Monday, 3 August 2015

KUR 2013.XI.2.1 AL QUR'AN 4, bagian 5

AL QUR'AN TENTANG
TOLERANSI DAN ANTI KEKERASAN
KOMPETENSI DASAR                      
1.3       Berperilaku taat kepada aturan

2.4       Menunjukkan sikap toleran, rukun dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan sebagai implementasi dari pemahaman Q.S. Yunus (10) : 40-41 dan Q.S. Al-Maidah (5) : 32, serta hadits terkait
3.6       Memahami makna toleransi dan kerukunan
Indikator Pencapaian Kompetensi
3.6.1      Siswa memahami makna toleransi dan kerukunan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
3.6.2      Siswa dapat menyimpulkan makna toleransi dan kerukunan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
4.8       Menampilkan contoh perilaku toleransi dan kerukunan
Indikator Pencapaian Kompetensi
4.8.1      Siswa dapat memberi contoh prilaku toleransi dan kerukunan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
Tujuan Pembelajaran
1.   Menunjukkan perilaku dan sikap toleran, rukun dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan sebagai implementasi dari pemahaman Q.S. Yunus (10) : 40-41 dan Q.S. Al-Maidah (5) : 32, serta hadits terkait
2.   Menampilkan contoh prilaku toleransi dan kerukunan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
5.   Memahami makna toleransi dan kerukunan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
6.   Dapat menampilkan contoh perilaku toleransi dan kerukunan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis

       
TOLERANSI DALAM ISLAM

Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُــــــــوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِـــــيْنَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ وَأَخْرَجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلَى إِخْــــرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ (9)
Artinya:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumta-hanah: 8-9)
Ayat ini mengajarkan prinsip toleransi, yaitu hendaklah setiap muslim berbuat baik pada lainnya selama tidak ada sangkut pautnya dengan hal agama (IBADAH).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil.”
Sedangkan ayat selanjutnya yaitu ayat kesembilan adalah berisi larangan untuk loyal pada non muslim yang jelas-jelas musuh Islam, memusuhi Islam.

A.  Pengertian Toleransi

Dalam Wikipedia bahasa Indonesia (ensiklopedia bebas) disebutkan bahwa : Toleransi adalah istilah dalam konteks sosialbudaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata toleransi berarti sifat atau sikap toleran. Kata toleran sendiri didefinisikan sebagai “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Kata toleransi sebenarnya merupakan serapan dari bahasa Inggris “tolerance”, yang definisinya juga tidak jauh berbeda dengan kata toleransi/toleran.
Adapun dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata toleransi adalah سماحة atau تسامح. Kata ini pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan), atau sa’at al-shadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan). Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada/ terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia. Dengan demikian, berbeda dengan kata tolerance yang mengandung nuansa keterpaksaan, maka kata tasâmuh memiliki keutamaan, karena melambangkan sikap yang bersumber pada kemuliaan diri (al-jûd wa al-karam) dan keikhlasan.
Jika dicermati dengan seksama, pemahaman tentang toleransi tidak dapat berdiri sendiri. Ia terkait erat dengan suatu realitas lain di alam yang merupakan penyebab langsung dari lahirnya toleransi. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Memahami toleransi an sich tidak akan ada artinya tanpa memahami realitas lain tersebut, yaitu kemajemukan (pluralisme; bahasa Arab: ta’addudiyyah). Dengan demikian, untuk dapat bertoleransi dengan baik, maka pemahaman terhadap pluralisme terlebih dahulu mutlak diperlukan.
Secara etimologis, kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris “plural” yang berarti banyak (antonim dari kata singular).[10] Dalam perkembangannya, kata ini secara lebih spesifik ditujukan terhadap realitas masyarakat yang majemuk.[11] Artinya, masyarakat yang heterogen dalam satu aspek atau lebih, seperti dalam hal keturunan, pemikiran, tingkah laku, kepercayaan, adat istiadat, agama, dan sebagainya. Kemajemukan ini lahir melalui proses-proses tertentu, disadari atau tidak, atau dikehendaki maupun tidak dikehendaki. . (http://makalah-artikel.blogspot.com/ 2007/11/makalah-toleransi-dalam-islam.html)

