b. Kewajiban Istri
1. Kewajiban
utama bagi istri adalah berbakti lahir bathin kepada suami di dalam
batas-batas yang dibenarkan oleh agama.
2. Mengatur dan menyelenggarakan keperluanrumah
tangga sehari-hari sebaik-baiknya bersama anggota keluarga yang lain.
3. Menjaga dan
memelihara kehormatan diri,
keluarga, suami dan harta benda suami terutama bila suami tidak di
rumah.
4. Sesuai dengan kemampuannya, membantu
tugas-tugas suami terutama dalam menciptakan keluarga yang taqwallah.
Penjelasan
1. Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban suami
istri, sangatlah bijaksana bila memperha-tikan dan mempertimbangkan ayat
berikut :
وَلَهُـنَّ
مِـثْلُ الَّذِيْ عَلَـيْـهِنَّ بِالْمــَعْرُوْف
Artinya : “Dan para
wanita (istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma’ruf”. QS. Al Baqarah : 228
2. Suami istri harus selalu bekerja sama dalam
mewujudkan tujuan perkawinan, terutama di dalam menciptakan kemesraan di atas
sajadah sebagai wujud dari ketaqwaannya kepada Allah swt.
E.
TALAK
(Perceraian)
a. Pengertian Talak
Pengertian Talak menurut bahasa Arab adalah melepaskan ikatan,
sedangkan yang dimaksud di sini adalah melepaskan atau memutuskan ikatan
pernikahan dengan menggunakan lafaz
talak atau perkataan lain yang senada dengan maksud talak.
Bila problem keluarga tidak dapat diatasi, maka akan menjadi
sumber konflik yang kemudian bisa meningkat pada percekcokan yang
berkepanjangan. Bila percekcokan ini tidak dapat diatasi walaupun telah
diusahakan dengan berbagai cara untuk Islah, dan dalam kehidupan rumah tangga
tidak memungkinkan lagi terwujud ketenangan dan ketentraman, maka dalam
kondisi seperti ini talak dapat dilaksanakan dengan cara yang baik. Atau juga apabila suami istri tidak dapat
memenuhi kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan agama. Jadi talak
hanya dapat dilaksanakan jika keadaan sudah sangat memaksa dan usaha lain sudah
tidak dapat diharapkan dapat menyelesaikannya.
b. Hukum Talak.
Dalam Agama Islam, hukum asal talak adalah makruh, yaitu boleh
tapi tidak disukai oleh Allah swt, hal ini berdasar hadis Nabi saw :
ابـغضُ
لحـلال عـنـد الله هـو لطلاق رواه ابو داود وابن ماجه
Artinya : “Perbuatan
halal yang sangat dimurkai oleh Allah adalah talak”. HR.Abu Daud dan Ibnu Majah.
Bila memperhatikan situasi dan kondisinya serta kemaslahatan
dan kemudlaratan talak, maka hukum asal tersebut dapat menjadi :
1. Wajib, yaitu bila perselisihan sudah memuncak
dan hakim memandang perlu untuk talak.
2. Sunnat, bila suami sudah tidak dapat lagi
memenuhi kewajibannya dengan layak, atau bila istri tidak dapat menjaga
kehormatan diri dan keluarganya.
3. Haram, yaitu menjatuhkan talak ketika istri
dalam keadaan haidh, atau ketika istri suci setelah adanya hubungan suami
istri.
c. Lafadl dan Bilangan Talak.
Kalimat atau lafadl talak bisa berupa ungkapan lisan (ucapan)
atau secara tertulis dengan menggunakan kata-kata yang sharih (terang) atau
kinayah (sindiran).
1. Sharih (terang), yaitu kalimat yang jelas tujuannya, seperti : “saya
talak engkau” atau “saya ceraikan engkau.” Dengan ungkapan yang jelas ini maka
jatuhlah talak tersebut, baik disertai dengan niat ataupun tidak.
2. Kinayah (sindiran), yaitu kata-kata yang
tidak jelas maksudnya atau meragukan, seperti kata suami : “Pergilah engkau
dari sini atau pulanglah engkau ke rumah orang tuamu” Perkataan suami di atas
bila dengan niat mentalak maka jatuhlah talaknya, akan tetapi bila tidak
disertai dengan niat mentalak maka tidaklah jatuh talak.
