰ أَن لَّا
يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ
أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ
وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ ۙ فَبَايِعْهُنَّ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya : Hai Nabi, apabila
datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia,
bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan
berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka
ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam
urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan
kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha
Penyayang
Sementara, pakar agama Islam menjadikan bay'at para perempuan itu
sebagai bukti kebebasan perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya
yang berkaitan dengan kehidupan serta hak mereka.
Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai pilihan yang
berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan
terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.
Harus
diakui bahwa ada sementara ulama yang menjadikan firman Allah dalam surah
Al-Nisa' ayat 34, Lelaki-lelaki adalah pemimpin perempuan-perempuan sebagai
bukti tidak bolehnya perempuan terlibat dalam persoalan politik. Karena kata
mereka kepemimpinan berada di
tangan lelaki, sehingga hak-hak berpolitik perempuan pun telah berada di tangan
mereka.
Pandangan ini bukan saja tidak sejalan
dengan ayat-ayat yang dikutip di atas, tetapi juga tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan
oleh ayat yang disebutkan itu. Ayat Al-Nisa' 34 itu berbicara tentang
kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya dalam
bidang kehidupan rumah tangga.
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ
حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya : Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar
Kepemimpinan
ini pun tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hak
pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan
suami. Kenyataan sejarah menunjukkan
sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik
praktis.
Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya
oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang
musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik).
Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri,
yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan 'Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki
jabatan Kepala Negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal
suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a. Peperangan itu dikenal
dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M).
Keterlibatan
Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam
peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para
pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik
praktis sekalipun.
b.
Hak-hak Perempuan dalam
Memilih Pekerjaan
Kalau
kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal
Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka
aktif dalam berbagai aktivitas.
Para
wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya,
baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun
swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan,
serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut
terhadap diri dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut
pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai hak untuk bekerja,
selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan
pekerjaan tersebut".
Pekerjaan
dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka
ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung
dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki.
Nama-nama
seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam
Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan.
Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab
Shahih-nya, yang menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab
Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab
Keterlibatan Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.
Di
samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai bidang
pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti
Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay, istri Nabi Muhammad saw.
Ada juga yang menjadi perawat atau
bidan, dan sebagainya. Dalam bidang
perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat
sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang
tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta
petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli.
Dalam
kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad, kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana
ditemukan antara lain pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga
jual-beli. Nabi memberi petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya: Apabila
Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda
inginkan untuk membeli atau
menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan
bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).
Istri Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai
pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan.
Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena
suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga
ini.197
Al-Syifa',
seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota
Madinah.198
Demikian sedikit dari banyak contoh
yang terjadi pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau menyangkut keikutsertaan
perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
Di samping yang disebutkan di atas,
perlu juga digarisbawahi bahwa Rasul saw. banyak memberi perhatian serta
pengarahan kepada perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan
mengisinya dengan
pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Dalam hal ini, antara lain, beliau
bersabda: Sebaik-baik "permainan" seorang perempuan Muslimah di dalam
rumahnya adalah memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari
Abdullah bin Rabi' Al-Anshari).
Aisyah
r.a. diriwayatkan pernah berkata: "Alat pemintal di tangan perempuan lebih
baik daripada tombak di tangan lelaki." Tentu saja tidak semua bentuk dan
ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw.
Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan
bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau
pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara. Dengan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka
mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi.
Hanya
ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah
Al-'Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat
mengurangi pendukung larangan tersebut, khususnya menyangkut persoalan
kedudukan perempuan sebagai hakim.
Dalam
beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa "setiap
orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu
dapat diwakilkannya kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang
lain".
Atas dasar kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud
berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih, bukan sekadar pertimbangan perkembangan
masyarakat kita jika kita menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai
pembela dan penuntut dalam berbagai bidang.199
c. Hak
dan Kewajiban Belajar
Terlalu
banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban
belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun
perempuan. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar,
Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan... Keistimewaan manusia yang
menjadikan para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena makhluk
ini memiliki pengetahuan (QS 2:31-34).
وَعَلَّمَ
آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ
أَنبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ. قَالُوا سُبْحَانَكَ
لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ
الْحَكِيمُ. قَالَ يَا آدَمُ أَنبِئْهُم بِأَسْمَائِهِمْ ۖ فَلَمَّا
أَنبَأَهُم بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ. وَإِذْ
قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ
وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ.