B.  Rambu-rambu Toleransi

Dasar Pemikiran dan Rambu Toleransi menurut al-Quran dan Sunnah,
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa toleransi dalam Islam dibangun diatas beberapa landasan 4 pokok, yaitu:
1.     prinsip tentang kemuliaan manusia betapapun beragamnya kehidupan mereka. Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا. الاسراء: ٧٠
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan
2.     Keyakinan bahwa pluralisme sudah merupakan kehendak Allah SWT yang tidak akan mengalami perubahan. Sebagai contoh, dalam kaitannya dengan pluralisme agama, Allah berfirman:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ. يونس: ٩٩
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?
3.     Umat Islam meyakini bahwa mereka tidak bertanggungjawab terhadap jalan hidup yang dipilih oleh umat-umat lain. Kewajiban mereka hanya berdakwah, sementara pilihan antara iman atau tidak adalah urusan masing-masing pihak dengan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا. الكهف: ٢٩
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
4.     Prinsip tentang keadilan, selama pihak lain berlaku sama.Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. المائدة: ٨
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Apa yang disebutkan oleh Yusuf al-Qaradhawi diatas, pada hakikatnya merupakan penegasan bahwa ajaran Islam tentang toleransi tidak dibangun diatas landasan yang rapuh, sebaliknya pada ajaran-ajaran fundamental yang masing-masing saling terkait. Satu hal yang agaknya dapat melengkapi dasar-dasar diatas adalah bahwa parameter yang digunakan Islam dalam menilai sesuatu adalah parameter keruhanian (ketakwaan), bukan parameter fisik atau keduniaan. Hal ini terlihat pada kesan yang ditimbulkan oleh ayat dan hadis yang berbicara tentang kesetaran dan persamaan hak dan kewajiban secara umum.
Tentang batasan toleransi, Islam menekankannya pada prinsip keadilan. Surat al-Mumtahanah: 8-9, umpamanya, telah mencerminkan pola hubungan yang proporsional dan berkeadilan tersebut. Kesan yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa toleransi dapat terus berjalan selama pihak luar berlaku adil terhadap umat Islam, dalam konteks ini adalah tidak memerangi kaum muslim karena alasan agama, tidak mengusir kaum muslim dari negeri-negeri mereka, atau berkonspirasi dengan pihak lain untuk mengusir umat Islam. Akan tetapi, jika yang terjadi justru sebaliknya, maka tidak berlaku toleransi. Artinya, umat Islam harus bersikap tegas dengan memerangi mereka.[35]

