Monday, 1 December 2014

KUR 2013.XI.2.1 AL QUR'AN 2, bagian 6

AL QUR'AN TENTANG 
TOLERANSI DAN ANTI KEKERASAN
KOMPETENSI DASAR                      
1.3       Berperilaku taat kepada aturan
3.7       Memahami bahaya perilaku tindak kekerasan dalam kehidupan.
Indikator Pencapaian Kompetensi      
3.7.1      Siswa memahami bahaya perilaku tindak kekerasan dalam kehidupan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
3.7.2      Siswa dapat menyimpulkan bahaya perilaku tindak kekerasan dalam kehidupan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
4.9       Medeskripsikan bahaya  tindak kekerasan dalam kehidupan.
Indikator Pencapaian Kompetensi      
4.9.1      Siswa mendeskripsikan bahaya perilaku tindak kekerasan dalam kehidupan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
Tujuan Pembelajaran
1.   Menunjukkan perilaku dan sikap toleran, rukun dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan sebagai implementasi dari pemahaman Q.S. Yunus (10) : 40-41 dan Q.S. Al-Maidah (5) : 32, serta hadits terkait
7.   Memahami bahaya perilaku tindak kekerasan dalam kehidupan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
8.   Medeskripsikan bahaya  tindak kekerasan dalam kehidupan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis


ISLAM ANTI KEKERASAN

Ilustrasi

JAKARTA, KOMPAS.com — Rabu, 7 Mei 2014 | 05:27 WIB menyatakan:
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menegaskan, kekerasan pada anak sudah sangat mengerikan dan bisa dikatakan pada tahap darurat. Fakta itu terungkap dari data kekerasan yang diterima Komnas Perlindungan Anak cenderung meningkat.
Berdasarkan laporan yang diterima Komnas PA, ujar Arist, di kawasan Jabodetabek pada 2010 mencapai 2.046 kasus. Laporan kekerasan pada anak tahun 2011 naik menjadi 2.462 kasus. Pada 2012 naik lagi menjadi 2.626 kasus dan pada 2013 melonjak menjadi 3.339 kasus.
”Bahkan, dalam tiga bulan pertama 2014, kami menerima 252 laporan kekerasan pada anak,” ungkap Arist. Laporan kekerasan pada anak yang masuk ke Komnas PA didominasi kejahatan seksual yang dari 2010 hingga 2014 angkanya berkisar 42-62 persen.
Kekerasan sering terjadi di tempat yang selama ini dianggap sebagai surga bagi anak-anak, yakni di rumah dan sekolah. ”Kekerasan sering terjadi di dua lokus itu, rumah dan sekolah,” ujarnya. Untuk mencegah kekerasan yang terjadi di tempat yang seharusnya aman bagi anak itu, lanjut Arist, peran serta masyarakat menjadi salah satu ujung tombaknya.
Ironisnya lagi, kematian yang menimpa Renggo Khadafi (10), setelah dianiaya kakak kelasnya, Sy, di dalam kelas SD Negeri 9 Makasar, Jakarta Timur, tak memberikan pelajaran bagi pengajar di sekolah itu. Kepala SDN 9 Makasar Sri Hartini, saat ditemui Kompas, berdalih tak ada kesalahan dalam pengawasan terhadap siswa dan menilai Sy anak yang baik.
Sri mengaku, saat terjadi penganiayaan, ada guru piket yang bertugas, yaitu Rosmida. Namun, Sri tak bisa menjelaskan kenapa kasus itu bisa terjadi di dalam kelas. "Ya, kasus ini kami serahkan kepada kepolisian," kata Sri.
Sri malah mengatakan selama ini tak pernah ada kasus kenakalan yang dilakukan Sy. "Sy anak yang baik, tak pernah melakukan kenakalan," katanya. Renggo tewas pada Minggu, 4 Mei 2014, setelah lima hari menderita sakit parah setelah dianiaya kakak kelasnya, Sy, Senin (28/4/2014). Penganiayaan terjadi di dalam kelas V yang berdampingan dengan ruang kepala sekolah.
Wali kelas Renggo, Prihastuti, mengaku, dua hari sebelum Renggo tewas sempat ada kesepakatan damai antara orangtua asuh Renggo dan orangtua Sy. ”Namun, saya tidak menyangka akan seperti ini (Renggo meninggal),” katanya.
Menurut ibu asuh Renggo, Yessi Puspa Dewi (31), kesepakatan damai itu ditawarkan oleh kepala sekolah karena penganiayaan yang dialami Renggo dianggap sebagai kenakalan anak. Yessi mengaku hanya menerima kesepakatan itu jika Renggo sembuh. Karena Renggo meninggal, dia tetap memperkarakan secara hukum.
Kepala Kepolisian Resor Jakarta Timur Komisaris Besar Mulyadi Kaharni mengungkapkan, kepada penyidik, Sy mengakui telah memukul Renggo. Namun, karena masih di bawah umur, Sy masih dijadikan saksi dan tidak ditahan.
Korban 89 anak
Dari Sukabumi, Jawa Barat, dilaporkan, korban pencabulan yang dilakukan tersangka AS (24) di Kota Sukabumi berjumlah 89 anak. Senin (5/5/2014), sebanyak 16 korban melapor ke Polres Sukabumi Kota. Sehari sebelumnya, jumlah korban tercatat sebanyak 73 anak.
”Korban yang telah kami periksa sebanyak 61 anak. Dari 61 anak itu, enam anak menderita lecet dan satu orang mengalami pendarahan. Pemeriksaan kesehatan ditangani dinas kesehatan. Pelaku akan kami periksa lebih intensif,” kata Kapolres Sukabumi Kota Ajun Komisaris Besar Hari Santoso.
Pemeriksaan, antara lain, untuk mengetahui rentang waktu pencabulan AS. Korban melaporkan kekerasan itu sejak Jumat akhir pekan lalu. Lokasi pencabulan di Pemandian Air Panas Santa, Kecamatan Citamiang, Kota Sukabumi.
Pemerintah Kota Sukabumi menyiapkan tempat untuk penanganan kesehatan fisik dan psikologis korban. Lokasinya berada di Rumah Dinas Wali Kota Sukabumi Mohamad Muraz. Lokasi itu tertutup bagi masyarakat, termasuk wartawan.
”Korban akan ditangani satu atap. Pada 2 Mei saya buat Surat Keputusan tentang Pencegahan dan Penanganan Dampak Kekerasan Seksual terhadap Anak di Kota Sukabumi. SK itu untuk menanggapi peristiwa luar biasa belakangan ini,” kata Mohamad Muraz tentang SK Nomor 92 Tahun 2014 itu, Senin.
Dari Tuban, Jawa Timur, dilaporkan, Sw (40), pedagang asongan buku dan poster, ditangkap warga di Terminal Bus Pariwisata Sunan Bonang, Minggu (4/5/2014), terkait kasus kekerasan seksual pada sembilan anak. Sw melakukan itu dengan dalih ingin menghilangkan penyakit atau pengaruh jin yang ada pada korbannya.
Sw mengakui perbuatan menyimpangnya sejak 2005. Pria asal Kendari, Sulawesi Tenggara, tersebut mengakui semua itu dilakukan untuk menghilangkan amalan jin. Korban harus mau dijadikan obyek tindak kejahatan seksual guna menghilangkan pengaruh negatif pada tubuhnya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Tuban Ajun Komisaris Wahyu Hidayat, Senin, menuturkan, awalnya korban ditipu daya dulu. Saat korban menurut baru dilakukan kejahatan tersebut.
A.    Muqaddimah
Rabu, 06 November 2002 00:00
Jakarta, gusdur.net
Pemberitaan pers Jepang soal pemboman di Bali yang mengaitkan kelompok Islam kanan sebagai pelaku, meresahkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Karena itu dalam pertemuannya dengan tokoh masyarakat Osaka, Jepang, Gus Dur mensosialisasikan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan anti kekerasan.
Di depan para tokoh masyarakat Osaka, Jepang Gus Dur menjelaskan bahwa ajaran Islam tidak pernah memerintahkan tindak kekerasan. “Umat Islam menentang kekeasan dan tidak suka kekerasan,” kata Gus Dur
Demikian Gus Dur mengungkapkan soal kunjungannya ke Jepang di depan peserta Diskusi Ahli Jelang Ramadhan dengatn tema ‘Islam and or Indonesia Under Attack di Depok, Selasa (5/11).
Dalam kunjungannya ke Osaka, Jepang dari 1 hingga 4 November itu, Gus Dur juga menemui sejumlah agamawan, tokoh partai politik dan pejabat pemerintah setempat. Juga berdiskus dengan mahasiswa Indonesia di Jepang.
