AL QUR'AN TENTANG
TOLERANSI DAN ANTI KEKERASAN
KOMPETENSI DASAR
1.3 Berperilaku
taat kepada aturan
2.4 Menunjukkan sikap
toleran, rukun dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan sebagai
implementasi dari pemahaman Q.S. Yunus (10) : 40-41 dan Q.S. Al-Maidah (5) :
32, serta hadits terkait
3.6 Memahami
makna toleransi dan kerukunan
Indikator Pencapaian Kompetensi
3.6.1 Siswa memahami makna toleransi dan
kerukunan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
3.6.2 Siswa dapat menyimpulkan makna toleransi
dan kerukunan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
4.8 Menampilkan
contoh perilaku toleransi dan kerukunan
Indikator Pencapaian Kompetensi
4.8.1 Siswa dapat memberi contoh prilaku
toleransi dan kerukunan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
Tujuan Pembelajaran
1. Menunjukkan
perilaku dan sikap toleran, rukun dan menghindarkan
diri dari tindak kekerasan sebagai
implementasi dari pemahaman Q.S. Yunus (10) : 40-41 dan Q.S. Al-Maidah (5) :
32, serta hadits terkait
2. Menampilkan
contoh prilaku toleransi dan kerukunan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
5. Memahami
makna toleransi dan kerukunan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
6. Dapat
menampilkan contoh perilaku toleransi dan kerukunan sesuai konsep Al Qur’an dan Al Hadis
TOLERANSI DALAM ISLAM
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُــــــــوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ
تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِـــــيْنَ
(8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ
وَأَخْرَجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلَى إِخْــــرَاجِكُمْ أَنْ
تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ (9)
Artinya:
“Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu
karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumta-hanah: 8-9)
Ayat ini
mengajarkan prinsip toleransi, yaitu hendaklah setiap muslim berbuat baik pada
lainnya selama tidak ada sangkut pautnya dengan hal agama (IBADAH).
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada
non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan
orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah
menyukai orang yang berbuat adil.”
Sedangkan
ayat selanjutnya yaitu ayat kesembilan adalah berisi larangan untuk loyal pada
non muslim yang jelas-jelas musuh Islam, memusuhi Islam.
A.
Pengertian
Toleransi
Dalam
Wikipedia bahasa Indonesia (ensiklopedia bebas) disebutkan bahwa : Toleransi adalah
istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan
perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap
kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam
suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas
dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya
yang berbeda.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata toleransi berarti sifat atau
sikap toleran. Kata toleran sendiri didefinisikan sebagai “bersifat atau
bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri.
Kata
toleransi sebenarnya merupakan serapan dari bahasa Inggris “tolerance”, yang
definisinya juga tidak jauh berbeda dengan kata toleransi/toleran.
Adapun
dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata
toleransi adalah سماحة atau تسامح. Kata ini pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan), atau sa’at
al-shadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan). Makna ini
selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada/ terbuka (welcome) dalam menghadapi
perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia. Dengan demikian,
berbeda dengan kata tolerance yang mengandung nuansa keterpaksaan, maka kata
tasâmuh memiliki keutamaan, karena melambangkan sikap yang bersumber pada
kemuliaan diri (al-jûd wa al-karam) dan keikhlasan.
Jika
dicermati dengan seksama, pemahaman tentang toleransi tidak dapat berdiri
sendiri. Ia terkait erat dengan suatu realitas lain di alam yang merupakan
penyebab langsung dari lahirnya toleransi. Keduanya ibarat dua sisi mata uang
yang tidak terpisahkan. Memahami toleransi an sich tidak akan ada artinya tanpa
memahami realitas lain tersebut, yaitu kemajemukan (pluralisme; bahasa Arab:
ta’addudiyyah). Dengan demikian, untuk dapat bertoleransi dengan baik, maka
pemahaman terhadap pluralisme terlebih dahulu mutlak diperlukan.
Secara
etimologis, kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris “plural” yang berarti
banyak (antonim dari kata singular).[10] Dalam perkembangannya, kata ini
secara lebih spesifik ditujukan terhadap realitas masyarakat yang majemuk.[11] Artinya, masyarakat yang heterogen
dalam satu aspek atau lebih, seperti dalam hal keturunan, pemikiran, tingkah
laku, kepercayaan, adat istiadat, agama, dan sebagainya. Kemajemukan ini lahir
melalui proses-proses tertentu, disadari atau tidak, atau dikehendaki maupun
tidak dikehendaki. . (http://makalah-artikel.blogspot.com/
2007/11/makalah-toleransi-dalam-islam.html)
B.