C.  Bentuk Toleransi atau Berbuat Baik dalam Islam

Bentuk toleransi atau bentuk berbuat baik yang diajarkan oleh Islam:
1.   Islam mengajarkan menolong siapa pun
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فِى كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
“Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.” (HR. Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244). Lihatlah Islam masih mengajarkan peduli sesama.
2.   Hubungan kekerabatan dengan yang non muslim tetap terjalin
Allah Ta’ala berfirman,    
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Artinya:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15).
Ketika orang tua memaksa untuk syirikpun, hubungan baik dengan mereka harus tetap terjalin.
Lihat contohnya pada Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ibuku pernah mendatangiku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan membenci Islam. Aku pun bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap jalin hubungan baik dengannya. Beliau menjawab, “Iya, boleh.” Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa tatkala itu turunlah ayat,
لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِى الدِّينِ
Artinya:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu ….” (QS. Al Mumtahanah: 8)
3.   Boleh hadiah menghadiahi dengan non muslim.
Lebih-lebih lagi untuk membuat mereka tertarik pada Islam, atau ingin mendakwahi mereka, atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
رَأَى عُمَرُ حُلَّةً عَلَى رَجُلٍ تُبَاعُ فَقَالَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ابْتَعْ هَذِهِ الْحُلَّةَ تَلْبَسْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَإِذَا جَاءَكَ الْوَفْدُ . فَقَالَ « إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذَا مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ فِى الآخِرَةِ » . فَأُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مِنْهَا بِحُلَلٍ فَأَرْسَلَ إِلَى عُمَرَ مِنْهَا بِحُلَّةٍ . فَقَالَ عُمَرُ كَيْفَ أَلْبَسُهَا وَقَدْ قُلْتَ فِيهَا مَا قُلْتَ قَالَ « إِنِّى لَمْ أَكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا ، تَبِيعُهَا أَوْ تَكْسُوهَا » . فَأَرْسَلَ بِهَا عُمَرُ إِلَى أَخٍ لَهُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ
Artinya:
“’Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada tamu yang mendatangimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya  di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam. (HR. Bukhari no. 2619).
Lihatlah sahabat mulia ‘Umar bin Khottob masih berbuat baik dengan memberi pakaian pada saudaranya yang non muslim.
4.   Prinsip Lakum Diinukum Wa Liya Diin
Islam mengajarkan kita toleransi dengan membiarkan ibadah dan perayaan non muslim, bukan turut memeriahkan atau mengucapkan selamat. Karena Islam mengajarkan prinsip,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al Kafirun: 6).
Prinsip  di atas disebutkan pula dalam ayat lain,
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ
“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” (QS. Al Isra’: 84)
أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Yunus: 41)
لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
“Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu.” (QS. Al Qashshash: 55)
Ibnu Jarir Ath Thobari menjelaskan mengenai ‘lakum diinukum wa liya diin’, “Bagi kalian agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath Thobari, 14: 425).
5.   Toleransi yang Ditawarkan oleh Non Muslim
Bertoleransi yang ada saat ini sebenarnya ditawarkan dari non muslim. Mereka sengaja memberi selamat kepada kita saat lebaran atau Idul Fitri, biar kita nantinya juga mengucapkan selamat kepada mereka. Prinsip seperti ini ditawarkan oleh kafir Quraisy pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa silam. Ketika Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan pada beliau,
Artinya: “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”
Itulah prinsip toleransi yang digelontorkan oleh kafir Quraisy di masa silam, hingga Allah pun menurunkan ayat,
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6)
Jangan heran, jika non muslim sengaja beri ucapan selamat pada perayaan Idul Fitri yang kita rayakan. Itu semua bertujuan supaya kita bisa membalas ucapan selamat di perayaan Natal mereka. Inilah prinsip yang ditawarkan oleh kafir Quraisy di masa silam pada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun bagaimanakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi toleransi seperti itu? Tentu seperti prinsip yang diajarkan dalam ayat, lakum diinukum wa liya diin, bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami. Sudahlah biarkan mereka beribadah dan berhari raya, tanpa kita turut serta dalam perayaan mereka. Tanpa ada kata ucap selamat, hadiri undangan atau melakukan bentuk tolong menolong lainnya.
6.   Jangan Turut Campur dalam Perayaan Non Muslim
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم
“Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”
Umar berkata,
اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم
“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.” Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.
Juga sifat ‘ibadurrahman, yaitu hamba Allah yang beriman juga tidak menghadiri acara yang di dalamnya mengandung maksiat. Perayaan natal bukanlah maksiat biasa, karena perayaan tersebut berarti merayakan kelahiran Isa yang dianggap sebagai anak Tuhan. Sedangkan kita diperintahkan Allah Ta’ala berfirman menjauhi acara maksiat lebih-lebih acara kekufuran,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak memberikan menghadiri az zuur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72). Yang dimaksud menghadiri acara az zuur adalah acara yang mengandung maksiat. Jadi, jika sampai ada kyai atau keturunan kyai yang menghadiri misa natal, itu suatu musibah dan bencana.