Selain mensosialisasikan Islam anti kekerasan, Gus Dur juga mengadakan meminta masukkan mengenai penerapan otonomi daerah di Jepang. “Tujuan lainnya saya ke Jepang yaitu, mencari masukkan mengenai sistem pemerintahan yang harus kita perbaiki terus menerus dan penerapan otonomi daerah.”
B.     Pengertian Kekerasan
Dalam Wikipedia bahasa Indonesia (ensiklopedia bebas) disebutkan bahwa : Kekerasan atau bahasa Inggris: Violence berasal dari bahasa Latin: violentus yang berarti kekuasaan atau berkuasa adalah dalam prinsip dasar dalam hukum publik dan privat merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang, umumnya berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan kekerasan ini
Selanjutnya disebutkan bahwa kekerasan dapat dibedakan menjadi :
1.   Kekerasan yang dilakukan perorangan, perlakuan kekerasan dengan menggunakan fisik (kekerasan seksual), verbal (termasuk menghina), psikologis (pelecehan), oleh seseorang dalam lingkup lingkungannya.
2.   Kekerasan yang dilakukan oleh negara atau kelompok, yang oleh Max Weber didefinisikan sebagai "monopoli, legitimasi untuk melakukan kekerasan secara sah" yakni dengan alasan untuk melaksanakan putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum atau dalam keadaan perang yang dapat berubah menjadi semacam perbuatanan terorisme yang dilakukan oleh negara atau kelompok yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan ekstrem (antara lain, genosida, dll.).
3.   Tindakan kekerasan yang tercantum dalam hukum publik yakni tindakan kekerasan yang diancam oleh hukum pidana (sosial, ekonomi atau psikologis (skizofrenia, dll.)).
4.   Kekerasan dalam politik umumnya pada setiap tindakan kekerasan tersebut dengan suatu klaim legitimasi bahwa mereka dapat melakukannya dengan mengatas namakan suatu tujuan politik (revolusi, perlawanan terhadap penindasan, hak untuk memberontak atau alasan pembunuhan terhadap raja lalim walaupun tindakan kekerasan dapat dibenarkan dalam teori hukum untuk pembelaan diri atau oleh doktrin hukum dalam kasus perlawanan terhadap penindasan di bawah tirani dalam doktrin hak asasi manusia.[7]
5.   Kekerasan simbolik (Bourdieu, Theory of symbolic power),[8] merupakan tindakan kekerasan yang tak terlihat atau kekerasan secara struktural dan kultural (Johan Galtung, Cultural Violence)[9] dalam beberapa kasus dapat pula merupakan fenomena dalam penciptaan stigmatisasi.
C.     Islam Anti Kekerasan
Islam adalah agama yang diturunkan Tuhan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Pesan kerahmatan dalam Islam benar-benar tersebar dalam teks-teks Islam baik al Qur’anmaupun hadits.
Kata Rahmah, Rahman, Rahim dan derivasinya disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar. Jumlahnya lebih dari 90 ayat. Maknanya adalah kasih dan sayang.
Dalam sebuah hadits Qudsi Tuhan menyatakan : “Ana Al-Rahman. Ana al-Rahim” (Aku Sang Maha Kasih. Aku Sang Maha Sayang).
Al Qur’an secara sangat tegas menyebutkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah agama “rahmatan li al ‘alamin” :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Aku tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai (penyebar) kasih sayang bagi semesta” (Q.S. al-Anbiya, 107).
Fungsi kerahmatan ini dielaborasi oleh Nabi dengan pernyatannya yang terang benderang: :”bu’itstu li utammima makarim al akhlaq” (Aku diutus Tuhan untuk menyelenggarakan pembentukan moralitas kemanusiaan yang luhur).  Atas dasar inilah Nabi Muhammad saw selalu menolak secara tegas cara-cara kekerasan dan sekaligus tidak pernah melakukannya. Nabi Muhammad Saw. mengatakan :
إني لم أبعث لعانًا، وإنما بعثت رحمة
“Aku tidak diutus sebagai pengutuk melainkan sebagai rahmat bagi semesta”.
Allah swr. telah memberikan kesaksian sekaligus merestui cara-cara atau metode penyebaran Islam yang dijalankan Nabi saw. tersebut sambil menganjurkan agar dia meneruskannya:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(Q.S. Ali Imran, 3 :159).
Ayat Al Qur’an di atas dengan sangat jelas dan lugas menegaskan bahwa Allah lah yang menganugerahkan kepada Nabi Muhammad saw. sifat dan karakter kasih dan sayang itu, sekaligus menegaskan bahwa metode mengajak orang lain kepada Islam dengan cara kasar dan kekerasan, justeru tidak menghasilkan apa-apa, bahkan kegagalan. Tuhan juga memberikan jalan lain; dialog dan bermusyawarah untuk menyelesaikan atau jalan keluar bagi segala konflik dan ketegangan antar warga masyarakat.
Pernyataan ini tentu saja seharusnya menginspirasi kita untuk melakukan langkah-langkah atas kehendak Islam universal itu. Yakni mewujudkan sebuah tatanan kehidupan manusia yang didasarkan pada pengakuan atas kesederajatan manusia di hadapan hukum, penghormatan atas martabat, persaudaraan, penegakan keadilan, pengakuan atas pikiran dan kehendak orang lain, dialog secara santun serta kerjasama saling mendukung untuk sebuah perwujudan kehendak-kehendak bersama. Ini adalah pilar-pilar kehidupan bersama yang selalu dirindukan oleh setiap manusia di manapun dan kapanpun, tanpa harus mempertimbangkan asal usul tempat kelahiran, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, keturunan, keyakinan agama dan sebagainya.
Pilar-pilar banyak dikemukakan dengan sangat jelas dalam al Qur’andan dalam Hadits Nabi saw.
 Dari Al-Qur’an, antara lain adalah :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.(Q.S. al Nisa, 1).
Ayat lain :       
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(Q.S. Al Hujurat 13).
Pada ayat al Qur’an yang lain kita menemukan sebuah pernyataan Tuhan yang lain tentang misi kenabian Muhammad saw. : “dia mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju dunia yang bercahaya”(yukhrijuhum min al zhulumat ila al nur). Ini sama artinya dengan mengatakan bahwa tugas Nabi Muhammad adalah membebaskan manusia dari ketertindasan sistem sosial, budaya politik dan ekonomi dan menciptakan sistem sosial yang bebas, berkeadilan, berkesetaraan dan dalam persaudaraan kemanusiaan.
