Tuesday, 26 March 2013

XII.2.3 PERSATUAN DAN KERUKUNAN, bagian 2


C.   MACAM-MACAM KERUKUNAN
1.    Kerukunan antar Umat Beragama
Konsep dasar Islam adalah kerukunan atau perdamaian dengan siapapun dan terhadap siapapun.
Konsep ini telah diterapkan sendiri oleh Nabi saw. ketika membentuk pemerintahan di  Madinah, dimana penduduknya terdiri dari tiga golongan yaitu : Islam, Yahudi dam Nasrani. Beliau menyatukan unsur-unsur yang berbeda itu dengan dasar persamaan hak dan kebebasan beragama serta kemerdekaan menjalankan agamanya masing-masing.
Isi perjanjian antara Nabi saw. dan kelompok non Islam yang terkenal dengan nama “PIAGAM MADINAH” itu ada­lah:
a.    Seluruh  penduduk  Madinah  adalah  merupakan  satu  kesatuan  warga yang bebas berfikir dan melakukan agamanya masing-masing, serta tidak boleh saling mengganggu.
b.    Apabila Madinah diserang musuh, mereka harus mempertahankannya bersama-sama.
c.    Apabila salah satu golongan diserang musuh, golongan yang lain harus membantunya.
d.    Jika timbul perselisihan, penyelesaiannya di bawah keadilan yang dipimpin oleh Rasulullah saw..
Empat poin isi perjanjian di atas sama sekali tidak menyangkut dan mencampuri urusan agama masing-masing golongan. Sebetulnya ketika Nabi saw. masih berada di Makkah, beliau pernah mendapat tawaran dari pembesar kafir Quraisy untuk saling kompro­mi, mereka akan menyembah Tuhan yang disembah Nabi saw., pada waktu yang lain Nabi saw. supaya menyembah Tuhan yang mereka sembah, begitu juga  dalam  masalah yang lain, saling bergantian.
Ajakan yang nampaknya baik dari tokoh Quraisy ini, ditolak oleh Nabi saw., apalagi dalam Surat Al Kafirun ayat 1 - 6. jelas ditegaskan bahwa tidak ada kompromi dalam hal pelaksanaan agama atau kepercayaan. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.
Untuk lebih kongkritnya perhatikan firman Allah swt. berikut :

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُــــمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَـبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَـيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. الممتحنه 
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena  Agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya  Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.  QS. Al Mumtaha­nah : 8
Kata-kata berbuat baik di situ memiliki arti yang sangat luas, meliputi semua nilai-nilai kebaikan dan pergaulan secara luas, dan Allah swt. hanya melarang terhadap mereka yang nyata-nyata mengikrarkan memusuhi dan mengusir kaum muslim.
Dalam pengeterapan selanjutnya, pada tahun 1984 KH. Achmad Siddiq, Ulama Pengasuh Pondok Pesantren Islam As Shiddiqi Putera (ASTRA)  Jember, membagi ukhuwah menjadi tiga macam, yaitu :
a.    Ukhuwah Islamiyah. yaitu persaudaraan yang tumbuh dan berkembang karena persamaan keima­nan/agama, baik di tingkat nasional maupun internasional.
b.    Ukhuwah Wathoniyah, yaitu persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar nasionalisme dan patriotisme.
c.    Ukhuwah Basyariyah, yaitu persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan/sesama manusia.
Dua macam khuwah (Islamiyah dan Wathoniyah) menjadi landasan terciptanya ukhuwah basyariyah atau persaudaraan sesama umat manusia.
Di Indonesia, Pancasila yang merupakan dasar dan falsafah bangsa, di dalamnya (sila-silanya) tidak satupun yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, pengamalan dan penghayatannya harus didukung sepenuhnya oleh umat Islam di Indonesia.
2.    Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah
Keputusan Ulama (NU) menyatakan bahwa dari sisi Islam (bukan politik Islam) Negara Republik Indonesia, menurut pandangan Islam adalah negara yang sah, dan Presiden RI adalah penguasa yang sah. Presiden memiliki wewenang sebagai waliyul amri, seperti pengangkatan Wali hakim dan sebagainya.
Kemudian sebagai konsekwensi hukumnya setiap muslim di Indonesia memiliki kewajiban untuk taat terhadap semua aturan pemerintah sepanjang aturan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Pemerintah dalam istilah agama disebut dengan Ulil Amri, sebagian ahli mengatakan bahwa ulil amri adalah penguasa negara dan alim ulama. Apabila ulil amri atau pemerintah telah memutuskan sesuatu, apalagi keputusan yang disepakati dan diputuskan bersama  dengan Ulama, maka bagi umat Islam wajib hukumnya untuk mentaatinya.
Di Indonesia, antara Umara’ dan Ulama’ sudah terjalin hubungan yang sangat baik dan akrab, saling isi mengisi, dan saling membutuhkan. Umat Islam dan juga pemeluk agama selain Islam, mutlak butuh pemerintah dalam menjalankan syariat agamanya masing- masing, sebab di dalam menjalankan ajaran agama sangat memerlukan keamanan dan pengamanan, sedangkan keamanan dan pengamanan ini tidak akan terwujud tanpa adanya pemerintah yang berkuasa dan berdaulat. Demikian pula, pemerintah mutlak membutuhkan ulama/ tokoh agama, sebab dengan bahsa ulama/tokoh agama itulah program pemerintah akan semakin lancar dan didukung oleh umat Islam/pemeluk agama.
Adapun dasar-dasar kewajiban taat terhadap Pemerintah, di dalam Al Qur’an dan hadits, antara lain disebutkan :

يَاأَيــهَا الَّذِينَ ءَامَـــــنُوا أَطِيْــــــعُوا اللهَ وَأَطِيـــــعُوا الـرَّسُـــــوْلَ وَأُولِي الأَمـْــرِ مِنْـكُـــمْ.  النساء 
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu...” QS. An Nisa’ : 59

على المـــرء المـســلم الســـمْـعُ والــــطاعـةُ فـيْــما احَـبَ وكـــره الا ان يـؤمــر بـمـعصـيـةٍ فان اُمِـرَ بـمـعـصـيـةٍ فـلا سـمـع ولا طـاعـةَ.  رواه  مسلم
Artinya : “Wajib atas orang muslim patuh dan setia kepada pemer­intah, baik hal yang disukai atau dibencinya, kecuali apabila diperintahkan dengan suatu kemaksiatan. Jika ia diperintah dengan suatu maksiat, maka tidak boleh patuh dan setia”. HR. Muslim)

No comments:

Post a Comment