D. KANDUNGAN SURAT ALI IMRON 159
a. Dalam Surat Ali Imron 159 Allah swt menjelaskan
kepribadian luhur Nabi Muhammad saw. Yang bersikap lemah lembut terhadap para
sahabat (berkat Rahmat Allah swt). Padahal diantara para sahabat tersebut ada
yang pantas mendapatkan celaan dan perlakuan kearas karena mereka telah berbuat
kesalahan yang berakibat kekalahan (dalam perang).
Kepribadian Nabi
saw. Ini digambarkan pula dalam ayat berikut :
وَإِنَّكَ لَعَـــــــلى خُــلُقٍ عَظِــــــــــــــيْمٍ.
القلم : 4
Artinya : Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
لَقَدْ جَاءَكُــمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَـــزِيْـزٌ
عَلَــيْهِ مَا عَنِــــتُّمْ حَرِيصٌ عَلَـــــيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِــــــيْنَ
رَءُوفٌ رَحِـــــيْمٌ. الـتوبـة : 128
Artinya : Sesungguhnya
telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min.
b. Andaikan Nabi saw bersikap kasar, keras dan
galak kepada kaum muslimin, niscaya mereka akan akan bubar dan meninggalkan
Nabi saw. benci dan tidak respek pada Beliau. Hal ini akan berakibat gagalnya
dakwah Islam, mereka tidak akan menerima dakwah Islam karena terlanjur
antipati. Oleh karenanya, maka sikap pemaaf, pemurah dan budi luhur, lemah
lembut serta sikap penuh dengan pengertian dan belas kasi harus menjadi pilihan
utama dalam menyampaikan dakwah Islam.
c. Dalam setiap persoalan supaya menempuh jalan
musyawarah, minimal sebagai pembelajaran. Al Hasan ra. Meriwayatkan bahwa Allah
swt. telah mengetahui bila sebenarnya Nabi Muhammad saw. Sendiri tidak
membutuhkan para sahabat dalam persoalannya, akan tetapi perundingan itu
dimaksudkan sebagai suri tauladan bagi umat Islam sesudah beliau.
ما تـشاور قوم
قــــــــط الا هـدوا لارشـد امـرهــــم
Artinya : Tidak satu
kaumpun yang selalu mengadakan musyawarah, melainkan akan ditunjukkan pada
jalan yang paling benar dalam perkara mereka.
d.
Bila musyawarah telah mendapatkan kata
sepakat / persetujuan dan segalanya telah dipilih/ditentukan, maka terhadap
dimaksud pasrah dan tawakkallah kepada Allah swt. seraya memanjatkan do'a
padaNya. Oleh karena sebenarnya Allah swt sangat menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepadaNya.
E. KANDUNGAN SURAT AS SYURA 38
a. Surat As Syura ayat 38 ini sangat terkait
dengan ayat sebelumnya. Dalam ayat 37 Allah swt menjelaskan bahwa yang termasuk
akan mendapatkan memperoleh kesenangan kekal abadi kelak di akhirat adalah
mereka yang menjauhi dosa-dosa besar, seperti membunuh, berzina dan mencuri
serta mereka yang meninggalkan hal-hal yang dilarang syara' (Agama), akal
sehat, akhlak al Karimah, baik berupa ucapan maupun prilaku, dapat menahan
amarah dan pemaaf.
b. Dalam Surat As Syura ayat 38 Allah swt.
melanjutkan penjelasannya bahwa yang juga akan memperoleh kesenangan kekal
abadi kelak di akhirat adalah mereka yang menyambut baik panggilan Allah swt.
(dakwah Islam) dengan masuk Agama Islam seraya benar-benar mengesakan Nya,
mensucikan Nya dari penyembahan selain dia (musyrik), secara konsisten
mengerjakan shalat 5 waktu, mejauhkan diri dari perbuatan munkar dan selalu
bermusyawarah untuk menentukan sikap dalam menghadapi segala persoalan hidup
yang dirasa sulit.
F. KESIMPULAN
a. QS. Ali Imran ayat 159 dan QS. As Syura ayat
38 berisi anjuran untuk selalu bermusyawarah dalam menentukan sikap bila
menghadapi segala persoalan hidup yang dirasa sulit. Musyawarah berarti
berunding atau berembuk yang dilakukan antara seseorang dengan orang lain dan
atau sekelompok orang dengan kelompok lain, dengan maksud mencari kebenaran dan
jalan keluar terbaik dalam memecahkan suatu permasalahan. Pelaksanaan musyawarah
ini, minimal harus dilandasi sikap mendahulukan maaf dan minta maaf, saling
hormat dan menghargai pendapat orang lain, prinsip persamaan hak dan kewajiban
serta ketulusan hati dan menjunjung tinggi kebenaran bukan kemenangan.
b. Prinsip
musyawarah ini telah dilakukan sejak zaman Nabi saw. Sebagai contoh ketika akan terjadi Perang
Badar, dimana kekuatan tentara Islam hanya
305 orang dengan 70
ekor unta, sedangkan tentara Quraisy sekitar 900 sampai 1000 orang.