Nabi Muhammad saw pernah menyatakan :
“Manusia adalah sederajat (setara) bagaikan gigi-gigi sisir. Tidak ada keistimewaan antara manusia Arab dari manusia non Arab kecuali karena ketakwaannya”.
ان الله لا ينظر الى صوركم ولا الى اجسامكم الا بالتقوى
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan tubuhmu melainkan kepada hati dan perbuatanmu”.
Nabi kaum muslimin dalam banyak kesempatan bahkan pada beberapa hari sebelum meninggalnya, juga menyampaikan pernyataan ini :
يا ايها الناس , إن دماءكم واموالكم واعراضكم حرام عليكم
“Wahai manusia, sungguh, darahmu, hartamu dan kehormatan (martabat) mu adalah suci, terhormat”.
Siapapun yang membaca dengan pikiran cerdas pernyataan-pernyataan teologis di atas niscaya akan dapat menyimpulkan dengan tanpa ragu bahwa teks-teks suci kaum muslimin ini adalah bukti paling nyata dari missi dan doktrin kemanusiaan Islam.
Sangat meyakinkan bahwa tidak ada teks-teks keagamaan lama maupun baru yang membicarakan prinsip-prinsip kemanusiaan secara begitu mempesona berani, mendalam, fasih dan genuin seperti teks-teks Islam di atas. Ini semua sesungguhnya merupakan konsekwensi paling logis dari doktrin Tauhid, sebuah kredo (keyakinan) monoteisme paling sentral dalam sistem Islam.
Sejauh yang dapat ditelurusi dari kehidupan Nabi Muhammad, telah ditemukan fakta-fakta historis bahwa prinsip-prinsip kemanusiaan Islam (baca : kerahmatan Islam) tidak hanya muncul sebagai wacana yang dikhutbahkan atau dipidatokan di mana-mana, melainkan juga telah menjadi sikap dan perilaku keseharian beliau dan para sahabat-sahabatnya. Bahkan Tuhan sungguh-sungguh memberikan kesaksian atas perilaku pribadi Nabi sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya  : “Wa innaka la’ala Khuluqin ‘Azhim”,(kamu,sungguh, berjalan di atas moral yang luhur).
Bukti lain tentang kerahmatan Islam ditunjukkan oleh apa yang dikenal dengan “Piagam Madinah” atau “Traktat Madinah”, sebuah konstitusi yang dikeluarkan di Madinah. Para sarjana hari ini sering menyebut Piagam ini merupakan Traktat atau perjanjian konstitusional  tentang hak-hak asasi manusia universal yang pertama di dunia. Salah satu butir isinya menyatakan : “Orang Islam, Yahudi dan warga Madinah yang lain, bebas memeluk agama dan keyakinan mereka masing-masing. Mereka dijamin kebebasannya dalam menjalankan ibadah. Tidak seorangpun dibenarkan mencampuri urusan agama orang lain. Orang Yahudi yang menandatangani (menyetujui) piagam ini berhak memperoleh pertolongan dan perlindungan serta tidak diperlakukan zhalim. Orang Yahudi bagi orang Yahudi dan orang Islam bagi orang Islam. Jika di antara mereka beruat zhalim, itu akan menyengsarakan diri dan keluarganya. Setiap bentuk penindasan dilarang. Mereka sama-sama wajib mempertahankan negerinya dari serangan musuh”.
Bernard Lewis, seorang orintalis beragama Yahudi, mengakui dengan terus terang missi kerahmatan Islam ini. Dia mengatakan :
“Pada masa-masa permulaan, banyak pergaulan sosial yang lancar terdapat di antara kaum muslimin, Kristen dan Yahudi. Sementara menganut agama masing-masing mereka membentuk masyarakat yang satu di mana perkawanan pribadi, kerjasama bisnis hubungan guru-murid dalam ilmu pengetahuan dan bentuk-bentuk afktifitas bersama lainnya berjalan normal dan sungguh,umum di mana-mana. Kerjasama budaya ini dibuktikan dalam banyak cara”. (Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban, hlm.60).
Lima Prinsip Kerahmatan Semesta Islam
Al-Imam Al-Ghazali, pemikir muslim sunni klasik terbesar mengatakan bahwa tujuan agama adalah kesejahteraan sosial (kemaslahatan). Al-Ghazali selanjutnya merumuskan makna ini : “kemaslahatan menurut saya adalah mewujudkan tujuan-tujuan agama yang memuat lima bentuk perlindungan. Yaitu perlindungan terhadap ; agama (hifzh al din), jiwa dan tubuh (hifzh al nafs), akal-pikiran (hifzh al ‘aql), keturunan (hifzh al nasl) dan harta benda (hifzh al maal). Segala cara yang dapat menjamin perlindungan terhadap lima prinsip ini adalah kemaslahatan dan mengesampingkannya adalah kerusakan (mafsadah), menolak kerusakan adalah kemaslahatan”
Pandangan al Ghazali tersebut harus dielaborasi secara lebih jauh dalam konteks yang lebih luas dan sejalan dengan gagasan besar Islam tentang kerahmatan universal, termasuk di dalamnya tentang kebebasan dan kesetaraan manusia serta penghapusan pandangan-pandangan  dan praktik-praktik yang mendiskriminasikan manusia atas manusia. Kita harus mampu keluar dari tafsir tradisional yang tertutup, eksklusif, menuju tafsir yang lebih terbuka, inklusif. Pertama, perlindungan terhadap keyakinan agama dan kepercayaan, mengandung implikasi bahwa perlindungan bukan hanya terhadap agama dan keyakinan dirinya melainkan juga terhadap keyakinan orang lain, sehingga tidak seorangpun boleh memaksa atau menindas orang lain hanya karena keyakinan atau agamanya atau kepercayaannya yang berbeda dengan dirinya. Kedua, perlindungan terhadap jiwa, mengimplikasikan perlindungan terhadap nyawa dan tubuh siapapun, sehingga tidak boleh ada seorangpun yang berhak melukai, membunuh atau melakukan kekerasan terhadap orang lain yang tidak melakukan kesalahan apapun. Ketiga perlindungan terhadap akal pikiran, mengandung implikasi penyediaan ruang yang bebas untuk mengekspresikan pendapat, pikiran, gagasan dan kehendak-kehendak yang lain, sehingga tidak boleh terjadi pemasungan dan penjegalan terhadap pikiran dan pendapat orang lain oleh siapapun serta tidak boleh dirusak oleh apapun, seperti minuman keras, narkoba dan lain-lain.  Keempat perlindungan terhadap kehormatan dan keturunan, membawa konsekwensi perlindungan dan penghormatan terhadap alat-alat reproduksi dalam rangka menjaga kesehatannya,  sehingga tidak boleh terjadi pemerkosaan, pelacuran dan pelecehan atau eksploitasi seksual lainnya. Kelima, perlindungan terhadap hak milik pribadi maupun masyarakat, mengandung implikasi adanya jaminan atas pilihan-pilihan pekerjaan, profesi, hak-hak atas upah sekaligus jaminan keamaanan atas hak milik tersebut, sehingga tidak boleh terjadi adanya larangan terhadap akses pekerjaan, perampasan hak milik pribadi, korupsi, penyelewengan, penggelapan, penggusuran, perusakan lingkungan dan alam serta eksploitasi-eksploitasi haram lainnya oleh siapapun; individu, masyarakat, institusi keagamaan, sosial, maupun institusi negara.