Artinya : Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu
jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Mereka
menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana".
Allah
berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda
ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu,
Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya
Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan?"
Dan (ingatlah)
ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada
Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Baik
lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut
untuk belajar: Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah).
Para perempuan di zaman Nabi saw.
menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau
bersedia menyisihkan waktu
tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan.
Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi saw.
Al-Quran
memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang
kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan
mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal
tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak
terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum
perempuan. Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang
dikemukakan di atas.
Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka,
ditegaskannya bahwa: Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan
berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan..." (QS 3:195).
Ini
berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian
mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang
mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya
berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami
bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing.
Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh
lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah seorang yang sangat dalam
pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus. Sampai-sampai dikenal
secara sangat luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai
pernyataan Nabi Muhammad saw.: Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari
Al-Humaira' (Aisyah).
Demikian
juga Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian
Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr Al-Nisa' (Kebanggaan Perempuan) adalah
salah seorang guru Imam Syafi'I (tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi panutan banyak umat
Islam di seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya.
Imam Abu Hayyan mencatat tiga nama
perempuan yang menjadi guru-guru
tokoh mazhab tersebut, yaitu Mu'nisat Al-Ayyubiyah (putri Al-Malik Al-Adil
saudara Salahuddin Al-Ayyubi), Syamiyat Al-Taimiyah, dan Zainab putri
sejarahwan Abdul-Latif Al-Baghdadi.201
Kemudian
contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat
adalah Al-Khansa', Rabi'ah Al-Adawiyah, dan lain-lain.
Rasul saw. tidak membatasi anjuran atau
kewajiban belajar hanya terhadap
perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi), tetapi
juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu,
sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian mencapai
tingkat pendidikan yang sangat tinggi. Al-Muqarri, dalam bukunya Nafhu Al-Thib,
sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu
Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang
perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki
kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi, sampai
ia dikenal dengan nama Al-Arudhiyat karena keahliannya dalam bidang ini.202
Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum
lagi sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan
antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya
mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak
mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang
berkembang dewasa ini.
Dalam
hal ini, Syaikh Muhammad 'Abduh menulis: "Kalaulah kewajiban perempuan
mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas,
maka sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan
dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan
persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu,
tempat dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal keagamaan."203
Demikian
sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang pendidikan.
Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan
menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang.
Namun, kesimpulan akhir yang dapat
ditarik adalah bahwa mereka, sebagaimana sabda Rasul saw., adalah Syaqa'iq
Al-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta
hak-haknya hampir dapat dikatakan sama.
Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi dan
tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu,
sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki
kelebihan atas yang lain: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain,
karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi
perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan
bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu (QS 4:32). Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya.
Catatan kaki 190 Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat
Al-Mu'attalat, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1964, h. 138. 191 Mahmud
Syaltut, Prof. Dr., Min Taujihat Al-Islam, Kairo, Al-Idarat Al-'Amat lil Azhar,
1959, h. 193 192 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Kairo, Dar Al-Manar,
1367 H jilid IV, h. 330. 193 Amin Al-Khuli, Prof. Dr., Al-Mar'at baina Al-Bayt
wa Al-Muitama', dalam Al-Mar'at Al-Muslimah fi Al-'Ashr Al-Mu'ashir, Baqhdad,
t.t., h. 13. 194 Ibid. 195 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., Huquq
Al-Mar'at fi Al-Mujtama' Al-Islamiy, Kairo, Al-Haiat Al-Mishriyat Al-Amat,
1986, h. 60. 196 Ibrahim bin Ali Al-wazir, Dr., 'Ala Masyarif Al-Qarn.
Al-Khamis 'Asyar, Kairo, Dar Al-Syuruq 1979, h. 76. 197 Lihat biografi para
sahabat tersebut dalam Al-Ishabat fi Asma' Al-Shahabat, karya Ibnu Hajar, jilid
IV. 198 Muhammad Al-Ghazali, op.cit., h. 134. 199 Jamaluddin Muhammad Mahmud,
Prof. Dr., op.cit., h. 71. 200 Ibid., h. 77. 201 Abdul Wahid Wafi, Prof. Dr.,
Al-Musawat fi Al-Islam, Kairo, Dar Al-Ma'arif, 1965, h. 47. 202 Ibid. 203 Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., op.cit.,
h. 79.
No comments:
Post a Comment