Monday, 1 April 2013

XII.2.5 MUNAKAHAH, bag 1


I.   Standar Kompetensi
Memahami hukum Islam tentang Hukum Keluarga
II.  Kompetensi Dasar
1.    Menjelaskan  ketentuan hukum  perkawinan dalam Islam
2.  Menjelaskan hikmah perkawinan
3.   Menjelaskan ketentuan perkawinan menurut perundang-undangan di Indonesia

A.    MEMBUJANG
Yang pasti ISLAM melarang melepas kendali gharizah (instink) tanpa batas dan tanpa ikatan, maka ISLAM mengharamkan zina dan seluruh aktifitas yang tergolong mendekati zina.
AKAN TETAPI, Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini, oleh sebab itu maka setiap muslim/muslimah disunnatkan menikah dan melarang hidup membujang. Dalam Islam tidak ada anjuran hidup membujang karena alasan demi berbakti kepada Allah, sementara ia mampu menikah.
Kalaupun ada sebagian ajaran agama yang membolehkan atau bahkan melarang tokoh agamanya untuk menikah, maka ajaran ini sangat bertentangan dengan Islam yang menfasilitasi kecendrungan dasar (fitroh) manusia.
Nabi saw. mengingatkan:
"Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.'"
Dalam Al Qur’an ditegaskan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ [٥:٨٧]
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. QS al-Maidah: 87
Dikatakan oleh Imam Mujahid: Ada beberapa orang laki-laki, di antaranya Usman bin Madh'un dan Abdullah bin Umar bermaksud untuk hidup membujang dan berkebiri serta memakai kain karung goni. Kemudian turunlah ayat di atas.6