(Sumber Tulisan : https://lensasukabumi.wordpress.com/2011/02/11/islam-anti-kekerasan-agama-rahmat/)
D.    Tempat Terjadinya Kekerasan.
Kekerasan dalam segala bentuknya dapat terjadi di mana-mana, antara lain :
1.   Kekerasan Dalam Rumah Tangga
2.   Kekerasan Dalam Kehidupan Bermasyarakat
3.   Kekerasan Dalam Lingkungan Pendidikan
4.   Kekerasan Dalam Lingkungan perkantoran
5.   Kekerasan Dalam Negara
6.   dll
E.     Bentuk-bentuk Kekerasan
Kekerasan, dimanapun terjadi akan menimbulkan kekacauan, kerugian secara fisik maupun non-fisik.
Kebanyakan orang hanya memahami kekerasan sebagai tindakan fisik yang kasar saja sehingga bentuk perilaku dalam bentuk kata-kata menyakitkan dan perilaku menekan tidak pernah diperhitungkan sebagai kekerasan. Padahal yang disebut kekerasan mencakup keseluruhannya.
Hal ini dapat dilihat dari definisi tentang tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana disebutkan dalam bab III Pasal (1) UU No. 23 tahun 2004 tentang tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Jadi bentuk tindak kekerasan itu setidaknya ada tiga yaitu:
a.   Kekerasan fisik.
Yang di maksud dengan kekerasan fisik adalah suatu tindakan yang dilakukan seorang kepada orang lain yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat sehingga tidak menutup kemungkinan yang akan terjadi pada korban akan mengalami trauma yang berkepanjangan atau gangguan psikologis diakibatkan perilaku tersebut.
b.   Kekerasan Psikis.
Yang dimaksud dengan kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis dalam UU ini dapat diukur dari akibat yang dirasakan oleh korban, dalam hal ini bahwa perbuatan tersebut mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, penderitaan dan atau gangguan psikis berat pada seseorang.
Untuk memastikan sejauh mana korban mengalami kekerasan psikis, bisa dikonfirmasi kepada pihak-pihak yang kompeten dan atau berwenang mengeluarkan Visum Psikiatrikum sebagai alat bukti.
c.    Kekerasan Seksual.
Kekerasan seksual adalah pemaksaaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap seseorang dalam lingkungantertentu.
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual dalam perkawinan dapat terjadi bila suami menghendaki istri untuk menuruti keinginan seksnya kapan pun ia mau tanpa memperdulikan kondisi dan atau persetujuan/kehendak istri.
F.     Tafsir Ayat Nusyuz
Menurut hemat penulis, sebenarnya hukum Islam tidak melarang seorang suami melakukan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap Istri. Banyak ayat al-Quran yang membicarakan tentang larangan kekerasan terhadap perempuan. Uslub (gaya bahasa) yang digunakan pun beragam; ada yang menyuruh berbuat baik terhadap perempuan, ada yang melarang praktik-praktik yang merugikan perempuan; yang dikemukakan sebagai langkah preventif untuk melindungi perempuan dari tindak kekerasan, ada pula yang dinyatakan sebagai langkah kuratif terhadap praktek kekerasan yang dialami perempuan.
Ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan adalah QS Al-Nisaa': Ayat 34-35 yang artinya Laki-laki mempunyai kelayakan memimpin kaum wanita, karena Allah telah memberikan kelebihan atas yang lain dan karena mereka memberi nafkah.
Wanita-wanita yang salehah ialah yang taat beribadah, yang menjaga amanat sewaktu suami berpergian, karena Allah telah memelihara mereka. Mereka yang dikhawatirkan berbuat nusyuz berilah mereka peringatan, jauhilah mereka di tempat tidur, pukullah mereka (ada yang mengartikan "berilah sangsi yang mendidik").
Tetapi apabila mereka telah taat kepadamu, jangan mencari jalan untuk menyudutkan. Allah Mahatinggi lagi Mahagung. Jika kamu khawatir akan timbul perselisihan, utuslah seorang juru penengah dari keluarga laki-laki dan dari keluarga perempuan. Jika keduanya itu berkehendak damai Allah akan memberikan taufik kepada yang berselisih itu. Allah sungguh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ada perbedaan baik dikalangan para ulama' atau ahli tafsir dalam mengartikan kata "Fadhribuhunna". Bila ditinjau dari sejarah turunnya al Qur'an, dimana perempuan pada saat itu tidak dimanusiakan. Perempuan pra Islam berhak dibunuh dan dijadikan benda waris tanpa boleh membela diri.
Maka pemukulan pada saat itu merupakan bentuk kekerasan yang amat ringan dibanding perilaku yang dilakukan oleh masyarakat pra Islam. Dan pernyataan dalam al Qur'an menjadikan pemukulan sebagai alternatif terakhir bagi suami yang istrinya nusyuz. Dengan setting sosial budaya demikian, menurut Badriyah Fayumi, pemukulan terhadap istri yang nusyuz bukanlah tujuan atau cara yang direkomendasikan melainkan justru merupakan tradisi yang secara bijaksana dikehendaki oleh al Qur'an untuk ditinggalkan.
Berbeda dengan pengertian di atas, Muhammad Abduh sebagaimana dikutib Musdah, kata memukul dalam ayat tersebut metaforis, yakni dalam pengertian mendidik atau memberi pelajaran. Perlu digarisbawahi, mesti ada sejumlah ulama' dan ahli tafsir yang mengartikan kata memukul dalam pengertian fisik. Hal itu hanya boleh dalam kondisi yang amat terpaksa, sifatnya darurat bukan kewajiban. Untuk itu ada beberapa ketentuan yang diperhatikan suami, diantaranya:
1.     Dilarang memukul dengan menggunakan alat, seperti tongkat dan sebagainya.
2.     Tidak boleh pada bagian wajah.
3.     Tidak boleh hanya satu bagian tertentu saja.
4.     Tidak boleh memukul yang berakibat cidera.
Namun kemudian para ulama' baik yang memahami ayat tersebut secara harfiah maupun metaforis, bahwa sikap suami yang menjauhi pemukulan dan tindakan fisik serta memberi maaf adalah sebuah tindakan yang terpuji.

