Thursday, 14 May 2015

KUR 2013.XII.1.3 MAWARIS, bagian 5


XII.2.4
MAWARIS

KETENTUAN MAWARIS DALAM ISLAM
C.  AL GHARWAROIN
Al Gharwaroin berrati ada dua masalah aneh dalam pembagian warisan, yaitu apabila ahli waris hanya terdiri dari istri atau suami serta bapak dan ibu. Dalam kondisi seperti ini pembagian untuk bapak dan ibu menyalahi ketentuan umum, yaitu
-      Suami atau Istri mendapat 1/2 atau 1/4 kali tirkah
-      Bapak mendapat 1/6 tambah sisa
-      Ibu mendapat 1/3 kali tirkah
Bagian bapak seperti diatas lebih kecil dari bagian ibu, hal ini yang disebut melanggar ketentuan umum yang menetapkan bagian 1 laki-laki = 2 kali bagian 1 perempuan atau bagian 1 laki-laki sama dengan bagian 2 perempuan.
Oleh karena itu harus dikembalikan pada ketentuan umum, sehingga bagian mereka adalah :
-      Suami atau Istri mendapat 1/2 atau 1/4 kali tirkah
-      Bapak mendapat 2/3 kali sisa ( sisa = total tirkah dikurang bagian suami/istri)
-      Ibu mendapat 1/3 kali sisa ( sisa = total tirkah dikurang bagian suami/istri)

Contoh 5 :
-      Tirkah sebesar : Rp. 60.000.000,-
-      Ahli waris terdiri dari : Suami, Bapak dan ibu.
-      Bagian masing-masing adalah:
Nama Ahli waris
Bagian Fardlu
Bagian Masing-masing
suami
½
1/2 x 60 juta = 30 juta
bapak
1/6
1/6 x 60 juta = 10 juta
Ibu
1/3
1/3 x 60 juta = 20 juta
Jumlah

                       60 juta
-      Nampak di atas, bagian ibu dua kali lipat bagian bapak, disini letak ketidak wajarannya, sehingga harus diselesaikan sebagai berikut :
Nama
Ahli waris
Bagian Fardlu
Bagian Masing-masing Ahli Waris
suami
1/2
1/2 x 60 juta                    = 30 juta
bapak

2/3 x (60 juta — 30 juta)  = 20 juta
Ibu

1/3 x (60 juta — 30 juta)  = 10 juta
Jumlah

60 juta
ADAT DAN WARISAN
1.   Hak waris sebelum Islam (Zaman Jahiliyah)
Pada zaman jahiliyah berlaku beberapa ketentuan tentang pembagian waris sebagai berikut:
1.   Memberikan pusaka kepada mereka dengan dasar hubungan darah (nasab) dan kerabat (keluarga), akan tetapi hak ini hanya diberikan kepada laki-laki dewasa yang memiliki kekuatan berperang, sedang wanita dan anak-anak tidak memperoleh pusaka, karena dianggap tidak memiliki jasa terhadap keluarga..
2.   Memberikan pusaka karena adanya ikatan sumpah setia atau perjanjian antara dua orang, yaitu bila salah seorang meninggal terlebih dahulu maka yang lainnya menjadi ahli warisnya.
3. Memberikan pusaka kepada anak angkat, di zaman jahiliyah ada kebiasaan mengambil anak dan kemudian menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya.
2.  Adat yang berlaku di Indonesia
Beraneka ragamnya suku bangsa yang ada di Indonesia, menyebabkan beraneka ragam pulalah adat yang berlaku di Indonesia, yang kesemuanya memiliki ciri khas tersendiri. Dalam bidang waris di Indonesia secara garis besar terbagi dalam tiga sistem, yaitu :
1.   Sistem kewarisan  individual, yaitu yang  memiliki ciri bahwa harta peninggalan itu dapat di-bagikan diantara ahli waris secara sama rata tanpa membedakan antara laki-laki dan wanita, seper­ti yang terjadi dalam masyarakat bilateral (ayah dan ibu sama-sama dominan).
2.   Sistem kewarisan kolektif,  yaitu yang memiliki  ciri  bahwa  harta  peninggalan  yang  ada  diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang secara bersama merupakan semacam badan hukum, di samping ada sebagian harta peninggalan yang disebut harta pusaka, jenis ini tidak boleh dibagi-bagikan untuk dimiliki oleh masing-masing ahli waris, mereka hanya memiliki hak pakai saja, seperti yang terjadi dalam masyarakat matrilineal (keturunan garis bapak) di Minangka­bau.
3.   Perbedaan adat dan ajaran Islam tentang warisan
Dalam buku pengantar dan Asas-asa Hukum Adat oleh Soerojo Wign­jodipoero, SH  dikemukakan bahwa perbedaan-perbedaan prinsip antara adat 90dan Islam dalam masalah warisan adalah, antara lain :

Hukum Waris Adat
Hukum Waris Islam
1. Harta peninggalan dapat bersifat  tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaan pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama atau hanya sebagian yang dibagi
1. Tiap ahli waris dapat menuntut pembagian harta peningga-lan tersebut sewaktu-waktu
2. Memberi kepada  anak angkat, hak nafkah dari peninggalan orang tua angkatnya
2. Tidak dikenal ketentuan semacam ini
3. Dikenal sistem penggantian waris
3. Tidak dikenal
4. Pembagiannya merupakan tindakan bersama, berjalan secara rukun dalam suasana ramah tamah dengan memperhatikan keadaan khusus tiap waris
4. Bagian-bagian ahli waris telah ditentukan ; pembagian harta waris menurut ketentuan tsb.
5. Anak perempuan, hususnya di Jawa, bila tidak ada anak laki- laki, dapat menutup hak mendapat bagian harta peninggalan kakek neneknya dan sdra-sdra orang tuanya
5. Menjamin bagi anak  pr. men-dapat bagian yang pasti dari  harta orang tuanya.
6. Harta peninggalan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan, melainkan wajib diperhatikan sifat/macam, asal dan kedudukan hukum dari barang masing-masing yang terdapat dalam harta peninggalan itu
6. Merupakan satu kesatuan harta warisan
HIKMAH MAWARIS
Bila pembagian harta waris dilaksanakan menurut ketentuan hukum waris Islam, maka akan diperoleh hikmah sebagai berikut :
1. Terhindar dari keserakahan dengan mengambil yang bukan haknya.
2. Terciptanya keadilan yang hakiki.
3. Terciptanya kedamaian dan ketenangan hidup.
WARISAN DALAM UU No. 7 TAHUN 1989
Dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada Bab II tentang Kekuasaan Pengadilan pasal 49 ayat 1, disebutkan :  “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang bergama Islam di bidang : a. Perkawinan b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam c. Wakaf dan sadhaqah”
Selanjutnya ditegaskan :
a.   dalam pasal yang sama ayat 3.
b.   Keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Indo-nesia Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991.
Melihat kenyataan di atas maka Pengadilan Agama memiliki kewenan­gan untuk menetapkan dan memutuskan perkara kewarisan bagi orang-orang Islam yang mengajukan permohonanan kepada Pengadilan Agama baik  dalam sengketa maupun di luar sengketa berdasarkan hukum Islam dan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, sebagaimana telah diterima baik oleh para Alim Ulama Indonesia dalam Loka Karya di Jakarta pada tanggal 2 sampai 5 Februari 1988



No comments:

Post a Comment