Rambu-rambu
Toleransi
Dasar
Pemikiran dan Rambu Toleransi menurut al-Quran dan Sunnah,
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa toleransi dalam Islam dibangun diatas beberapa landasan 4 pokok, yaitu:
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa toleransi dalam Islam dibangun diatas beberapa landasan 4 pokok, yaitu:
1. prinsip
tentang kemuliaan manusia betapapun beragamnya kehidupan mereka. Allah
menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم
مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا.
الاسراء: ٧٠
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan
2. Keyakinan
bahwa pluralisme sudah merupakan kehendak Allah SWT yang tidak akan mengalami
perubahan. Sebagai contoh, dalam kaitannya dengan pluralisme agama, Allah
berfirman:
وَلَوْ
شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ
تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ. يونس: ٩٩
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya?
3. Umat
Islam meyakini bahwa mereka tidak bertanggungjawab terhadap jalan hidup yang
dipilih oleh umat-umat lain. Kewajiban mereka hanya berdakwah, sementara
pilihan antara iman atau tidak adalah urusan masing-masing pihak dengan Allah
SWT. Allah SWT berfirman:
وَقُلِ
الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ
إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ
وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ
بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا. الكهف: ٢٩
Dan katakanlah: "Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan
diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka.
Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
4. Prinsip
tentang keadilan, selama pihak lain berlaku sama.Allah SWT berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا
هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. المائدة: ٨
Hai orang-orang yang beriman hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Apa yang disebutkan oleh Yusuf
al-Qaradhawi diatas, pada hakikatnya merupakan penegasan bahwa ajaran Islam
tentang toleransi tidak dibangun diatas landasan yang rapuh, sebaliknya pada
ajaran-ajaran fundamental yang masing-masing saling terkait. Satu hal yang
agaknya dapat melengkapi dasar-dasar diatas adalah bahwa parameter yang
digunakan Islam dalam menilai sesuatu adalah parameter keruhanian (ketakwaan),
bukan parameter fisik atau keduniaan. Hal ini terlihat pada kesan yang
ditimbulkan oleh ayat dan hadis yang berbicara tentang kesetaran dan persamaan
hak dan kewajiban secara umum.
Tentang batasan toleransi, Islam
menekankannya pada prinsip keadilan. Surat al-Mumtahanah: 8-9, umpamanya, telah
mencerminkan pola hubungan yang proporsional dan berkeadilan tersebut. Kesan
yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa toleransi dapat terus berjalan
selama pihak luar berlaku adil terhadap umat Islam, dalam konteks ini adalah
tidak memerangi kaum muslim karena alasan agama, tidak mengusir kaum muslim
dari negeri-negeri mereka, atau berkonspirasi dengan pihak lain untuk mengusir
umat Islam. Akan tetapi, jika yang terjadi justru sebaliknya, maka tidak
berlaku toleransi. Artinya, umat Islam harus bersikap tegas dengan memerangi
mereka.[35]
C.
Bentuk
Toleransi atau Berbuat Baik dalam Islam
Bentuk
toleransi atau bentuk berbuat baik yang diajarkan oleh Islam:
1. Islam mengajarkan menolong
siapa pun
Dari
Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فِى
كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
“Menolong
orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.” (HR. Bukhari
no. 2363 dan Muslim no. 2244). Lihatlah Islam masih mengajarkan peduli sesama.
2. Hubungan kekerabatan dengan
yang non muslim tetap terjalin
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ
جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Artinya:
“Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15).
Ketika
orang tua memaksa untuk syirikpun, hubungan baik dengan mereka harus tetap
terjalin.
Lihat
contohnya pada Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ibuku
pernah mendatangiku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan
membenci Islam. Aku pun bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
tetap jalin hubungan baik dengannya. Beliau menjawab, “Iya, boleh.” Ibnu
‘Uyainah mengatakan bahwa tatkala itu turunlah ayat,
لاَ
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِى الدِّينِ
Artinya:
“Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu ….” (QS. Al Mumtahanah: 8)
3. Boleh hadiah menghadiahi
dengan non muslim.
Lebih-lebih
lagi untuk membuat mereka tertarik pada Islam, atau ingin mendakwahi mereka,
atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin.