Mauidlah (memberikan nasihat yang baik) dan pisah ranjang (bukan pisah rumah dan bukan saling mendiamkan) sungguh merupakan metode jitu yang diperkenalkan Al-Quran untuk meminimalisir tindak kekerasan berupa pemukulan. Dalam konteks sosial budaya yang begitu permisif terhadap kekerasan, kedua metode yang dikemukakan ayat ini benar-benar menawarkan sesuatu yang melawan arus sekaligus mengakomodir kepentingan perempuan.
Sayyid Qutb dalam Abdul Moqsit Ghozali, menyatakan ayat ini merupakan satu di antara banyak ayat Al-Quran yang menginformasikan adanya pergulatan antara tradisi masyarakat versus ajaran Islam di mana Islam dalam posisi perombak tradisi.
(memberikan nasihat yang baik) dan pisah ranjang (bukan pisah rumah dan bukan saling mendiamkan) sungguh merupakan metode jitu yang diperkenalkan Al-Quran untuk meminimalisir tindak kekerasan berupa pemukulan. Dalam konteks sosial budaya yang begitu permisif terhadap kekerasan, kedua metode yang dikemukakan ayat ini benar-benar menawarkan sesuatu yang melawan arus sekaligus mengakomodir kepentingan perempuan. Sayyid Qutb dalam Abdul Moqsit Ghozali, menyatakan ayat ini merupakan satu di antara banyak ayat Al-Quran yang menginformasikan adanya pergulatan antara tradisi masyarakat versus ajaran Islam di mana Islam dalam posisi perombak tradisi.

M.Quraisy shihab mengatakan bahwa tidak semua istri taat kepada Allah, demikian juga suami. Maka ayat ini memberikan tutunan kepada suami, bagaimana seharusnya bersikap dan berlaku terhadap istri yang membangkang. Jangan sampai pembangkangan mereka berlanjut, dan jangan sampai juga sikap suami berlebihan sehingga mengakibatkan runtuhnya kehidupan rumah tangga.

Dalam suatu riwayat disebut bahwa Nabi Muhammad SAW ketika melakukan haji wada' (haji terakhir yang bertepatan dengan hari jum'at) setelah memuji Allah SWT dan menasehati orang-orang yang hadir ketika itu, beliau bersabda yang artinya:"Ketahuilah! Hendaklah kamu melaksanakan wasiatku untuk melakukan yang terbaik bagi kaum wanita, karena mereka itu laksana tawanan yang berada di sisimu. Kamu tidak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka kecuali apa yang telah aku wasiatkan ini. Lain halnya jika mereka melakukan tindakan keji secara terang-terangan.
Apabila mereka melakukannya, maka tindaklah mereka dengan pisah ranjang dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Tetapi apabila mereka patuh, maka jangan menacari alasan untuk memukul mereka. Ketahuilah bahwa kamu mempunyai hak atas mereka, dan mereka mempunyai hak atasmu. Adapun hakmu atas mereka adalah mereka tidak diperkenankan untuk membawa orang yang tidak kamu sukai menginjak tempat tidurmu dan mengizinkannya memasuki rumahmu. Ketahuilah bahwa hak mereka atasmu adalah perlakuanmu yang baik dalam memberikan sandang dan pangan".
Dalam hadits di atas, Nabi mengingatkan agar kita melaksanakan wasiatnya berkenan dengan istri, yaitu mengasihi dan memperlakukannya dengan baik, karena mereka adalah orang-orang yang lemah dan membutuhkan orang lain untuk menyediakan hal-hal yang menjadi keperluan mereka. Nabi mengumpamakan mereka dengan tawanan, karena pada dasarnya mereka adalah tahanan suami atau pinjaman yang diamanatkan oleh Allah. Akan tetapi, jika mereka melakukan perbuatan keji seperti nusyuz, maka suami diperbolehkan melakukan tindakan berupa pisah ranjang dalam waktu yang tidak terbatas sesuai dengan kebutuhan.
Jika sudah ada tanda-tanda membaik, maka pisah ranjang dihentikan. Demikian pula, suami diperbolehkan memukul dengan pukulan yang tidak berbahaya jika pisah ranjang tidak membuat mereka sadar. Akan tetapi, apabila mereka kembali patuh kepada suami, maka suami dilarang mencari berbagai kesalahan untuk memukul mereka secara zalim. Sebab istri yang telah menyadari kesalahannya dan bertaubat seperti orang yang tidak pernah berbuat dosa.
Hadits diatas diriwayatkan oleh At-Turmudzi (hadits No. 1163) dan Ibn Majah (hadits No. 1851) dari jalur Sulayman bin ‘Amr bin al-Ahwash dari ayahnya secara marfu'. Menurut At-Turmuzi hadits ini hasan sahih. Menurut al-Albani dalam sanad hadits ini terdapat "kesamaran" tetapi ia memiliki beberapa penguat (syahid) yang menguatkannya.
Dalam hal pembuktian, sebagian ulama ada yang memahami bahwa nusyuz di sini diartikan dengan "yang dapat dibuktikan", sedangkan ulama lain memahaminya sebagai nusyuz yang diketahui oleh suami. Akan tetapi kalau diberikan interpretasi serupa itu, mengapa Allah SWT "mengganti'" kata ‘ulama= diketahui (nusyuznya) dengan kata khaafa= dikhawatirkan (nusyuznya)? Mengapa misalnya, Allah Swt tidak menyatakan: "dan wanita-wanita yang nusyuz" saja? Dengan demikian, tak bisa lain, pasti ada hikmah yang tersembunyi, yakni: Allah SWT menghendaki agar kehidupan suami-istri itu merupakan kehidupan yang penuh cinta-kasih, sayang-menyayangi, dan penuh kerelaan timbal-balik, Allah pun tidak menghendaki nusyuz ini dikaitkan dengan sikap kaum wanita yang betul-betul terjadi dalam kehidupan suami-istri itu. Justru sebaliknya, Allah mengharapkan sikap seperti itu jangan sampai terjadi, sebab, jelas merupakan sikap yang keluar dari prinsip yang padanya setiap fitrah itu ditegakkan dan di atasnya kebaikan rumah tangga yang dibangun.

