A.
MEMBUJANG
Yang
pasti ISLAM melarang melepas kendali gharizah (instink) tanpa batas dan tanpa
ikatan, maka ISLAM mengharamkan zina dan seluruh aktifitas yang tergolong mendekati
zina.
AKAN
TETAPI, Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah
ini, oleh sebab itu maka setiap muslim/muslimah disunnatkan menikah dan
melarang hidup membujang. Dalam Islam tidak ada anjuran hidup membujang karena
alasan demi berbakti kepada Allah, sementara ia mampu menikah.
Kalaupun
ada sebagian ajaran agama yang membolehkan atau bahkan melarang tokoh agamanya
untuk menikah, maka ajaran ini sangat bertentangan dengan Islam yang
menfasilitasi kecendrungan dasar (fitroh) manusia.
Nabi
saw. mengingatkan:
"Sesungguhnya
orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat
terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu
akan tinggal di gereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan
Dia, berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan
meluruskan kepadamu.'"
Dalam
Al Qur’an ditegaskan:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ
لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ [٥:٨٧]
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang
telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. QS
al-Maidah: 87
Dikatakan
oleh Imam Mujahid: Ada beberapa orang laki-laki, di antaranya Usman bin Madh'un
dan Abdullah bin Umar bermaksud untuk hidup membujang dan berkebiri serta
memakai kain karung goni. Kemudian turunlah ayat di atas.6
B.
MEMINANG (TUNANGAN)
Meminang
adalah menyatakan, mengungkapkan permintaan perjodohan dari pihak seorang
laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya atau pinangan tersebut
disampaikan oleh perantara yang terpercaya. Meminang dengan cara begini
diperbolehkan dalam syariat Islam, sedangkan bila si perempuan masih dalam masa
iddah bain sebaiknya dengan cara sindiran.
Tidak
boleh meminanng perempuan yang masih dalam masa iddah raj’i, atau telah
dipinang (menjadi tunangan) seseorang.
Dinyatakan
oleh Nabi saw.:
أَلْمُؤْمِنُ
أَخُوالْمُؤمِنِ فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَخْطُبَ عَلى خِطْبَةِ أَخِيْهِ
حَتَّى يَذِرَ
Artinya
: Seorang mukmin merupakan saudara dari mukmin lainnya, maka tidak halal (tidak
boleh) bagi seorang mukmin meminang seorang perempuan yang telah menjadi
tunangan saudaranya, sampai nyata telah ditinggalkannya (diputus). HR. Ahmad
dan Muslim.
Seorang
mukmin apabila berkehendak untuk menikah dan berkeinginan untuk meminang
seorang perempuan tertentu, diperbolehkan melihat perempuan tersebut sebelum ia
mulai melangkah ke jenjang perkawinan, supaya dia dapat menghadapi
perkawinannya itu dengan jelas dan terang, dan supaya tidak tertipu. Sehingga
dengan demikian, dia akan dapat selamat dari berbuat salah dan jatuh ke dalam
sesuatu yang tidak diinginkan.
Ini,
adalah justru karena mata merupakan duta hati; dan kemungkinan besar bertemunya
mata dengan mata itu menjadi sebab dapat bertemunya hati dan berlarutnya jiwa.
Abu
Hurairah mengatakan:
"Saya
pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang
memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka
Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi
mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu
ada sesuatu." (Riwayat Muslim)
C.
HUKUM NIKAH
Nikah
atau perkawinan adalah akad (ijab dan qobul) yang menghalalkan pergaulan antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bukan muhrim, yang kemudian
menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Pernikahan
harus dilakukan untuk membina kehidupan rumah tangga (suami istri) yang sah,
dalam kaitan ini terdapat persyaratan dan rukun yang harus dipenuhi oleh kedua
belah pihak. Keabsahan perkawinan merupakan azas pokok terciptanya masyarakat
yang baik dan sempurna, oleh karena sebenarnya perkawinan merupakan pertalian
yang sangat kokoh dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami
istri dan anak turunnya, tetapi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya,
bahkan antara satu suku/bangsa dengan suku/bangsa lainnya. Hubungan yang baik
dalam setiap keluarga dan juga dengan keluarga lainnya, merupakan landasan terciptanya suatu masyarakat yang baik dan
saling bekerja sama, hidup tenteram dan aman, sejahtera dan bahagia lahir
bathin di dunia maupun di akhirat.
