AL QUR'AN TENTANG
TAAT ATURAN, TANGGUNG JAWAB, KOMPETITIF DALAM
KEBAIKAN DAN KERJA KERAS
KOMPETENSI DASAR
1.1 Terbiasa membaca al-Qur’an dengan meyakini bahwa taat pada
aturan, kompetisi dalam kebaikan, dan etos kerja sebagai perintah agama
2.1 Bersikap taat aturan, tanggung jawab, kompetitif dalam kebaikan
dan kerja keras sebagai implementa-si dari pemahaman Q.S. al Maidah/5: 48; Q.S.
an-Nisa/4: 59; dan Q.S. at-Taubah /9: 105 serta Hadis yang terkait
3.1 Menganalisis makna Q.S. al Maidah/5: 48;Q.S. an-Nisa/4: 59; dan
Q.S. at Taubah /9: 105, serta hadis tentang taat pada aturan, kompetisi dalam
kebaikan, dan etos kerja
Indikator Pencapaian Kompetensi :
3.1.1 Siswa mampu
menganalisis kandungan Q.S. al Maidah/5: 48; Q.S. an-Nisa/4: 59; dan Q.S. at
Taubah /9: 105;
3.2.1 Siswa memahami isi kandungan surat al
Maidah/5: 48; Q.S. an-Nisa/4: 59; dan Q.S. at-Taubah /9: 105, terkait taat
kepada aturan, kompetisi dalam kebaikan, dan bekerja keras
3.2.1 Siswa dapat menyimpulkan kandungan al
Maidah/5: 48; Q.S. an-Nisa/4: 59; dan Q.S. at-Taubah /9: 105, terkait taat
kepada aturan, kompetisi dalam kebaikan, dan bekerja keras
TUJUAN PEMBELAJARAN
1.
Siswa mampu menganalisis Q.S. Al-Maidah
(5) : 48; an-Nisa/4: 59; dan Q.S. at-Taubah /9: 105; serta hadits tentang
taat, kompetisi dalam kebaikan, dan etos kerja.
2. Memahami
makna taat kepada aturan, kompetisi dalam kebaikan, dan bekerja keras.
A.
KANDUNGAN SURAT AL MAIDAH 48
Prof. Dr. HM.QuraishShihab, dalam tafsirnya Al Mishbah
menjelaskan panjang lebar terkait QS Al Maidah ayat 48 ini, yang dapat
disimpulakan :
a.
Bahwa setelah Al Qur’an berbicara
tentang kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as. dan Injil kepada Nabi
Isa as. kini ayat ini berbicara tentang Al Kitab (Al Qur’an) yang diturunkan
kepada Nabi dan Rasul terakhir Nabi Muhammad saw. yakni kitab yang hak dalam
kandungannya, cara turunnya maupun Yang menurunkan, yang mengantarnya turun dan
yang diturunkan kepadanya.
Al Qur’an
berfungsi membenarkan ajaran kitab sebelumnya dan menjadi tolok ukur kebenaran
terhadapnya, maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan lewat Al Qur’an maupun Hadis dan juga wahyu yang diturunkan pada Nabi/
Rasul terdahulu yang masih murni. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu.
b. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan yang merupakan sumber menuju kebahagiaan yang abadi dan jalan yang terang. Allah swt. menjadikan syariat yang datang kepada Nabi Muhammad saw.
membatalkan semua syariat yang lalu
c. Sekiranya Allah
menghendaki hai umat, niscaya kamu hai umat
Musa dan Isa, umat Islam dan umat-umat lain sebelum itu, dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah swt. tidak menghendaki itu, karena Dia hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu yaitu satu syariat Islam yang berlaku sampai akhir
zaman dan melalui
syariat Islam maka
berlomba-lombalah dengan sunguh-sungguh berbuat aneka kebajikan.
Dan
janganlah memperdebatkan perbedaan dan perselisihan antara kamu dengan selain
kamu, karena pada akhirnya hanya kepada Allah-lah semua kamu hai
manusia akan kembali, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
B.