Allah SWT berfirman yang artinya: Para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf, akan tetapi suami mempunyai satu derajad kebaikan atas mereka (para istri) (QS. Al Baqoroh: 228).

Derajad itu adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Karena itu, Syaikh al Mufassirin Imam Ath Thobari menulis:
Walau ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah anjuran bagi para suami untuk memperlakukan istrinya dengan sifat terpuji, agar mereka dapat memperoleh derajad itu.
Imam Ghozali menulis:
Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak mengganggunya, tetapi bersabar dari kesalahannya, serta melakukan dengan kelembutan dan maaf, saat ia menumpahkan emosi dan kemarahannya.

Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Berwasiatlah kepada perempuan dengan baik. Karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok. Dan tulang yang paling bengkok adalah atasnya. Jika engkau dengan keras meluruskannya, niscaya engkau akan mematahkannya. Tetapi kalau engkau biarkan niscaya akan tetap bengkok (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hadits diatas difahami oleh para ulama' terdahulu secara harfiah. Namun tidak sedikit ulama' ulama' kontemporer memahaminya secara metafora, bahkan ada yang menolak keshohihan (kebenaran) hadits tersebut. Yang memahami secara metafora bahwa hadits di atas memperingatkan kepada laki laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki laki, hal mana jika tidak disadari akan dapat mengantarkan kaum laki laki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu merubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Maka Islam mengajurkan agar suami menimbang dengan adil antara sifat-sifatnya yang baik dan yang buruk. Karena apabila ia melihat sifat yang tidak disenanginya tentu ia akan melihat juga sifat yang disenanginya.
PENUTUP
Demikianlah pandangan beberapa mufassir mengenai ayat nusyuz, yaitu sebagaimana terdapat dalam surat An Nisa' ayat 34-35. Ada sebagian ulama' yang menafsirkan kata "fadhribuhunna" dengan " mendidik atau memberi pelajaran", ada pula yang memahami berdasarkan konteks sosial historis bahwa pemukulan terhadap istri yang nusyuz bukanlah tujuan atau cara yang direkomendasikan melainkan justru merupakan tradisi yang secara bijaksana dikehendaki oleh al Qur'an untuk ditinggalkan. Bahkan lama' yang tetap mengartikan "fadhribuhunna" dengan "memukul" pun harus dengan syarat syarat tertentu sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan di atas. Sedangkan penulis sendiri sepakat dengan pendapat kedua, karena dalam memahami nas kita pun harus memahami konteks sosial cultural dimana nash itu turun.
Kalau kita melihat jenis jenis KDRT dalam UU No. 23 tahun 2004, nampak bahwa memukul istri, biarpun dikarenakan nusyuz tetap merupakan kekerasan dalam rumah tangga yang dilarang oleh UU tersebut. Menurut penulis Undang-undang KRDT dibuat dengan tujuan menjaga kemaslahatan, yaitu melindungi setiap anggota keluarga atau rumah tangga dari tindak kekerasan, hal ini sesuai dengan kaidah ushuliyah:"Tashorruful Imam Manuthun bil Mashlahah".

Sumber Bacaan:
http://kamilia-milestones.blogspot.com/2010/01/pandangan-islam-terhadap-kekerasan.html
http://pesantren.uii.ac.id/content/view/29/52/1/1/

1.     Perkosaan. Perkosaan bisa dimaknai sebagai serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual. Dalam serangan seksual itu ada upaya paksa, kekerasan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan. Pencabulan sering diidentikkan dengan perkosaan dalam hukum Indonesia.
2.   Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan. Di sini, ada tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada korban. Bisa disampaikan langsung atau melalui pesan singkat. Ancaman atau percobaan perkosaan termasuk kategori ini.
3.   Pelecehan seksual. Ini adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik atau nonfisik dengan sasaran organ seksual korban. Komnas Perempuan memasukkan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, dan menunjukkan materi pornografi ke dalam kategori ini.
4.   Eksploitasi seksual, yakni tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang timpang, atau penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuan kepuasaan seksual, atau untuk memperoleh keuntungan. Bentuk yang kerap terjadi adalah menggunakan kemiskinan keluarga perempuan untuk memasukkannya ke dalam prostitusi atau bisnis pornografi.
5.   Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, meliputi tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim memindahkan, atau menerima seseorang dengan paksaan atau rayuan untuk tujuan prostitusi atau ekspolitasi seksual lainnya.
6.   Prostitusi paksa. adalah situasi dimana korban mengalami tipu daya, ancaman, atau kekerasan untuk menjadi pekerja seks.
7.   Perbudakan seksual, adalah situasi dimana pelaku merasa menjadi ‘pemilik’ atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui pemerkosaan atau cara lain.
8.   Pemaksaan perkawinan. Pernikahan dini atau pernikahan yang dipaksakan kepada orang yang belum dewasa karena di dalamnya akan ada pemaksaan seksual. Cerai gantung termasuk juga dalam kategori ini.
9.   Pemaksaan kehamilan. Situasi ketika perempuan dipaksa untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia inginkan. Misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan.
10. Pemaksaan aborsi, yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman, atau paksaan dari pihak lain.
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi. Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi atau pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari pasangan, mungkin karena minim informasi atau karena belum cakap secara hukum untuk memberi persetujuan. Bisa menimpa perempuan yang terkena HIV/AIDS.
12. Penyiksaan seksual, adalah tindakan khusus menyerang organ atau seksualitas korban, yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan hebat.
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual. Masuk kategori kekerasan sesual karena cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa. Termasuk di dalamnya hukuman cambuk atau hukuman lain yang mempermalukan.
14. Praktek tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan. Kebiasan masyarakat, kadang ditopang alasan agama dan tradisi, yang bernuansa seksual, yang dapat menimbulkan cedera fisik, psikologis atau seksual pada korban dimasukkan Komnas Perempuan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual.
15. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama. Pandangan yang menuduh perempuan sebagai penyebab kekerasan seksual menjadi landasan untuk mengendalikan seksual perempuan.

No comments:

Post a Comment