B.    MEMINANG (TUNANGAN)
Meminang adalah menyatakan, mengungkapkan permintaan perjodohan dari pihak seorang laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya atau pinangan tersebut disampaikan oleh perantara yang terpercaya. Meminang dengan cara begini diperbolehkan dalam syariat Islam, sedangkan bila si perempuan masih dalam masa iddah bain sebaiknya dengan cara sindiran.
Tidak boleh meminanng perempuan yang masih dalam masa iddah raj’i, atau telah dipinang (menjadi tunangan) seseorang.
Dinyatakan oleh Nabi saw.:
أَلْمُؤْمِنُ أَخُوالْمُؤمِنِ فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَخْطُبَ عَلى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذِرَ
Artinya : Seorang mukmin merupakan saudara dari mukmin lainnya, maka tidak halal (tidak boleh) bagi seorang mukmin meminang seorang perempuan yang telah menjadi tunangan saudaranya, sampai nyata telah ditinggalkannya (diputus). HR. Ahmad dan Muslim.
Seorang mukmin apabila berkehendak untuk menikah dan berkeinginan untuk meminang seorang perempuan tertentu, diperbolehkan melihat perempuan tersebut sebelum ia mulai melangkah ke jenjang perkawinan, supaya dia dapat menghadapi perkawinannya itu dengan jelas dan terang, dan supaya tidak tertipu. Sehingga dengan demikian, dia akan dapat selamat dari berbuat salah dan jatuh ke dalam sesuatu yang tidak diinginkan.
Ini, adalah justru karena mata merupakan duta hati; dan kemungkinan besar bertemunya mata dengan mata itu menjadi sebab dapat bertemunya hati dan berlarutnya jiwa.
Abu Hurairah mengatakan:
"Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu." (Riwayat Muslim)
C.    HUKUM NIKAH
Nikah atau perkawinan adalah akad (ijab dan qobul) yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrim, yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Pernikahan harus dilakukan untuk membina kehidupan rumah tangga (suami istri) yang sah, dalam kaitan ini terdapat persyaratan dan rukun yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Keabsahan perkawinan merupakan azas pokok terciptanya masyarakat yang baik dan sempurna, oleh karena sebenarnya perka­winan merupakan pertalian yang sangat kokoh dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan anak tur­unnya, tetapi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya, bahkan antara satu suku/bangsa dengan suku/bangsa lainnya. Hubungan yang baik dalam setiap keluarga dan juga dengan keluarga lainnya, merupakan landasan  terciptanya suatu masyarakat yang baik dan saling bekerja sama, hidup tenteram dan aman, sejahtera dan bahagia lahir bathin di dunia maupun di akhirat.
Dilihat dari motif terjadinya pernikahan, maka dalam Islam  ada lima hukum nikah, yaitu :
a.   Jaiz, artinya boleh kawin dan boleh juga tidak, jaiz ini merupakan hukum dasar dari pernikahan. Perbedaan situasi dan kondisi serta motif yang mendorong terjadinya pernikahan menye­babkan adanya hukum-hukum nikah berikut.
b.   Sunat, yaitu apabila seseorang telah berkeinginan untuk meni­kah serta memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun bathin.
c.   Wajib, yaitu bagi yang memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zina bila tidak segera melangsungkan perkawinan. Atau juga bagi seseorang yang telah memiliki keinginan yang sangat serta dikhawatirkan akan terjerumus dalam perzinahan bila tidak segera kawin.
d.   Makruh, yaitu bagi yang tidak mampu memberikan nafkah. Allah swt. berfirman :
e.   Haram, yaitu apabila motivasi untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti untuk menyakiti istrinya, keluarganya serta niat-niat jelek lainnya.
D.    TUJUAN NIKAH
Pernikahan dalam Islam bukanlah sekedar penyaluran nafsu (libido) dan usaha melestarikan keberadaan manusia di muka bumi, akan tetapi memiliki tujuan yang sangat esensial dalam hidup dan kehidupan manusia, tujuan dimaksud adalah :
a.     Untuk memperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً, إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ. الروم  : 21
Artinya :   “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia mencip­takan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya dia­ntaramu perasaan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” QS. Ar Rum : 21
Ayat di atas memberikan pedoman bahwa dilaksanakannya pernikahan itu, guna mewujudkan adanya ketenteraman dan kebahagiaan hidup khususnya dalam kehidupan keluarga, dan untuk itulah maka Allah swt. menganugerahkan perasaan kasih dan sayang diantara keduanya.
Dalam Komplikasi Hukum Islam Buku I Bab II pasa 3, disebutkan bahwa : perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah, yang mengandung arti suatu keluarga yang diliputi perasaan tenteram, aman dengan jalinan kasih sayang diantara sesama anggota keluarganya, atau dengan kata lain suatu keluarga yang bahagia sejahtera lahir dan bathin.
b.     Untuk membentengi diri dari perbuatan tercela.
Setiap manusia normal secara fitrah akan mengalami suatu masa puber, mulai merasa tertarik terhadap lawan jenisnya. Islam sebagai Agama Fitroh memberikan jalan keluar dengan disyari’atkannya pernikahan, sehingga perasaan yang selalu menuntut pemenuhan ini tersalurkan dengan baik dan benar. Dengan menikah manusia akan dapat terhindar dari perbuatan tercela berupa zina dan lain-lain. Nabi saw. bersabda :
فانـه اغـضُ للبـصـر واحـسن للـفـرْج   رواه البخارى و مسلم
Artinya :   “Sesungguhnya dengan nikah itu, dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan (kemaluan)”.  HR. Bukhari Muslim.
Perbuatan zina merupakan sumber malapetaka bagi manusia, disamp­ing akibatnya yang sangat tercela dan berbahaya, biasanya bila seseorang terjerumus ke dalam perbuatan zina maka akan terjerumus pula dalam perjudian dan minuman keras, sebab ketiga jenis dosa ini sebenarnya merupakan satu paket.
c.     Untuk menjaga dan memperoleh keturunan yang baik dan sah.
Setelah terjadinya pernikahan kemudian pada gilirannya setiap manusia akan mengalami kerinduan akan hadirnya anak, sebagai perwujudan adanya sifat kebapakan dan keibuan yang timbul dari seorang laki-laki dan perempuan. Dalam kaitan ini pernikahan lebih banyak diharapkan akan memberikan keturunan akan tetapi keturunan yang baik dan sah secara hukum. Perhatikan firman Allah swt. berikut :
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Artinya :   “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada  istri-istri  kami  dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. QS. Al Furqon : 74
d.     Mengikuti sunnah Rasul dan meningkatkan ketaqwaan.
Rasulullah saw. pernah mencela terhadap seseorang yang bertekat untuk berpuasa, dan bangun (tidak tidur) setiap hari guna konsen­trasi beribadah serta bertekad tidak akan menikah. Beliau bersabda :
لَكِنِّىْ اَنَا اُصَلِّىْ وَاَنَامُ وَاَتَـزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُـنَّـتِىْ فَلَيْسَ مِـنَّا  متفق عليه
Artinya :   “Akan tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka serta aku menikahi perempuan, maka barang siapa tidak suka akan sunnahku (caraku), maka bukanlah ia golonganku”. HR. Muttafaq Alaih
Dengan menikah maka berarti telah melaksanakan setengah dari agama, Nabi saw. bersabda :
اذا تز وجَ الـعـبد فقـداسـتكمَل نصفَ الدينِ فليـتق الله فى النصف الــباقى  
Artinya :   “Bila telah menikah seorang hamba Allah, maka sesung­guhnya ia menyem-purnakan separuh dari agamanya, maka bertaqwalah kepada Allah dalam (untuk menyempurnakan) separuh yang tersisa”.

1 comment: