Wednesday 3 April 2013

XII.2.5 MUNAKAHAH, bag 3

b.   Kewajiban Istri
Kewajiban istri merupakan hak suami, begitu juga sebaliknya. Adapun kewajiban istri antara lain :
1.   Kewajiban  utama bagi istri adalah berbakti lahir bathin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh agama.
2.   Mengatur dan menyelenggarakan keperluanrumah tangga sehari-hari sebaik-baiknya bersama anggota keluarga yang lain.
3.   Menjaga dan  memelihara  kehormatan  diri,  keluarga, suami dan harta benda suami terutama bila suami tidak di rumah.
4.   Sesuai dengan kemampuannya, membantu tugas-tugas suami teruta­ma dalam menciptakan keluarga yang taqwallah.
Penjelasan
1.   Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban suami istri, sanga­tlah bijaksana bila memperha-tikan dan mempertimbangkan ayat berikut :

وَلَهُـنَّ مِـثْلُ الَّذِيْ عَلَـيْـهِنَّ بِالْمــَعْرُوْف
Artinya :   “Dan para wanita (istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”. QS. Al Baqarah : 228
2.   Suami istri harus selalu bekerja sama dalam mewujudkan tujuan perka­winan, terutama di dalam menciptakan kemesraan di atas sajadah sebagai wujud dari ketaqwaannya kepada Allah swt.

E.     TALAK (Perceraian)

a.  Pengertian Talak
Pengertian Talak menurut bahasa Arab adalah melepaskan ikatan, sedangkan yang dimaksud di sini adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan dengan menggunakan lafaz  talak atau perkataan lain yang senada dengan maksud talak.
Bila problem keluarga tidak dapat diatasi, maka akan menjadi sumber konflik yang kemudian bisa meningkat pada percekcokan yang berkepanjangan. Bila percekcokan ini tidak dapat diatasi walaupun telah diusahakan dengan berbagai cara untuk Islah, dan dalam kehidupan rumah tangga tidak memungkinkan lagi terwujud ketenan­gan dan ketentraman, maka dalam kondisi seperti ini talak dapat dilaksanakan dengan cara yang baik. Atau juga apabila suami istri tidak dapat memenuhi kewajiban mas­ing-masing sesuai dengan ketentuan agama. Jadi talak hanya dapat dilaksanakan jika keadaan sudah sangat memaksa dan usaha lain sudah tidak dapat diharapkan dapat menyelesaikannya.

b.   Hukum Talak.
Dalam Agama Islam, hukum asal talak adalah makruh, yaitu boleh tapi tidak disukai oleh Allah swt, hal ini berdasar hadis Nabi saw :

ابـغضُ لحـلال عـنـد الله هـو لطلاق  رواه  ابو داود وابن ماجه
Artinya :   “Perbuatan halal yang sangat dimurkai oleh Allah adalah talak”. HR.Abu Daud dan Ibnu Majah.
Bila memperhati­kan situasi dan kondisinya serta kemaslahatan dan kemudlara­tan talak, maka hukum asal tersebut dapat menjadi :
1.   Wajib, yaitu bila perselisihan sudah memuncak dan hakim memandang perlu untuk  talak.
2.   Sunnat, bila suami sudah tidak dapat lagi memenuhi kewaji­bannya dengan layak, atau bila istri tidak dapat menjaga kehormatan diri dan keluarganya.
3.   Haram, yaitu menjatuhkan talak ketika istri dalam keadaan haidh, atau ketika istri suci setelah adanya hubungan suami istri.
c.   Lafadl dan Bilangan Talak.
Kalimat atau lafadl talak bisa berupa ungkapan lisan (ucapan) atau secara tertulis dengan menggunakan kata-kata yang sharih (terang) atau kinayah (sindiran).
1.   Sharih (terang), yaitu  kalimat yang jelas tujuannya, seperti : “saya talak engkau” atau “saya ceraikan engkau.” Dengan ungka­pan yang jelas ini maka jatuhlah talak tersebut, baik disertai dengan niat ataupun tidak.
2.   Kinayah (sindiran), yaitu kata-kata yang tidak jelas maksudnya atau meragukan, seperti kata suami : “Pergilah engkau dari sini atau pulanglah engkau ke rumah orang tuamu” Perkataan suami di atas bila dengan niat mentalak maka jatuhlah talaknya, akan tetapi bila tidak disertai dengan niat mentalak maka tidaklah jatuh talak.
Terhadap seorang istri, suami berhak menjatuhkan talak maksimal 3 kali, dengan klasifikasi berikut :
1.   Talak Raj’i, yaitu talak yang pertama dan kedua. Setelah terjadinya talak raj’i ini suami berhak untuk rujuk (kembali) kepada istrinya selagi masih dalam masa iddah atau kawin kembali setelah masa iddahnya habis.
2.   Talak Bain,dibedakan menjadi talak Bain Sughro atau Kubro.
Talak Bain Sughro (asghar) adalah talak yang menyebabkan hilangn­ya hak suami untuk rujuk ketika istri masih dalam iddah, akan tetapi boleh mengadakan akad nikah baru meskipun dalam masa iddah. Talak jenis ini adalah : Talak yang terjadi Qabla al dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’ serta talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
Talak Bain Kubro (akbar) yaitu talak yang terjadi untuk ketiga kalinya, yang menyebabkan hilangnya hak suami untuk rujuk kembali ketika (bekas) istri masih dalam masa iddah atau tidak boleh mengadakan akad nikah baru kecuali (bekas) bila istri sudah dinikahi oleh laki-laki lain dan telah talak Ba’da ad dukhul serta telah habis masa iddahnya.