KANDUNGAN SURAT AN NISA’ 59
Tafsir /
Indonesia / DEPAG / Surah An Nisaa' 59
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Pada ayat ini
Allah memerintahkan supaya kaum muslimin taat dan patuh kepada Nya, kepada
rasul Nya dan kepada orang yang memegang kekuasaan di antara mereka untuk dapat
terciptanya kemaslahatan umum. Untuk kesempurnaan pelaksanaan amanat dan hukum sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya, hendaklah kaum muslimin:
a. Taat dan patuh kepada perintah Allah dengan
mengamalkan isi Kitab suci Alquran, melaksanakan hukum-hukum yang telah
ditetapkan Nya, sekalipun dirasa berat, tidak sesuai dengan keinginan dan kehendak
pribadi. karena apa yang diperintahkan Allah itu mengandung maslahat dan apa
yang di larang Nya mengandung mudarat.
b. Melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa
Rasulullah saw pembawa amanat dari Allah SWT untuk dilaksanakan oleh segenap
hamba Nya. Beliau ditugaskan untuk menjelaskan kepada manusia isi Alquran.
Allah SWT
berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: "Dan
Kami turunkan kepadamu Alquran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka" (Q.S. An Nahl: 44)
c. Patuh kepada ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan ulil `amri yaitu orang-orang yang memegang kekuasaan di antara
mereka. Orang-orang yang memegang kekuasaan itu meliputi: pemerintah, penguasa,
alim ulama dan pemimpin-pemimpin. Apabila mereka telah sepakat dalam suatu hal,
maka kaum muslimin berkewajiban melaksanakannya dengan syarat bahwa keputusan
mereka tidak bertentangan dengan isi Kitab Alquran. Kalau tidak demikian
halnya, maka kita tidak wajib melaksanakannya, bahkan wajib menentangnya,
karena tidak dibenarkan seseorang itu taat dan patuh kepada sesuatu yang
merupakan dosa dan maksiat pada Allah SWT.
Nabi Muhammad
saw bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ
فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ
Artinya:
"Tidak (dibenarkan) taat kepada makhluk di dalam hal-hal yang merupakan
maksiat kepada Khalik (Allah SWT)"
d. Kalau ada sesuatu yang diperselisihkan dan
tidak tercapai kata sepakat atasnya, maka wajib dikembalikan kepada Quran dan
hadis. Kalau tidak terdapat di dalamnya haruslah disesuaikan dengan (dikiaskan
kepada) hal-hal yang ada persamaan dan persesuaiannya di dalam Alquran dan
Sunah Rasulullah saw. Tentunya yang dapat melakukan qias seperti yang dimaksud
di atas ialah orang-orang yang berilmu pengetahuan, mengetahui dan memahami isi
Alquran dan Sunah Rasul.
Demikianlah
hendaknya dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan
hari akhirat.
Sabab an-Nuzûl
Diriwayatkan
al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibnu Jarir, Ibnu
Mundzir, Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqi dalam Ad-Dalâil dari jalur Said bin Jubair
dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah
bin Qais bin ’Adi, ketika dia diutus Rasulullah saw. dalam sebuah sariyah (perang).1
Tafsir Ayat
Surat An Nisa
ayat 159 ini ditujukan kepada seluruh kaum Mukmin.
Pertama:
perintah untuk menaati Allah Swt., yakni menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.2 Kata ath-thâ’ah berarti al-inqiyâd (ketundukan).3 Maksud
menaati Allah Swt. di sini adalah mengikuti al-Quran.
Kedua: perintah
menaati Rasulullah saw. Rasulullah saw. diutus dengan membawa risalah dari
Allah Swt. yang wajib di taati. Karena itu, menaati Rasulullah saw. sama dengan
menaati Zat Yang mengutusnya, Allah Swt. (lihat QS an-Nisa’ [4]: 64, 80).
Kendati menaati
Rasulullah saw. paralel dengan menaati Allah Swt., dalam ayat ini kedua-duanya
disebutkan. Hal itu menunjukkan perbedaan obyek yang ditunjuk. Menaati Allah
Swt. menunjuk pada Kitabullah; menaati Rasulullah saw. menunjuk pada as-Sunnah.