Mengingat perimbangan kekuatan inilah
maka Nabi saw. mengadakan
musyawarah dengan para sahabat
untuk menentukan sikap dalam menghadapi perang Badar ini.
Pada awal pembicaraan, Rasul saw. menjelaskan
duduk persoalannya, kemudian menyerahkan kepada sahabat untuk mengajukan buah
fikirannya. Sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab sependapat
untuk bertempur terus, yang kemudian disusul oleh Ali bin Amru,
dengan ucapannya: “Ya Rasul ! teruskan apa yang telah diperhelatkan Allah swt.
kepada Tuan, kami akan setia bersama tuan, kami tidak akan berkata seperti bani
Israil kepada nabi Musa as, “Pergilah tuan bersama dengan Tuhan dan
berperanglah di sana,
sedang kami menanti di sini.” Tetapi kami akan berkata: Pergilah tuan bersama Tuhan, dan kami akan
ikut berperang bersama tuan”.Dengan demikian, maka diputuskan untuk terus
berperang walaupun dengan jumlah kekuatan yang tidak berimbang.
c. Dalam
kehidupan modern musyawarah dilaksanakan dalam berbagai bentuk, antara lain :
seminar, simposium, lokakarya, diskusi, sarasehan, muktamar, bahsul masail,
temu wicara, dengar pendapat, rapat kerja, sidang, konsultasi, refrendum dan
lain-lain.
Yang paling prinsip dalam bermusyawarah
adalah pembahasan dan
pemecahannya melibatkan pendapat
orang banyak, walaupun pada akhirnya
yang mengambil keputusan
adalah pimpinan, dengan mendapat
persetujuan peserta (tidak terdapat rekayasa apalagi pemaksaan pendapat).
Bentuk dan cara melaksanakan musyawarah sangat fleksibel sekali,
mulai dari tingkat
keluarga sampai ke tingkat
nasional dan internasional, persoalan sosial budaya maupun politik kenegaraan,
semuanya dapat dipecahkan dengan jalan musyawarah mufakat.
d. Demokrasi
berasal dari kata “demos” : rakyat banyak dan “crato” : kekuasaan, yang berarti
kekuasaan dalam sistem politik berada di tangan rakyat. Praktek demokrasi dalam
Islam, sebenarnya telah dicontohkan Nabi saw. dan Khulafaaur Rasyidin, mengakui
pendapat bahkan toleran terhadap Agama lain, pencapaian masalah dengan
musyawarah, istiqomah, tawassuth serta adil merupakan sendi-sendi demokrasi
yang diajarkan oleh Islam.
Dalam
masalah tanggungjawab kepada rakyat yang berdaulat, perhatikan firman
Allah swt. berikut :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُـــــــــــــــــــــــرُكُمْ أَنْ
تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِــــــــــــــهَا وَإِذَا حَكَمْـــــــتُمْ
بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ
بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيْــــــعًا بَصِــــــــــــــــيْرًا. النساء : 58
Artinya : Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. QS. An Nisa’ : 58
Antara demokrasi dan musyawarah sebenarnya tidak
perlu dicari perbedaannya, oleh karena pada dasarnya musyawarah
merupakan sarana untuk mewujudkan demokrasi itu sendiri, sedang demokrasi pada dasarnya merupakan ajaran
Islam yang sudah dipraktekkan sendiri oleh Nabi saw. dan penerusnya.
Dalam buku “Islam dan Politik di Indonesia”, H.
Alamsjah Ratu Prawiranegara mengatakan: “Bila mau jujur, pemikiran-pemikiran Islam yang mencakup aspek-aspek ketatanegaraan
modern dewasa ini, paling tidak 8 sampai
10 abad mendahului para pemikir dan
filusuf barat tentang kenegaraan”.
Perbedaan yang menonjol hanya terletak pada :
1. Bahwa
istilah demokrasi berasal dari barat, sedangkan prinsip-prinsip demokrasi
(musyawarah) merupakan ajaran Islam.
2. Demokrasi
barat mendahulukan HAK, sedangkan dalam Islam mengutamakan kewajiban, sebab
dengan masing-masing pihak melaksanakan kewajibannya, maka secara otomaris hak
orang lain akan terpenuhi
3. Akibat
negatif dari kecendrungan mengutamakan hak adalah adanya tuntutan hak tanpa
mempedulikan kewajibannya.
No comments:
Post a Comment