XII.2.4
|
MAWARIS
|
KETENTUAN MAWARIS DALAM ISLAM
C. AL GHARWAROIN
Al
Gharwaroin berrati ada dua masalah aneh dalam pembagian warisan, yaitu apabila
ahli waris hanya terdiri dari istri atau suami serta bapak dan ibu. Dalam
kondisi seperti ini pembagian untuk bapak dan ibu menyalahi ketentuan umum,
yaitu
-
Suami atau Istri mendapat 1/2
atau 1/4 kali tirkah
-
Bapak mendapat 1/6 tambah
sisa
-
Ibu mendapat 1/3 kali tirkah
Bagian
bapak seperti diatas lebih kecil dari bagian ibu, hal ini yang disebut melanggar ketentuan umum yang menetapkan bagian 1 laki-laki = 2 kali bagian 1 perempuan
atau bagian 1 laki-laki sama dengan bagian 2
perempuan.
Oleh
karena itu harus dikembalikan pada ketentuan umum, sehingga bagian mereka
adalah :
-
Suami atau Istri mendapat 1/2
atau 1/4 kali tirkah
-
Bapak mendapat 2/3 kali sisa
( sisa = total tirkah dikurang bagian suami/istri)
-
Ibu mendapat 1/3 kali sisa (
sisa = total tirkah dikurang bagian suami/istri)
Contoh 5 :
-
Tirkah sebesar : Rp. 60.000.000,-
-
Ahli waris terdiri dari : Suami,
Bapak dan ibu.
-
Bagian masing-masing adalah:
Nama Ahli waris
|
Bagian Fardlu
|
Bagian Masing-masing
|
suami
|
½
|
1/2 x 60 juta = 30 juta
|
bapak
|
1/6
|
1/6 x 60 juta = 10 juta
|
Ibu
|
1/3
|
1/3 x 60 juta = 20 juta
|
Jumlah
|
60 juta
|
-
Nampak di atas, bagian ibu dua kali lipat bagian bapak, disini letak
ketidak wajarannya, sehingga harus diselesaikan sebagai berikut :
Nama
Ahli
waris
|
Bagian
Fardlu
|
Bagian
Masing-masing Ahli Waris
|
suami
|
1/2
|
1/2 x
60 juta = 30 juta
|
bapak
|
2/3 x
(60 juta — 30 juta) = 20 juta
|
|
Ibu
|
1/3 x
(60 juta — 30 juta) = 10 juta
|
|
Jumlah
|
60
juta
|
ADAT DAN WARISAN
1. Hak waris sebelum Islam
(Zaman Jahiliyah)
Pada zaman jahiliyah berlaku beberapa ketentuan tentang pembagian
waris sebagai berikut:
1. Memberikan
pusaka kepada mereka dengan dasar hubungan darah (nasab) dan kerabat
(keluarga), akan tetapi hak ini hanya diberikan kepada laki-laki dewasa yang
memiliki kekuatan berperang, sedang wanita dan anak-anak tidak memperoleh
pusaka, karena dianggap tidak memiliki jasa terhadap keluarga..
2. Memberikan
pusaka karena adanya ikatan sumpah setia atau perjanjian antara dua orang,
yaitu bila salah seorang meninggal terlebih dahulu maka yang lainnya menjadi
ahli warisnya.
3. Memberikan pusaka kepada anak angkat, di
zaman jahiliyah ada kebiasaan mengambil anak dan kemudian menjadi ahli waris
dari orang tua angkatnya.
2. Adat yang berlaku di Indonesia
Beraneka ragamnya suku bangsa yang ada di Indonesia, menyebabkan beraneka ragam pulalah
adat yang berlaku di Indonesia,
yang kesemuanya memiliki ciri khas tersendiri. Dalam bidang waris di Indonesia
secara garis besar terbagi dalam tiga sistem, yaitu :
1. Sistem
kewarisan individual, yaitu yang memiliki ciri bahwa harta peninggalan itu
dapat di-bagikan diantara ahli waris secara sama rata tanpa membedakan antara
laki-laki dan wanita, seperti yang terjadi dalam masyarakat bilateral (ayah
dan ibu sama-sama dominan).
2. Sistem
kewarisan kolektif, yaitu yang
memiliki ciri bahwa
harta peninggalan yang
ada diwarisi oleh sekumpulan ahli
waris yang secara bersama merupakan semacam badan hukum, di samping ada sebagian
harta peninggalan yang disebut harta pusaka, jenis ini tidak boleh
dibagi-bagikan untuk dimiliki oleh masing-masing ahli waris, mereka hanya
memiliki hak pakai saja, seperti yang terjadi dalam masyarakat matrilineal
(keturunan garis bapak) di Minangkabau.
3. Perbedaan adat dan ajaran
Islam tentang warisan
Dalam buku pengantar dan Asas-asa Hukum Adat oleh Soerojo Wignjodipoero,
SH dikemukakan bahwa perbedaan-perbedaan
prinsip antara adat 90dan Islam dalam masalah warisan adalah, antara lain :
Hukum Waris
Adat
|
Hukum
Waris Islam
|
1. Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaan
pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama atau hanya sebagian yang
dibagi
|
1. Tiap ahli waris dapat menuntut pembagian
harta peningga-lan tersebut sewaktu-waktu
|
2. Memberi kepada anak angkat, hak nafkah dari peninggalan
orang tua angkatnya
|
2. Tidak dikenal ketentuan semacam ini
|
3. Dikenal sistem penggantian waris
|
3. Tidak dikenal
|
4. Pembagiannya merupakan tindakan bersama,
berjalan secara rukun dalam suasana ramah tamah dengan memperhatikan keadaan
khusus tiap waris
|
4. Bagian-bagian ahli waris telah ditentukan ;
pembagian harta waris menurut ketentuan tsb.
|
5. Anak perempuan, hususnya di Jawa, bila tidak
ada anak laki- laki, dapat menutup hak mendapat bagian harta peninggalan
kakek neneknya dan sdra-sdra orang tuanya
|
5. Menjamin bagi anak pr. men-dapat bagian yang pasti dari harta orang tuanya.
|
6. Harta peninggalan tidak merupakan satu
kesatuan harta warisan, melainkan wajib diperhatikan sifat/macam, asal dan
kedudukan hukum dari barang masing-masing yang terdapat dalam harta
peninggalan itu
|
6. Merupakan satu kesatuan harta warisan
|
HIKMAH MAWARIS
Bila
pembagian harta waris dilaksanakan menurut ketentuan hukum waris Islam, maka
akan diperoleh hikmah sebagai berikut :
1.
Terhindar dari keserakahan dengan mengambil yang bukan haknya.
2.
Terciptanya keadilan yang hakiki.
3.
Terciptanya kedamaian dan ketenangan hidup.
WARISAN DALAM UU No. 7 TAHUN 1989
Dalam
Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada Bab II tentang
Kekuasaan Pengadilan pasal 49 ayat 1, disebutkan : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang bergama Islam di bidang : a. Perkawinan b. Kewarisan, wasiat,
dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam c. Wakaf dan sadhaqah”
Selanjutnya
ditegaskan :
a. dalam pasal yang sama ayat 3.
b. Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991
tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Indo-nesia Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10
juni 1991.
Melihat
kenyataan di atas maka Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk menetapkan
dan memutuskan perkara kewarisan bagi orang-orang Islam yang mengajukan
permohonanan kepada Pengadilan Agama baik
dalam sengketa maupun di luar sengketa berdasarkan hukum Islam dan
sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, sebagaimana
telah diterima baik oleh para Alim Ulama Indonesia dalam Loka Karya di Jakarta
pada tanggal 2 sampai 5 Februari 1988