C. MACAM-MACAM KERUKUNAN
1. Kerukunan
antar Umat Beragama
Konsep dasar Islam adalah kerukunan atau perdamaian
dengan siapapun dan terhadap siapapun.
Konsep ini telah diterapkan sendiri oleh Nabi saw. ketika membentuk pemerintahan di Madinah, dimana penduduknya terdiri dari tiga golongan yaitu : Islam, Yahudi dam Nasrani. Beliau menyatukan unsur-unsur yang berbeda itu dengan dasar persamaan hak dan kebebasan beragama serta kemerdekaan menjalankan agamanya masing-masing.
Konsep ini telah diterapkan sendiri oleh Nabi saw. ketika membentuk pemerintahan di Madinah, dimana penduduknya terdiri dari tiga golongan yaitu : Islam, Yahudi dam Nasrani. Beliau menyatukan unsur-unsur yang berbeda itu dengan dasar persamaan hak dan kebebasan beragama serta kemerdekaan menjalankan agamanya masing-masing.
Isi perjanjian antara Nabi saw. dan kelompok non Islam yang
terkenal dengan nama “PIAGAM MADINAH” itu adalah:
a. Seluruh penduduk
Madinah adalah merupakan
satu kesatuan warga yang bebas berfikir dan melakukan
agamanya masing-masing, serta tidak boleh saling mengganggu.
b. Apabila Madinah diserang
musuh, mereka harus mempertahankannya bersama-sama.
c. Apabila salah satu
golongan diserang musuh, golongan yang lain harus membantunya.
d. Jika timbul
perselisihan, penyelesaiannya di bawah keadilan yang dipimpin oleh Rasulullah
saw..
Empat poin isi perjanjian di atas sama sekali tidak
menyangkut dan mencampuri urusan agama masing-masing golongan. Sebetulnya
ketika Nabi saw. masih berada di Makkah, beliau pernah mendapat tawaran dari
pembesar kafir Quraisy untuk saling kompromi, mereka akan menyembah Tuhan yang
disembah Nabi saw., pada waktu yang lain Nabi saw. supaya menyembah Tuhan yang
mereka sembah, begitu juga dalam masalah yang lain, saling bergantian.
Ajakan yang nampaknya baik dari tokoh Quraisy ini,
ditolak oleh Nabi saw., apalagi dalam Surat Al Kafirun ayat 1 - 6. jelas
ditegaskan bahwa tidak ada kompromi dalam hal pelaksanaan agama atau
kepercayaan. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.
Untuk lebih kongkritnya perhatikan firman Allah swt.
berikut :
لَا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُــــمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ
يُخْرِجُوكُمْ مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَـبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَـيْهِمْ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. الممتحنه
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena Agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil”. QS. Al
Mumtahanah : 8
Kata-kata berbuat baik di situ memiliki arti yang sangat
luas, meliputi semua nilai-nilai kebaikan dan pergaulan secara luas, dan Allah
swt. hanya melarang terhadap mereka yang nyata-nyata mengikrarkan memusuhi dan
mengusir kaum muslim.
Dalam pengeterapan selanjutnya, pada tahun 1984 KH.
Achmad Siddiq, Ulama Pengasuh Pondok Pesantren Islam As Shiddiqi Putera (ASTRA) Jember, membagi ukhuwah menjadi tiga macam,
yaitu :
a. Ukhuwah
Islamiyah. yaitu persaudaraan yang
tumbuh dan berkembang karena persamaan keimanan/agama, baik di tingkat
nasional maupun internasional.
b. Ukhuwah
Wathoniyah, yaitu persaudaraan yang
tumbuh dan berkembang atas dasar nasionalisme dan patriotisme.
c. Ukhuwah
Basyariyah, yaitu persaudaraan yang
tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan/sesama manusia.
Dua macam khuwah (Islamiyah dan Wathoniyah) menjadi
landasan terciptanya ukhuwah basyariyah atau persaudaraan sesama umat manusia.
Di Indonesia,
Pancasila yang merupakan dasar dan falsafah bangsa, di dalamnya (sila-silanya)
tidak satupun yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, pengamalan
dan penghayatannya harus didukung sepenuhnya oleh umat Islam di Indonesia.
2. Kerukunan Umat
Beragama dengan Pemerintah
Keputusan Ulama (NU) menyatakan bahwa dari sisi Islam
(bukan politik Islam) Negara Republik Indonesia, menurut pandangan Islam
adalah negara yang sah, dan Presiden
RI adalah penguasa yang sah.
Presiden memiliki wewenang sebagai waliyul amri, seperti pengangkatan Wali
hakim dan sebagainya.
Kemudian sebagai konsekwensi hukumnya setiap muslim di
Indonesia memiliki kewajiban untuk taat terhadap semua aturan pemerintah
sepanjang aturan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
Islam. Pemerintah dalam istilah agama disebut dengan Ulil Amri, sebagian ahli mengatakan bahwa ulil amri adalah penguasa negara dan alim ulama.
Apabila ulil amri atau pemerintah telah memutuskan sesuatu, apalagi keputusan
yang disepakati dan diputuskan bersama
dengan Ulama, maka bagi umat Islam wajib hukumnya untuk mentaatinya.
Di Indonesia, antara Umara’ dan Ulama’ sudah terjalin
hubungan yang sangat baik dan akrab, saling isi mengisi, dan saling membutuhkan.
Umat Islam dan juga pemeluk agama selain Islam, mutlak butuh pemerintah dalam
menjalankan syariat agamanya masing- masing, sebab di dalam menjalankan ajaran
agama sangat memerlukan keamanan dan pengamanan, sedangkan keamanan dan
pengamanan ini tidak akan terwujud tanpa adanya pemerintah yang berkuasa dan
berdaulat. Demikian pula, pemerintah mutlak membutuhkan ulama/ tokoh agama,
sebab dengan bahsa ulama/tokoh agama itulah program pemerintah akan semakin
lancar dan didukung oleh umat Islam/pemeluk agama.
Adapun dasar-dasar kewajiban taat terhadap Pemerintah, di
dalam Al Qur’an dan hadits, antara lain disebutkan :
يَاأَيــهَا
الَّذِينَ ءَامَـــــنُوا أَطِيْــــــعُوا اللهَ وَأَطِيـــــعُوا
الـرَّسُـــــوْلَ وَأُولِي الأَمـْــرِ مِنْـكُـــمْ. النساء
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu...” QS. An Nisa’ : 59
على
المـــرء المـســلم الســـمْـعُ والــــطاعـةُ فـيْــما احَـبَ وكـــره الا ان
يـؤمــر بـمـعصـيـةٍ فان اُمِـرَ بـمـعـصـيـةٍ فـلا سـمـع ولا طـاعـةَ. رواه
مسلم
Artinya : “Wajib atas orang muslim patuh dan setia kepada
pemerintah, baik hal yang disukai atau dibencinya, kecuali apabila
diperintahkan dengan suatu kemaksiatan. Jika ia diperintah dengan suatu
maksiat, maka tidak boleh patuh dan setia”. HR. Muslim)
No comments:
Post a Comment