Keduanya—meskipun sama-sama wahyu dari Allah Swt. yang wajib ditaati—berbeda.
Al-Quran lafalnya dari Allah Swt.; as-Sunnah lafalnya dari Rasulullah
saw. sendiri.
Ketiga:
perintah menaati ulil amri. Para mufassir berbeda pendapat mengenai makna
istilah tersebut. Oleh sebagian mufassir, ulil amri dimaknai sebagai ulamâ’.
Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas dalam suatu riwayat, al-Hasan, Atha’ dan Mujahid
termasuk yang berpendapat demikian. Mereka menyatakan, ulil amri adalah ahli
fikih dan ilmu.
Pendapat lain
menyatakan, ulil amri adalah umarâ’ atau khulafâ’. Menurut Ibnu ’Athiyah dan
al-Qurthubi, ini merupakan pendapat jumhur ulama.
Di antara yang
berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas dalam suatu riwayat, Abu Hurairah,
as-Sudi, dan Ibnu Zaid;6 juga ath-Thabari, al-Qurthubi, az-Zamakhsyari,
al-Alusi, asy-Syaukani, al-Baidhawi, dan al-Ajili.7 Said Hawa juga menyatakan,
ulil amri adalah khalifah; yang kepemimpinannya terpancar dari syura kaum
Muslim; urgensinya untuk menegakkan al-Kitab dan as-Sunnah. Kaum Muslim wajib
menaatinya beserta para amilnya dalam hal yang makruf.8
Tampaknya
pendapat jumhur lebih dapat diterima. Dari segi sabab nuzulnya, ayat ini turun
berkenaan dengan komandan pasukan. Ini berarti, topik yang menjadi obyek
pembahasan ayat ini tidak terlepas dari masalah kepemimpinan. Telah maklum,
pemimpin tertinggi kaum Muslim adalah khalifah. Dialah Amirul Mukminin yang
memiliki kewenangan untuk mengangkat para pemimpin di bawahnya, termasuk
panglima perang dan komandan pasukan.
Alasan lainnya,
banyak hadis Nabi saw. yang mewajibkan kaum Muslim menaati khalifah atau
pemimpin. Di antaranya adalah sabda Rasulullah saw.:
السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ
بِمَعْصِيَةٍ
Mendengar dan
menaati seorang (pemimpin) yang Muslim adalah wajib, baik dalam perkara yang
disenangi atau dibenci, selama tidak diperintahkan untuk maksiat. (HR
al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad dari Ibnu Umar ra).
Keterkaitan
antara ketiganya (Allah Swt., Rasulullah saw, dan umara) juga disebutkan dalam
hadis Nabi saw. berikut:
مَنْ
أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعِ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، مَنْ
أَطَاعَ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي
Siapa saja yang
menaatiku, sesungguhnya dia telah menaati Allah. Siapa saja yang bermaksiat
kepadaku, sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Allah. Siapa saja yang
menaati pemimpin, sesungguhnya dia telah menaatiku. Siapa saja yang bermaksiat
kepada pemimpin, sesungguhnya dia telah bermaksiat kepadaku. (HR Ibnu Abi Hatim
dari Abu Hurairah).
Nash-nash di
atas menunjukkan bahwa kaum Muslim diwajibkan untuk menaati pemimpinnya. Hanya
saja, sebagaimana ditegaskan dalam hadis di atas, perkara yang diperintahkan
oleh pemimpin itu tidak boleh melanggar syariah. Jika melanggar syariah maka
tidak boleh ditaati. Rasulullah saw. bersabda:
لاَ
طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Tidak boleh ada
ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (HR Ahmad
dari Ali ra).
Menurut
as-Sa‘di, bisa jadi inilah rahasia dihilangkannya frasa athî’û pada perintah
untuk menaati ulil amri dan disebutkannya kata tersebut pada perintah untuk
menaati Rasul. Artinya, Rasulullah saw. tidak memerintahkan kecuali ketaatan
kepada Allah. Karena itu, siapa saja yang menaati Beliau berarti sama dengan
menaati Allah Swt. Adapun kepada ulil amri, perintah taat itu disyaratkan tidak
dalam perkara maksiat.9
C.