Dari Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
رَأَى
عُمَرُ حُلَّةً عَلَى رَجُلٍ تُبَاعُ فَقَالَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم –
ابْتَعْ هَذِهِ الْحُلَّةَ تَلْبَسْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَإِذَا جَاءَكَ
الْوَفْدُ . فَقَالَ « إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذَا مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ فِى
الآخِرَةِ » . فَأُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مِنْهَا بِحُلَلٍ
فَأَرْسَلَ إِلَى عُمَرَ مِنْهَا بِحُلَّةٍ . فَقَالَ عُمَرُ كَيْفَ أَلْبَسُهَا
وَقَدْ قُلْتَ فِيهَا مَا قُلْتَ قَالَ « إِنِّى لَمْ أَكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا ،
تَبِيعُهَا أَوْ تَكْسُوهَا » . فَأَرْسَلَ بِهَا عُمَرُ إِلَى أَخٍ لَهُ مِنْ
أَهْلِ مَكَّةَ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ
Artinya:
“’Umar
pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada
hari Jum’at dan ketika ada tamu yang mendatangimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak
akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun
memberikan sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku
diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan
pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau
bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap
mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada
saudaranya di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam. (HR.
Bukhari no. 2619).
Lihatlah
sahabat mulia ‘Umar bin Khottob masih berbuat baik dengan memberi pakaian pada
saudaranya yang non muslim.
4. Prinsip Lakum Diinukum Wa
Liya Diin
Islam
mengajarkan kita toleransi dengan membiarkan ibadah dan perayaan non muslim,
bukan turut memeriahkan atau mengucapkan selamat. Karena Islam mengajarkan
prinsip,
لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al Kafirun: 6).
Prinsip
di atas disebutkan pula dalam ayat lain,
قُلْ
كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ
“Katakanlah:
“Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” (QS. Al Isra’: 84)
أَنْتُمْ
بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Kamu
berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap
apa yang kamu kerjakan.” (QS. Yunus: 41)
لَنَا
أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
“Bagi
kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu.” (QS. Al Qashshash: 55)
Ibnu Jarir
Ath Thobari menjelaskan mengenai ‘lakum diinukum wa liya diin’, “Bagi kalian
agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang
kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam
di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak
meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku
tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath Thobari, 14: 425).
5. Toleransi yang Ditawarkan
oleh Non Muslim
Bertoleransi
yang ada saat ini sebenarnya ditawarkan dari non muslim. Mereka sengaja memberi
selamat kepada kita saat lebaran atau Idul Fitri, biar kita nantinya juga
mengucapkan selamat kepada mereka. Prinsip seperti ini ditawarkan oleh kafir
Quraisy pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa silam. Ketika Al Walid
bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin
Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan pada
beliau,
Artinya: “Wahai
Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim)
juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan
agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut
kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila
ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus
mengamalkannya.”
Itulah
prinsip toleransi yang digelontorkan oleh kafir Quraisy di masa silam, hingga
Allah pun menurunkan ayat,
قُلْ
يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah
(wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan
kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah
agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6)
Jangan
heran, jika non muslim sengaja beri ucapan selamat pada perayaan Idul Fitri
yang kita rayakan. Itu semua bertujuan supaya kita bisa membalas ucapan selamat
di perayaan Natal mereka. Inilah prinsip yang ditawarkan oleh kafir Quraisy di
masa silam pada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun
bagaimanakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi toleransi seperti
itu? Tentu seperti prinsip yang diajarkan dalam ayat, lakum diinukum wa liya
diin, bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami. Sudahlah biarkan mereka
beribadah dan berhari raya, tanpa kita turut serta dalam perayaan mereka. Tanpa
ada kata ucap selamat, hadiri undangan atau melakukan bentuk tolong menolong
lainnya.
6. Jangan Turut Campur dalam
Perayaan Non Muslim
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non
muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha
dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih
dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
لا
تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم
“Janganlah
kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka.
Karena saat itu sedang turun murka Allah.”
Umar
berkata,
اجتنبوا
أعداء الله في أعيادهم
“Jauhilah
musuh-musuh Allah di perayaan mereka.” Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul
Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.
Juga sifat
‘ibadurrahman, yaitu hamba Allah yang beriman juga tidak menghadiri acara yang
di dalamnya mengandung maksiat. Perayaan natal bukanlah maksiat biasa, karena
perayaan tersebut berarti merayakan kelahiran Isa yang dianggap sebagai anak
Tuhan. Sedangkan kita diperintahkan Allah Ta’ala berfirman menjauhi acara
maksiat lebih-lebih acara kekufuran,
وَالَّذِينَ
لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan
orang-orang yang tidak memberikan menghadiri az zuur, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak
berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al
Furqon: 72). Yang dimaksud menghadiri acara az zuur adalah acara yang
mengandung maksiat. Jadi, jika sampai ada kyai atau keturunan kyai yang
menghadiri misa natal, itu suatu musibah dan bencana.