Dilihat
dari motif terjadinya pernikahan, maka dalam Islam ada lima
hukum nikah, yaitu :
a. Jaiz, artinya boleh kawin dan
boleh juga tidak, jaiz ini merupakan hukum dasar dari pernikahan. Perbedaan
situasi dan kondisi serta motif yang mendorong terjadinya pernikahan menyebabkan
adanya hukum-hukum nikah berikut.
b. Sunat, yaitu apabila seseorang
telah berkeinginan untuk menikah serta memiliki kemampuan untuk memberikan
nafkah lahir maupun bathin.
c. Wajib, yaitu bagi yang memiliki
kemampuan memberikan nafkah dan ada kekhawatiran akan terjerumus kepada
perbuatan zina bila tidak segera melangsungkan perkawinan. Atau juga bagi
seseorang yang telah memiliki keinginan yang sangat serta dikhawatirkan akan
terjerumus dalam perzinahan bila tidak segera kawin.
d. Makruh, yaitu bagi yang tidak
mampu memberikan nafkah. Allah swt. berfirman :
e. Haram, yaitu apabila motivasi
untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti untuk menyakiti istrinya,
keluarganya serta niat-niat jelek lainnya.
D.
TUJUAN NIKAH
Pernikahan
dalam Islam bukanlah sekedar penyaluran nafsu (libido) dan usaha melestarikan
keberadaan manusia di muka bumi, akan tetapi memiliki tujuan yang sangat
esensial dalam hidup dan kehidupan manusia, tujuan dimaksud adalah :
a.
Untuk
memperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً, إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ. الروم : 21
Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu perasaan kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.” QS. Ar Rum : 21
Ayat
di atas memberikan pedoman bahwa dilaksanakannya pernikahan itu, guna
mewujudkan adanya ketenteraman dan kebahagiaan hidup khususnya dalam kehidupan
keluarga, dan untuk itulah maka Allah swt. menganugerahkan perasaan kasih dan
sayang diantara keduanya.
Dalam
Komplikasi Hukum Islam Buku I Bab II pasa 3, disebutkan bahwa : perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah,
yang mengandung arti suatu keluarga yang diliputi perasaan tenteram, aman
dengan jalinan kasih sayang diantara sesama anggota keluarganya, atau dengan
kata lain suatu keluarga yang bahagia sejahtera lahir dan bathin.
b.
Untuk
membentengi diri dari perbuatan tercela.
Setiap
manusia normal secara fitrah akan mengalami suatu masa puber, mulai merasa
tertarik terhadap lawan jenisnya. Islam sebagai Agama Fitroh memberikan jalan
keluar dengan disyari’atkannya pernikahan, sehingga perasaan yang selalu
menuntut pemenuhan ini tersalurkan dengan baik dan benar. Dengan menikah
manusia akan dapat terhindar dari perbuatan tercela berupa zina dan lain-lain.
Nabi saw. bersabda :
فانـه
اغـضُ للبـصـر واحـسن للـفـرْج رواه البخارى و مسلم
Artinya : “Sesungguhnya dengan nikah itu, dapat menjaga pandangan mata dan
kehormatan (kemaluan)”. HR. Bukhari
Muslim.
Perbuatan
zina merupakan sumber malapetaka bagi manusia, disamping akibatnya yang sangat
tercela dan berbahaya, biasanya bila seseorang terjerumus ke dalam perbuatan
zina maka akan terjerumus pula dalam perjudian dan minuman keras, sebab ketiga
jenis dosa ini sebenarnya merupakan satu paket.
c.
Untuk menjaga
dan memperoleh keturunan yang baik dan sah.
Setelah
terjadinya pernikahan kemudian pada gilirannya setiap manusia akan mengalami
kerinduan akan hadirnya anak, sebagai perwujudan adanya sifat kebapakan dan keibuan
yang timbul dari seorang laki-laki dan perempuan. Dalam kaitan ini pernikahan
lebih banyak diharapkan akan memberikan keturunan akan tetapi keturunan yang
baik dan sah secara hukum. Perhatikan firman Allah swt. berikut :
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Artinya : “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada istri-istri
kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”.
QS. Al Furqon : 74
d.
Mengikuti
sunnah Rasul dan meningkatkan ketaqwaan.
Rasulullah
saw. pernah mencela terhadap seseorang yang bertekat untuk berpuasa, dan bangun
(tidak tidur) setiap hari guna konsentrasi beribadah serta bertekad tidak akan
menikah. Beliau bersabda :
لَكِنِّىْ اَنَا اُصَلِّىْ وَاَنَامُ
وَاَتَـزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُـنَّـتِىْ فَلَيْسَ مِـنَّا متفق عليه
Artinya : “Akan tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka serta aku
menikahi perempuan, maka barang siapa tidak suka akan sunnahku (caraku), maka
bukanlah ia golonganku”. HR. Muttafaq Alaih
Dengan
menikah maka berarti telah melaksanakan setengah dari agama, Nabi saw. bersabda
:
اذا تز وجَ الـعـبد
فقـداسـتكمَل نصفَ الدينِ فليـتق الله فى النصف الــباقى
Artinya : “Bila telah menikah seorang hamba Allah, maka sesungguhnya ia
menyem-purnakan separuh dari agamanya, maka bertaqwalah kepada Allah dalam
(untuk menyempurnakan) separuh yang tersisa”.
Subhanallah
ReplyDelete