Terhadap seorang istri, suami berhak menjatuhkan talak maksimal
3 kali, dengan klasifikasi berikut :
1. Talak Raj’i, yaitu talak yang pertama dan
kedua. Setelah terjadinya talak raj’i ini suami berhak untuk rujuk (kembali)
kepada istrinya selagi masih dalam masa iddah atau kawin kembali setelah masa
iddahnya habis.
2. Talak Bain,dibedakan menjadi talak Bain
Sughro atau Kubro.
Talak Bain Sughro (asghar) adalah talak yang menyebabkan hilangnya
hak suami untuk rujuk ketika istri masih dalam iddah, akan tetapi boleh
mengadakan akad nikah baru meskipun dalam masa iddah. Talak jenis ini adalah :
Talak yang terjadi Qabla al dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’ serta
talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
Talak Bain Kubro (akbar) yaitu talak yang terjadi untuk ketiga
kalinya, yang menyebabkan hilangnya hak suami untuk rujuk kembali ketika
(bekas) istri masih dalam masa iddah atau tidak boleh mengadakan akad nikah
baru kecuali (bekas) bila istri sudah dinikahi oleh laki-laki lain dan telah
talak Ba’da ad dukhul serta telah habis masa iddahnya.
F.
IDDAH
a. Pengertian
Iddah
Iddah
berarti ketentuan, yaitu ketentuan masa menunggu yang diwajibkan atas perempuan
yang dicerai suaminya, baik cerai biasa maupun cerai mati. Selama masa iddah
bekas istri tidak boleh kawin dengan laki-laki lain, sebab ia masih menjadi hak
bekas suaminya, disamping itu untuk memastikan apakah selama iddah itu ia hamil
atau tidak. Dan bila ternyata ia hamil maka anak yang dikandungnya itu sah sebagai
anak dari suami yang menceraikannya.
b. Manfaat
adanya masa iddah
1. Untuk
mengetahui dengan pasti berisi atau tidaknya kandungan perempuan tersebut.
2. Untuk
memberi kesempatann berfikir kepada bekas suami istri itu, apakah keduanya
sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk atau
tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk maka hal itu merupakan jalan yang
sangat baik.
c. Ketentuan-ketentuan Masa Iddah
1. Bagi
istri yang dicerai qabla ad dukhul (belum dikumpuli oleh suami), maka baginya
tidak ada masa iddah dan suami disunatkan memberikan mut’ah (pemberian yang
dapat menyenangkan hati bekas istri). Dan bekas istri boleh langsung kawin
dengan laki-laki lain begitu selesai dicerai oleh suaminya.
2. Bagi
istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka masa iddahnya adalah 4 bulan 10
hari. Sedangkan bila ditinggal oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka menurut
jumhur ulama masa iddahnya sampai melahirkan anaknya.
3. Bagi
istri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya sampai
melahirkan anaknya
4. Bagi
istri yang dicerai, sedang ia masih dalam keadaan normal haidnya, maka iddahnya
tiga kali quru’ (tiga kali suci
5. Bagi
istri yang diicerai dalam keadaan tidak haid lagi, baik karena menopause (usia
lanjut) atau karena masih kecil atau sudah dewasa tapi tidak pernah haid, maka
iddahnya adalah tiga bulan
d. Hak-hak istri selama dalam masa iddah.
1. Perempuan
yang dalam masa iddah Raj’i atau yang ditalak dalam keadaan hamil (baik
talak Rij’i maupun ba’in) maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian,
dan belanja dari mantan suaminya. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an :
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوا
عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ
حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para istri)
dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri
yang sudah ditalak) itu wanita-wanita yang sedang hamil maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya sampai mereka melahirklan anaknya. QS. At Thalaq : 6.
Dalam
sebuah hadits, Nabi saw. bersabda :
انـما
النــفقةُ والسـُّكنى للمـرأة اذا كان لـزوجها علـيها الرَّجْـعَـة رواه
احمد
Artinya : “Bahwa
perempuan yang berhak mengambil nafkah dan tempat tinggal adalah apabila
suaminya itu berhak rujuk kepadanya”. HR. Ahmad dan Nasa’i.
2. Wanita
yang dicerai dengan talak ba’in sughro atau kubro, atau juga karena talak tebus
(khulu’), maka baginya hanya mempunyai hak tempat tinggal saja dan tidak yang
lainnya.
3. Istri yang dalam masa iddah wafat, ia hanya mendapat hak
waris, walaupun sedang hamil.
No comments:
Post a Comment