D.
Kerukunan
Umat Beragama
1. Kerukunan
Intern Umat Beragama
Salah satu
dari arti Islam adalah kesejahteraan dan keselamatan, oleh karena itu konsep
dasar Islam dalam mengatur hubungan dengan siapapun adalah kerukunan dan atau
perdamaian, dan sedapat mungkin menghindarkan diri dari permusuhan dan
perselisihan. Dalam mengatur hubungan sesama muslim terdapat konsep ukhuwah
Islamiyah, yaitu hubungan atau persaudaraan yang tumbuh dan berkembang karena
persamaan keimanan/keagamaan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Konsep
ukhuwah Islamiyah ini, antara lain didasarkan pada surat Al Hujarat ayat 10
-13. Dalam ayat-ayat ini antara lain dijelaskan bahwa antara sesama muslim
harus :
a. Terjalin hubungan saudara atau persaudaraan antara
sesama muslim, Nabi saw. bersabda :
المسلم
اخوا المسلم لايظلمُهُ ولايـخذُ لهُ ولايـَكذبهُ ولايحقره رواه
مسلم
Artinya : “Orang muslim menajadi saudara bagi muslim lainnya,
tidak boleh menganiaya sesamanya, membiarkannya, berdusta, dan tidak boleh
menghinakannya”. HR. Muslim
b. Mendasarkan semua prilakunya akan ketaqwaan kepada
Allah swt.
c. Saling hormat menghormati dan tidak boleh saling
meremehkan. Perhatikan hadits Nabi saw. berikut :
كل
المسلم على المسلم حرامٌ عرضه وماله ودمه
رواه الترمذى
Artinya : “Setiap muslim terhadap muslim lainnya diharamkan
mengganggu kehormatannya, harta dan darah (jiwa) nya”. HR. Tirmidzi
d. Tidak boleh curiga mencurigai, harus selalu
ditumbuh kembangkan sikap husnuddhan.
e. Selalu menjaga nama baik saudaranya, tidak boleh
mencari-cari kesalahan orang lain.
f. Menjadikan perbedaan warna kulit dan keturunan
serta ras dan bangsa untuk saling ta’aruf, mengadakan hubungan timbal balik
secara baik.
g. Gotong royong atau tolong menolong dalam masalah
kebaikan dan banyak lagi yang lainnya.
Semua
sifat dan sikap serta usaha untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian telah
dicontohkan oleh Nabi saw. selama masa hidup beliau yang pada saat ini sudah
terkonsep dalam “Akhlaqul Karimah”, dan yang harus dijauhi oleh setiap muslim
dalam setiap pergaulannya terkumpul dalam konsep “Akhlaqul Madzmumah”.
2. Kerukunan
antar Umat Beragama
Telah
diuraikan bahwa konsep dasar Islam adalah kerukunan atau perdamaian dengan
siapapun dan terhadap siapapun. Konsep ini telah diterapkan sendiri oleh Nabi
saw. ketika membentuk pemerintahan di
Madinah, dimana penduduknya terdiri dari tiga golongan yaitu : Islam,
Yahudi dam Nasrani. Beliau menyatukan unsur-unsur yang berbeda itu dengan dasar
persamaan hak dan kebebasan beragama serta kemerdekaan menjalankan agamanya
masing-masing.
Isi
perjanjian antara Nabi saw. dan kelompok non Islam itu adalah:
a. Seluruh penduduk
Madinah adalah merupakan
satu kesatuan warga yang bebas berfikir dan melakukan
agamanya masing-masing, serta tidak boleh saling mengganggu.
b. Apabila
Madinah diserang musuh, mereka hsrus mempertahankannya bersama-sama.
c. Apabila
salah satu golongan diserang musuh, golongan yang lain harus membantunya.
d. Jika
timbul perselisihan, penyelesaiannya di bawah keadilan yang dipimpin oleh
Rasulullah saw.
Empat poin
isi perjanjian di atas sama sekali tidak menyangkut dan mencampuri urusan agama
masing-masing golongan. Sebetulnya ketika Nabi saw. masih berada di Makkah,
beliau pernah mendapat tawaran dari pembesar kafir Quraisy untuk saling kompromi,
mereka akan menyembah Tuhan yang disembah Nabi saw., pada waktu yang lain Nabi
saw. supaya menyembah Tuhan yang mereka sembah, begitu juga dalam masalah
yang lain, saling bergantian. Ajakan yang nampaknya baik dari tokoh Quraisy
ini, ditolak oleh Nabi saw., apalagi dalam Surat Al Kafirun ayat 1 - 6. jelas
ditegaskan bahwa tidak ada kompromi dalam hal pelaksanaan agama atau
kepercayaan. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.