KANDUNGAN SURAT AT TAUBAH 105
Dalam
tafsir Ibnu Kasir dijelaskan :
a.
Mujahid berkata, “ini adalah ancaman dari Allah Ta’ala
terhadap orang-orang yang menyelisihi perintahNya, bahwasanya amalan mereka
akan dihadapkan kepadaNya, Rasul dan kaum mukminin. Hal itu bukanlah sesuatu
yang mustahil pada hari kiamat, sebagaimana firman Allah Ta’ala : (arti
al-Haaqqah : 18) Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada
sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).
b.
Sungguh telah ada riwayat bahwa amalan orang yang masih hidup ditampakkan kepada
orang-orang yang telah meninggal dunia dari kalangan keluarga dan kerabatnya di
alam barzakh. Seperti yang dikatakan oleh Abu Dawud ath-Thayalisiy, Shalat bin
Dinar telah menceritakan kepada kami, dari al-Hasan, dari Jabir bin ‘Abdillah,
dia berkata, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya
amal-amal kalian akan ditampakkan kepada keluarga dan kerabat kalian di alam
kubur, apabila amalan baik maka mereka akan bergembira dengannya, dan apabila
tidak baik maka mereka akan berkata, “Ya Allah, ilhamkan pada mereka beramal
taat kepadaMu.”[2]
c.
Imam Ahmad berkata,
Abdur Razzaq mengabarkan kepada kami, dari Sufyan, dari seseorang yang
mendengar Anas berkata, Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda
:“Sesungguhnya amal-amal kalian akan ditampakkan kepada keluarga dan kerabat
kalian yang telah meninggal dunia, bila amalan baik maka mereka bergembira
dengannya, bila sebaliknya maka mereka berkata : Ya Allah, jangan matikan
mereka sampai Engkau berikan hidayah pada mereka sebagaimana Engkau telah
memberi hidayah kepada kami.”
d.
Dalam riwayat lain yang serupa dengannya, Imam
Ahmad berkata, Yazid telah menceritakan kepada kami, Humaid telah menceritakan
kepada kami, dari Anas bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda“Kalian jangan takjub dengan seseorang sehingga kalian melihat
bagaimana akhir hidupnya. Sesungguhnya seseorang beramal pada suatu masa dari
hidupnya dengan amalan shalih, yang jika dia mati dalam keadaan itu tentu dia
masuk surga, kemudian dia berubah beramal dengan amalan keburukan. Dan sesungguhnya
seseorang beramal keburukan pada satu masa dari kehidupannya, yang jika dia
mati dalam keadaan tersebut tentu dia masuk neraka, kemudian dia berubah
melakukan amal kebajikan. Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba
maka Dia akan mepergunakannya sebelum matinya. Mereka bertanya, Wahai
Rasulullah, bagaimana Dia mempergunakannya? Beliau bersabda, Dia menunjukinya
untuk beramal shalih, kemudia dicabut nyawanya dalam keadaan tersebut.”[5] (Imam Ahmad bersendirian dari sisi ini).
D.
KESIMPULAN
Dari
kandungan di atas dapat ditari kesimpulan :
1.
Untuk setiap ummat dan masa Allah swt. menurunkan syariat (agama) sesuai
kondisi saat itu, demikian pula pada zaman akhir Allah swt menurunka syariat
Yang berlaku sampai akhir zaman.
2.
Umat Islam harus selalu berlomba-lomba dan berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk dapat meraih yang terbaik menurut kacamata Agama Islam,
baik dalam kaitannya dengan kehidupan kini maupun kelak di akhirat
3.
Jalan selamat sesuai tuntunan Islam telah terpampang, persoalannya
apakah manusia akan memilih dan bersungguh-sungguh meraihnya apa tidak.
Dalam
kaitan ini Imam Al Ghazali menyatakan, hanya ada 3 nasib yang harus dipilih
salah satunya dan diperjuangkan untuk meraihnya, yaitu :
a. Bahagia dunia akhirat
b. Bahagia di salah satunya
c. Celaka dunia akhirat.
Pilih
dan Berjuanglah !
No comments:
Post a Comment