D.  Kerukunan Umat Beragama

1.   Kerukunan Intern Umat Beragama               
Salah satu dari arti Islam adalah kesejahteraan dan keselamatan, oleh karena itu konsep dasar Islam dalam mengatur hubungan dengan siapapun adalah kerukunan dan atau perdamaian, dan sedapat mungkin menghindarkan diri dari permusuhan dan perselisihan. Dalam mengatur hubungan sesama muslim terdapat konsep ukhuwah Islamiyah, yaitu hubungan atau persaudaraan yang tumbuh dan berkembang karena persamaan keimanan/keagamaan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Konsep ukhuwah Islamiyah ini, antara lain didasarkan pada surat Al Hujarat ayat 10 -13. Dalam ayat-ayat ini antara lain dijelaskan bahwa antara sesama muslim harus :
a.   Terjalin hubungan saudara atau persaudaraan antara sesama muslim, Nabi saw. bersabda :
المسلم اخوا المسلم لايظلمُهُ ولايـخذُ لهُ ولايـَكذبهُ ولايحقره   رواه  مسلم
Artinya : “Orang muslim menajadi saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh menganiaya sesamanya, membiarkannya, berdusta, dan tidak boleh menghinakannya”. HR. Muslim
b.   Mendasarkan semua prilakunya akan ketaqwaan kepada Allah swt.
c.    Saling hormat menghormati dan tidak boleh saling meremehkan. Perhatikan hadits Nabi saw. berikut :
كل المسلم على المسلم حرامٌ عرضه وماله ودمه  رواه الترمذى
Artinya : “Setiap muslim terhadap muslim lainnya diharamkan mengganggu kehormatannya, harta dan darah (jiwa) nya”. HR. Tirmidzi
d.   Tidak boleh curiga mencurigai, harus selalu ditumbuh kembangkan sikap husnuddhan.
e.   Selalu menjaga nama baik saudaranya, tidak boleh mencari-cari kesalahan orang lain.
f.    Menjadikan perbedaan warna kulit dan keturunan serta ras dan bangsa untuk saling ta’aruf, mengadakan hubungan timbal balik secara baik.
g.    Gotong royong atau tolong menolong dalam masalah kebaikan dan banyak lagi yang lainnya.      
Semua sifat dan sikap serta usaha untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian telah dicontohkan oleh Nabi saw. selama masa hidup beliau yang pada saat ini sudah terkonsep dalam “Akhlaqul Kari­mah”, dan yang harus dijauhi oleh setiap muslim dalam setiap pergaulannya terkumpul dalam konsep “Akhlaqul Madzmumah”.
2.   Kerukunan antar Umat Beragama       
Telah diuraikan bahwa konsep dasar Islam adalah kerukunan atau perdamaian dengan siapapun dan terhadap siapapun. Konsep ini telah diterapkan sendiri oleh Nabi saw. ketika membentuk pemerintahan di  Madinah, dimana penduduknya terdiri dari tiga golongan yaitu : Islam, Yahudi dam Nasrani. Beliau menyatukan unsur-unsur yang berbeda itu dengan dasar persamaan hak dan kebebasan beragama serta kemerdekaan menjalankan agamanya masing-masing.
Isi perjanjian antara Nabi saw. dan kelompok non Islam itu adalah:
a.   Seluruh  penduduk  Madinah  adalah  merupakan  satu  kesatuan  warga yang bebas berfikir dan melakukan agamanya masing-masing, serta tidak boleh saling mengganggu.
b.   Apabila Madinah diserang musuh, mereka hsrus mempertahankannya bersama-sama.
c.    Apabila salah satu golongan diserang musuh, golongan yang lain harus membantunya.
d.   Jika timbul perselisihan, penyelesaiannya di bawah keadilan yang dipimpin oleh Rasulullah saw.
Empat poin isi perjanjian di atas sama sekali tidak menyangkut dan mencampuri urusan agama masing-masing golongan. Sebetulnya ketika Nabi saw. masih berada di Makkah, beliau pernah mendapat tawaran dari pembesar kafir Quraisy untuk saling kompro­mi, mereka akan menyembah Tuhan yang disembah Nabi saw., pada waktu yang lain Nabi saw. supaya menyembah Tuhan yang mereka sembah, begitu juga  dalam  masalah yang lain, saling bergantian. Ajakan yang nampaknya baik dari tokoh Quraisy ini, ditolak oleh Nabi saw., apalagi dalam Surat Al Kafirun ayat 1 - 6. jelas ditegaskan bahwa tidak ada kompromi dalam hal pelaksanaan agama atau kepercayaan. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.