Untuk
lebih kongkritnya perhatikan firman Allah swt. QS. Al Mumtahanah : 8
Kata-kata
berbuat baik di situ memiliki arti yang sangat luas, meliputi semua nilai-nilai
kebaikan dan pergaulan secara luas, dan Allah swt. hanya melarang terhadap
mereka yang nyata-nyata mengikrarkan memusuhi dan mngusir kaum muslim.
Dalam
pengeterapan selanjutnya, ulama mengatur masalah ini dalam satu konsep hubungan
yang disebut : Ukhuwah Wathaniyah, yaitu ukhuwah atau hubungan dan kerukunan
yang tumbuh dan berkembang atas dasar kenasionalan atau berdasar konsep-konsep
falsafah negara.
Seperti
terjadi di Indonesia, Pancasila yang merupakan dasar dan falsafah bangsa, di
dalamnya (sila-silanya) tidak satupun yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
dasar Islam, pengamalan dan penghayatannya harus didukung sepenuhnya oleh
umat Islam di Indonesia.
Adapun
ukhuwah yang lebih luas jangkauannya, adalah ukhuwah basyariyah, yaitu
kerukunan dan persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan.
3. Kerukunan
Umat Beragama dengan Pemerintah
Telah
dijelaskan pada Bab terdahulu bahwa negara Republik Indonesia, menurut
pandangan Islam adalah negara yang sah, dan Presiden RI adalah penuasa yang
sah. Presiden memiliki wewenang sebagai waliyul amri, seperti pengangkatan Wali
hakim dan sebagainya.
Kemudian
sebagai konsekwensi hukumnya setiap muslim di Indonesia memiliki kewajiban
untuk taat terhadap semua aturan pemerintah sepanjang aturan tersebut tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Pemerintah
dalam istilah agama disebut dengan Ulil Amri, sebagian ahli mengatakan bahwa
ulil amri adalah penguasa negara dan alim ulama. Apabila ulil amri atau
pemerintah telah memutuskan sesuatu, apalagi keputusan yang disepakati dan
diputuskan bersama dengan Ulama, maka
bagi umat Islam wajib hukumnya untuk mentaatinya.
Di
Indonesia, antara Umara’ dan Ulama’ sudah terjalin hubungan yang sangat baik
dan akrab, saling isi mengisi, dan saling membutuhkan. Umat Islam dan juga
pemeluk agama selain Islam, mutlak butuh pemerintah dalam menjalankan syariat
agamanya masing- masing, sebab di dalam menjalankan ajaran agama sangat
memerlukan keamanan dan pengamanan, sedangkan keamanan dan pengamanan ini tidak
akan terwujud tanpa adanya pemerintah yang berkuasa dan berdaulat. Demikian
pula, pemerintah mutlak membutuhkan ulama/ tokoh agama, sebab dengan bahsa
ulama/tokoh agama itulah program pemerintah akan semakin lancar dan didukung
oleh umat Islam/pemeluk agama.
Adapun
dasar-dasar kewajiban taat terhadap Pemerintah, di dalam Al Qur’an dan hadits,
antara lain disebutkan :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ
مِنْكُمْ النساء : 59
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul(Nya), dan ulil amri
di antara kamu...” QS. An Nisa’ : 59
على
المرء المسلم السمْـعُ والطاعةُ فيْما احَبَّ وكـره الا ان يؤمر بمعصيـةٍ فان
اُمِرَ بمعصيـةٍ فلا سمع ولا طاعـةَ رواه
مسلم
Artinya : “Wajib atas orang muslim patuh dan setia kepada
pemerintah, baik hal yang disukai atau dibencinya, kecuali apabila
diperintahkan dengan suatu kemaksiatan. Jika ia diperintah dengan suatu
maksiat, maka tidak boleh patuh dan setia”. HR. Muslim)
KH.
Achmad Siddiq,
Ulama Pengasuh Pesantren di Jember,
membagi ukhuwah menjadi tiga macam, yaitu :
a.
Ukhuwah
Islamiyah. yaitu persaudaraan yang tumbuh dan berkembang
karena persamaan keimanan/agama, baik di tingkat nasional maupun
internasional.
b.
Ukhuwah
Wathoniyah, yaitu persaudaraan yang tumbuh dan berkembang
atas dasar nasionalisme dan patriotisme.
c.
Ukhuwah
Basyariyah, yaitu persaudaraan yang tumbuh dan berkembang
atas dasar kemanusiaan/sesama manusia.
No comments:
Post a Comment