F.     IDDAH

a.   Pengertian Iddah
Iddah berarti ketentuan, yaitu ketentuan masa menunggu yang diwajibkan atas perempuan yang dicerai suaminya, baik cerai biasa maupun cerai mati. Selama masa iddah bekas istri tidak boleh kawin dengan laki-laki lain, sebab ia masih menjadi hak bekas suaminya, disamping itu untuk memastikan apakah selama iddah itu ia hamil atau tidak. Dan bila ternyata ia hamil maka anak yang dikandungnya itu sah seba­gai anak dari suami yang menceraikannya.
b.   Manfaat adanya masa iddah
1.   Untuk mengetahui dengan pasti berisi atau tidaknya kandungan perempuan tersebut.
2.   Untuk memberi kesempatann berfikir kepada bekas suami istri itu, apakah keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepakat untuk rujuk atau tidak, dan bila keduanya sepa­kat untuk rujuk maka hal itu merupakan jalan yang sangat baik.

c.   Ketentuan-ketentuan Masa Iddah
1.   Bagi istri yang dicerai qabla ad dukhul (belum dikumpuli oleh suami), maka baginya tidak ada masa iddah dan suami disunatkan memberikan mut’ah (pemberian yang dapat menyenangkan hati bekas istri). Dan bekas istri boleh langsung kawin dengan laki-laki lain begitu selesai dicerai oleh suaminya.
2.   Bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka masa id­dahnya adalah 4 bulan 10 hari. Sedangkan bila ditinggal oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka menurut jumhur ulama masa iddahnya sampai melahirkan anaknya.
3.   Bagi istri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan anaknya
4.   Bagi istri yang dicerai, sedang ia masih dalam keadaan normal haidnya, maka iddahnya tiga kali quru’ (tiga kali suci
5.   Bagi istri yang diicerai dalam keadaan tidak haid lagi, baik karena menopause (usia lanjut) atau karena masih kecil atau sudah dewasa tapi tidak pernah haid, maka iddahnya adalah tiga bulan

d.   Hak-hak istri selama dalam masa iddah.
1.   Perempuan yang dalam  masa iddah Raj’i  atau yang ditalak dalam keadaan hamil (baik talak Rij’i maupun ba’in) maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian, dan belanja dari mantan suaminya. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an :

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ 
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri yang sudah ditalak) itu wanita-wanita yang sedang hamil maka berikan­lah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirklan anaknya. QS. At Thalaq : 6.
Dalam sebuah hadits, Nabi saw. bersabda :
انـما النــفقةُ والسـُّكنى للمـرأة اذا كان لـزوجها علـيها الرَّجْـعَـة   رواه  احمد
Artinya :   “Bahwa perempuan yang berhak mengambil nafkah dan tempat tinggal adalah apabila suaminya itu berhak rujuk kepadan­ya”. HR. Ahmad dan Nasa’i.
2.   Wanita yang dicerai dengan talak ba’in sughro atau kubro, atau juga karena talak tebus (khulu’), maka baginya hanya mempunyai hak tempat tinggal saja dan tidak yang lainnya.
3. Istri yang dalam  masa iddah wafat, ia hanya mendapat hak waris, walaupun  sedang hamil.

No comments:

Post a Comment