Untuk lebih kongkritnya perhatikan firman Allah swt. QS. Al Mumtaha­nah : 8
Kata-kata berbuat baik di situ memiliki arti yang sangat luas, meliputi semua nilai-nilai kebaikan dan pergaulan secara luas, dan Allah swt. hanya melarang terhadap mereka yang nyata-nyata mengikrarkan memusuhi dan mngusir kaum muslim.
Dalam pengeterapan selanjutnya, ulama mengatur masalah ini dalam satu konsep hubungan yang disebut : Ukhuwah Wathaniyah, yaitu ukhuwah atau hubungan dan kerukunan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kenasionalan atau berdasar konsep-konsep falsafah negara.
Seperti terjadi di Indonesia, Pancasila yang merupakan dasar dan falsafah bangsa, di dalamnya (sila-silanya) tidak satupun yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, pengamalan dan penghayatannya harus didukung sepenuhnya oleh umat Islam di Indonesia.
Adapun ukhuwah yang lebih luas jangkauannya, adalah ukhuwah basyariyah, yaitu kerukunan dan persaudaraan yang tumbuh dan berkem­bang atas dasar kemanusiaan.
3.   Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah
Telah dijelaskan pada Bab terdahulu bahwa negara Republik Indonesia, menurut pandangan Islam adalah negara yang sah, dan Presiden RI adalah penuasa yang sah. Presiden memiliki wewenang sebagai waliyul amri, seperti pengangkatan Wali hakim dan sebagainya.
Kemudian sebagai konsekwensi hukumnya setiap muslim di Indonesia memiliki kewajiban untuk taat terhadap semua aturan pemerintah sepanjang aturan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Pemerintah dalam istilah agama disebut dengan Ulil Amri, sebagian ahli mengatakan bahwa ulil amri adalah penguasa negara dan alim ulama. Apabila ulil amri atau pemerintah telah memutuskan sesuatu, apalagi keputusan yang disepakati dan diputuskan bersama  dengan Ulama, maka bagi umat Islam wajib hukumnya untuk mentaatinya.
Di Indonesia, antara Umara’ dan Ulama’ sudah terjalin hubungan yang sangat baik dan akrab, saling isi mengisi, dan saling membutuhkan. Umat Islam dan juga pemeluk agama selain Islam, mutlak butuh pemerintah dalam menjalankan syariat agamanya masing- masing, sebab di dalam menjalankan ajaran agama sangat memerlukan keamanan dan pengamanan, sedangkan keamanan dan pengamanan ini tidak akan terwujud tanpa adanya pemerintah yang berkuasa dan berdaulat. Demikian pula, pemerintah mutlak membutuhkan ulama/ tokoh agama, sebab dengan bahsa ulama/tokoh agama itulah program pemerintah akan semakin lancar dan didukung oleh umat Islam/pemeluk agama.
Adapun dasar-dasar kewajiban taat terhadap Pemerintah, di dalam Al Qur’an dan hadits, antara lain disebutkan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ      النساء  : 59
Artinya :   “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu...” QS. An Nisa’ : 59
على المرء المسلم السمْـعُ والطاعةُ فيْما احَبَّ وكـره الا ان يؤمر بمعصيـةٍ فان اُمِرَ بمعصيـةٍ فلا سمع ولا طاعـةَ   رواه  مسلم
Artinya : “Wajib atas orang muslim patuh dan setia kepada pemer­intah, baik hal yang disukai atau dibencinya, kecuali apabila diperintahkan dengan suatu kemaksiatan. Jika ia diperintah dengan suatu maksiat, maka tidak boleh patuh dan setia”. HR. Muslim)
KH. Achmad Siddiq, Ulama Pengasuh Pesantren  di Jember, membagi ukhuwah menjadi tiga macam, yaitu :
a.   Ukhuwah Islamiyah. yaitu persaudaraan yang tumbuh dan berkembang karena persamaan keima­nan/agama, baik di tingkat nasional maupun internasional.
b.   Ukhuwah Wathoniyah, yaitu persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar nasionalisme dan patriotisme.
c.    Ukhuwah Basyariyah, yaitu persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan/sesama manusia.


No comments:

Post a Comment